Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Adil, Tidak Berarti Harus Dihukum Ringan Atau Tidak Dihukum

6 Januari 2012   09:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:15 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13258472011478218284

[caption id="attachment_161781" align="aligncenter" width="640" caption="Sebanyak seratus pasang sandal jepit diserahkan posko pengumpulan sandal untuk pembebasan AAL kepada Kapolri di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (5/1/2012). Penyerahan tersebut bermaksud untuk mengkritik kriminalisasi yang dilakukan Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah, terhadap seorang remaja berinisial AAL di Palu, Sulawesi Tengah karena dituduh mencuri sepasang sandal jepit milik Rudi./Admin (KOMPAS/Hendra A. Setyawan)"][/caption]

Putusan Sandal Jepit (PSJ) dengan terpidana AAL menarik perhatian banyak kalangan. Perhatian yang semula pada keprihatinan pencurian sandal oleh subyek hukum yang belum dewasa dan dituntut hukuman 5 tahun menjadi perdebatan apakah putusan hakim terhadap AAL sudah adil (dan benar).Keprihatinan muncul dari nilai barang yang dicuri dengan ancaman hukuman dinilai oleh masyarakat sangat melukai perasaan keadilan.

Sejak semula kasus sandal jepit ini kontroversi, bahkan sampai putusan hakim sudah dihasilkan. Pertama, anak yang mencuri diancam hukuman 5 tahun. Proses hukum dalam kasus ini menjadi sorotan public, tidak hanya masalah sandal dan ancaman hukuman. Melainkan proses penyidikan yang dilakukan dengan menyiksa tersangka dan tidak sesuai dengan UU Perlindungan Anak menjadi keprihatinan. Hak anak dilanggar, dan mencerminkan rendahnya kecerdasan emosional polisi c.q penyidik dalam penegakan hukum.

Proses penyidikan terhadap anak yang tidak memperhatikan UU Perlindungan Anak dengan proses beracara yang berbeda dengan pidana yang dilakukan orang dewasa adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum sendiri. Nalar keadilan publik meretas mencuri sandal jepit (meski tertangkap tangan) di proses secara hukum (disidik) dan diajukan ke pengadilan, dilain pihak untuk memproses (menegakkan hukum) untuk kasus-kasus korupsi demikian sulit dan (kadang) berbelit. Keadilan social terciderai dengan fakta hukum dan perbedaan penegakan hukum yang dinilai oleh public.

Nalar keadilan public bertolak dari tiga hal yaitu nilai barang yang dicuri, pihak yang melakukan pencurian dan pihak yang barangnya dicuri. Ketiga titik tolak tersebut berbuah kecaman terhadap aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim).Apakah sedemikian berharganya sepasang sandal jepit eiger milik anggota Brimob sehingga anak yang mencuri diproses secara hukum. Bahkan dalam proses penyidikan disertai dengan kekerasan dan tidak mematuhi UU Perlindungan Anak. Nalar inilah yang mendorong public membuat gerakan mendukung AAL dengan mengumpulkan sandal jepit untuk diberikan ke (anggota) Polri tersebut.

Kedua, putusan hakim yang menyatakan AAL bersalah dan dihukum dengan mengembalikan ke orang tuanya dinilai oleh public sebagai bentuk ketidakadilan.Penilaian terhadap ketidakadilan putusan tersebut bertolak dari pertanyaan mengapa tidak divonis bebas (murni)? Pertanyaan tersebut mengemuka karena [1] proses hukumnya sudah tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan [2] diketahuidipersidangan bahwa barang bukti sandal yang diajukan ke persidangan tidak sesuai dengan milik anggota Brimob yang dicuri.

Kedua Kontroversi kedua dari kasus sandal jepit ini bernuansa keadilan yang berkelindan dengan hukum dan teknis yuridis. Nalar keadilan public seolah bertolak belakang dengan hukum (peraturan perundang-undangan) dan prosedur yang diciptakan oleh hukum tersebut. Mengkaji fenomena hukum ini sangat tergantung pada pendekatan yang digunakan. Bertolak dari gagasan kelsenian, dimana hukum harus murni dan bebas dari pengaruh non hukum maka hukum dengan standar baku yang terbentuk harus ditaati.Berbeda halnya dengan pendekatan hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya, maka hukum tidak harus ketat prosedur apabila ternyata itu membelenggu untuk menghadirkan keadilan bagi masyarakat.

Pasca putusan hakim yang disoroti adalah perbedaan barang bukti yang di BAP dengan yang diajukan di pengadilan. Sebenarnya tidak hanya permasalahan perbedaan barang bukti saja, tetapi prosedur hukum yang ditempuh untuk menyidik AAL juga patut dipertanyakan dan dikaji ulang oleh hakim. Apabila dua fakta tersebut dipertimbangkan oleh hakim maka hakim yang berani (BERhati nurANI) akan memberikan putusan bebas murni. Putusan bebas murni akan menyiratkan terobosan hukum yang berani menolak semua proses yang dilakukan dalam penyidikan (pembuatan BAP) dalam kasus sandal jepit tersebut, termasuk mengabaikan tuntutan jaksa penuntut umum terhadap AAL.

Proses penyidikan yang disertai dengan kekerasan dan tidak mematuhi UU Perlindungan Anak, cukup untuk memvonis bebas murni. Tanpa harus memperhatikan apakah ada perbedaan barang bukti atau tidak. Namun faktanya adalah hakim memperhatikan BAP dan tuntutan JPU yang diajukan di persidangan, sehingga dalam hal ini hakim tidak berani. Bertolak dari hal ini maka putusan hakim secara hukum tepat dan benar, bahkan dapat di nilai adil. Hukum dimaksud adalah teknis hukum, dimana hakim mengabaikan fakta perbedaan barang bukti, namun memperhatikan fakta lain yaitu AAL terbukti melakukan pencurian sandal.

Pembuktian pencurian sandal tidak hanya didasarkan adanya barang bukti saja, tetapi berdasakan alat bukti lain. Namun apabila fokus pada barang bukti sandal maka hakim dapat mengabaikan jenis sandal, tetapi obyek atau barang yang dicuri adalah sama yaitu sandal. Dalam hal ini yang perlu disoroti adalah proses di tingkat penyidikan dan penyusunan dakwaan. Khususnya penyidikan, dimana polisi teledor dan (mungkin) menganggap remeh masalah jenis sandal ini. Seharusnya ketika bukti tidak berkesuaian maka polisi harus bekerja keras untuk menemukan sandal yang dicuri oleh AAL. Dan hakim mempunyai kewenangan untuk tetap mempertimbangkan BAP polisi dan dakwaan yang diajukan JPU, selain juga kesempatan untuk mengabaikan.

Faktanya hakim mempertimbangkan BAP dan dakwaan, sehingga mengikuti alur berpikir demikian pendapat bahwa hakim sudah tepat dan benar dilakukan. Karena [1] hakim tidak mempertimbangkan jenis sandal tetapi barang yang dicuri saja yaitu sandal dan mengabaika apakah sesuai antara yang dicuri dengan yang diajukan ke persidangan; [2] hakim mempertimbangkan alat bukti lain seperti keterangan saksi dan/atau keterangan terdakwa (Pasal 183 dan 184 KUHAP). Dalam hal keterangan saksi, hakim dalam membentuk keyakinan untuk menyatakan bersalah tidak boleh hanya didasarkan pada seorang saksi kecuali keterangan satu orang tersebut disertai dengan alat bukti yang sah lainnya. Dalam hal keterangan saksi, dibutuhkan minimal 2 orang saksi yang dalam keterangannya dapat menghubungkan suatu peristiwa pidana yang didakwakan .

Analogi terhadap penilaian public bahwa perbedaan barang bukti seharusnya menjadi dasar membebaskan terdakwa dapat mengabaikan fakta hukum sudah terjadi tindak pidana pencurian adalah dalam uraian BAP atau surat dakwaan sering dinyatakan pada kapan atau waktu terjadinya tindak pidana tidak secara detil. Misalnya suatu waktu pada bulan tertentu pada tahun tertentu, dimana uraian tersebut belum tentu tepat menggambarkan secara tepat kapan tindak pidana dilakukan. Dengan demikian apabila hakim memutus bebas murni AAL maka hakim mengabaikan fakta sudah terjadi tindak pidana pencurian.

Muncul pertanyaan selanjutnya, apakah sepadan (adil) proses hukum yang dilakukan dengantindak pidana yang dilakukan? Bertolak dari pendapat bahwa proses yang salah akan menghasilkan putusan yang salah. Dari pendapat ini dapat dikemukakan bahwa, pertama, sejak awal proses penyidikan sudah melanggar hukum. Maka dalam mengamati putusan hakim, hakim memilik kesempatan untuk mengabaikan BAP dan surat dakwaan. Namun dalam putusan ini, hakim tidak melakukan. Sehingga kedua, hakim tidak berhak menolak perkara yang diajukan. Dan ketika hakim mengadili, hakim memiliki kebebasan dalam membentuk keyakinan atas bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa.

Putusan hakim kembali mengusik nalar keadilan public yaitu dengan membandingkan PSJ dengan kasus penegakan hukum seperti korupsi atau kasus-kasus hukum lain. ‘Hukum harus adil’, demikian pendapat masyarakat. Artinya apabila kasus ‘kecil’seperti pencurian sandal jepit diproses dengan sigap, cepat dan trengginas maka seharusnya polisi juga melakukan hal yang sama dengan kasus ‘besar’ yang melibatkan individu ‘diatas’ AAL.Ini tantangan bagi aparat penegak hukum untuk meningkatkan penegakan hukum yang tidak hanya mengutamakan kepatuhan terhadap prosedur hukum semata. Melainkan mengutamakan keadilan, yaitu keadilan yang tidak hanya didasarkan pada terpenuhinya atau terbuktinya teks normative, namun berani menerobos bunyi teks dan menjunjung keadilan. Karena hukum harus adil, seperti kata Cicero, ‘hukum yang tidak adil, bukanlah hukum’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun