Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KUHP, Problematika Awal Hukum Pidana Indonesia

16 September 2015   15:22 Diperbarui: 16 September 2015   15:28 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KUHP (Kodifikasi Untuk Hukum Pidana), Problematika Awal Hukum Pidana Indonesia

 

Singkatan diatas bukan bermaksud meremehkan pembahasan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di DPR RI, melainkan mencoba membahas perbedaan pendapat antara kodifikasi hukum yang memuat aturan-aturan pidana dengan pendapat yang menyatakan tindak pidana khusus tidak perlu diatur dalam KUHP. Perdebatan mengenai perbedaan pendapat ini akan menentukan bentuk hukum pidana Indonesia yang (akan) diatur dalam KUHP. Pakar-pakar hukum (pidana) angkat bicara urun rembug dalam perdebatan dengan menampilkan argumentasi yang menjadi dasar keberpihakan pada salah satu pendapat.

Perbedaan pendapat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum pidana Indonesia, khususnya pasca pemberlakuan KUHP berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dengan perubahannya. Hukum Pidana Indonesia mengalami perkembangan, apalagi setelah orde baru berkuasa dan gencar melaksanakan pembangunan, perangkat hukum dibutuhkan untuk mendukung agenda pembangunannya. Era 80an bisa dianggap sebagai awal perkembangan hukum modern Indonesia, dengan panduan yang berasal dari konsep hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yaitu law as a tool of social engineering menjadikan pembangunan hukum memperoleh momentumnya. Law yang dipahami sebagai peraturan perundang-undangan kemudian ‘diproduksi’ untuk memayungi kegiatan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, sekaligus sebagai upaya menjaga ketertiban masyarakat.

Hukum (baca: peraturan perundang-undangan) dihasilkan sebagai alat pemaksa dan penyelesai sengketa antara negara dengan masyarakat atau antar masyarakat. Hukum sebagai dasar pembangunan menjadi konsekuensi dari konsep negara hukum (rechtstaat) yang terdapat UUD 1945. Namun pada jaman orde baru, hukum menjadi alat kekuasaan yang melegitimasi tindakan negara dalam melaksanakan pembangunan yang mengesampingkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Ungkapan ibi ius ubi societas menjadi relevan bagi perkembangan hukum (pidana) di Indonesia. Perkembangan masyarakat Indonesia dengan peningkatan kesejahteraan berimbas pada meningkatnya problematika hukum baik yang bersifat privat maupun public. Ekonomi Indonesia yang berkembang melahirkan aneka masalah, termasuk lahirnya kejahatan modern seperti kejahatan siber, kejahatan asuransi, kejahatan perbankan, illegal logging, kejahatan korporasi, korupsi dan lain sebagainya. Aneka kejahatan tersebut belum di antisipasi dalam KUHP, dan membutuhkan pengaturan untuk menjadi dasar dalam penegakan hukum kejahatan-kejahatan tersebut.

Hasilnya adalah sebaran aturan pidana mengenai perbuatan pidana di beberapa undang-undang. Inilah yang menjadi titik pangkal perdebatan antara kodifikasi hukum pidana dan yang tidak setuju dengan kodifikasi. Meski dalam perdebatan tersebut dipicu oleh tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun konsekuensi yuridisnya akan berdampak pada penempatan tindak pidana khusus dimasukkan dalam KUHP. Dalam hal ini bisa dipilah yaitu pertama, apakah kodifikasi hanya untuk tindak pidana korupsi saja? Ataukah kedua, semua tindak pidana khusus yang dalam literature hukum disebut dengan Tindak Pidana diluar KUHP akan dimasukkan dalam kodifikasi KUHP? Apabila yang hendak dikodifikasi hanya tindak pidana korupsi, maka dugaan banyak kalangan terhadap upaya pengerdilan KPK dalam penegakan tindak pidana korupsi benar adanya.

Inilah awal problematika kodifikasi hukum pidana dalam pembahasan RUU KUHP. Apakah DPR RI cukup mempunyai sumber daya (waktu, tenaga, pikiran) untuk membahas seluruh perbuatan yang hendak dipidanakan baik dalam wilayah social, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamaman, teknologi informatika? Pembahasan RUU KUHP sampai saat ini merupakan perjalanan panjang dalam berhukum di Indonesia oleh lembaga legislative republic ini. Wacana pembaruan hukum pidana sudah muncul puluhan tahun lalu, dan sering mengalami kegagalan untuk diundangkan oleh DPR RI periode sebelumnya.

Kendala teknis menjadi hambatan yang harus diatasi oleh DPR RI ketika hendak melakukan kodifikasi tindak pidana. Ketika hanya tindak pidana korupsi saja yang hendak di masukkan dalam KUHP maka proses pengerdilan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi sedang berjalan. Penilaian ini tidak bisa dihindarkan karena pertama, hanya satu saja tindak pidana khusus yang hendak di kodifikasi. Kedua, padahal masyarakat mengetahui kiprah lembaga anti korupsi dengan segala dinamika berhasil menggaungkan perlawanan terhadap korupsi di Indonesia. Kiprah yang berani masuk ke ranah lembaga legislative menjadi penelanjangan public telah membuka aib polah tingkah wakil rakyat yang merampok uang rakyat.

Untuk DPR RI perlu berpikir ulang untuk melakukan kodifikasi, entah yang bersifat tertutup maupun terbuka. Pilihan kodifikasi akan menempatkan hukum pidana menjadi hukum yang tertutup, karena perubahannya sebagai bentuk mengikuti perkembangan masyarakat akan mengalami kendala yang sama dengan KUHP yang saat ini hendak di ganti. Berbeda halnya apabila tindak pidana khusus tetap tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, ketika harus merubah atau merevisi sesuai dengan perkembangan masyarakat, DPR dan Pemerintah relative lebih mudah. Kecuali kemudian, mendorong pengembangan model amandemen peraturan perundang-undangan seperti yang dilakukan pada UUD 1945.

KUHP harus tetap menjadi kitab hukum pidana umum dengan melakukan positivasi norma social yang berkembang di masyarakat. Karena tindak pidana umum juga mengalami aneka modifikasi yang berkaitan dengan perkembangan perilaku individu maupun paradigma berpikir masyarakat. DPR RI (dan Pemerintah) mempunyai momentum membangun monument hukum pidana pasca jaman kolonialisme. Sehingga patut disayangkan apabila momentum itu tersita dengan perdebatan tentang kodifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun