Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Terminal Bayangan Jatibening: dari Pembiaran ke Kekerasan (Refleksi Penegakan Hukum Kita)

28 Juli 2012   01:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:32 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Insiden blokade jalan tol yang terjadi pada hari Jumat pagi mengagetkan banyak pihak. Masyarakat yang merasa dirugikan mengecam aksi blokade tersebut. Kemacetan yang ditimbulkan sampai berpuluh-puluh kilometer menjengkelkan pengguna jalan (tol). Amuk massa dalam bentuk blokade dan pembakaran mobil/ban tidak dapat dilihat dari pemicunya saja yaitu ditutupnya terminal bayangan. Akar kekerasan bukan penutupan terminal bayangan yang dilakukan sepihak, melainkan pembiaran yang dilakukan Jasa Marga terhadap keberadaan terminal bayangan tersebut.

Pembiaran tersebut telah membentuk pola perilaku yang mapan. Perilaku yang berulang dan menjadi mapan, menjadi kesepakatan yang tidak diakui secara formal namun merupakan fakta sosial. Kesepakatan yang tidak disanggah atau ditolak oleh Jasa Marga selama ini telah melahirkan hukum tidak tertulis yang berlaku bagi masyarakat. Ketika kemudian kesepakatan tersebut 'diingkari' oleh pihak Jasa Marga maka terdapat kemanfaatan yang terganggu yang selama ini dinikmati oleh masyarakat.

Pola perilaku masyarakat yang menggunakan terminal bayangan tersebut selama ini dibiarkan, tidak diganggu oleh Jasa Marga. Keuntungan atau manfaat dari terminal bayangan yang dibiarkan telah menghadirkan ketergantungan publik. Ketergantungan tersebut tidak hanya berkaitan dengan pemanfaatan jasa transportasi, melainkan terdapat mata pencarian yang lahir dari keberadaan terminal bayangan tersebut. Artinya keberadaan terminal bayangan tidak hanya memudahkan publik dalam mengakses jalur transportasi, namun juga menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar terminal dari penggunaan terminal bayangan tersebut oleh masyarakat.

Kemapanan atau keajegan yang selama ini terjadi, dipandang sebagai hukum tak tertulis yang berlaku di masyarakat. Hukum tak tertulis itulah yang ditaati dan mampu menghadirkan kemudahan dan penghasilan bagi pengguna terminal bayangan tersebut. Hukum tak tertulis yang terbentuk dari pembiaran memang lahir dari pelanggaran yang tidak ditegakkan selama ini. Artinya tidak ditegakkannya hukum akan melahirkan hukum baru dari hasil kesepakatan tidak tertulis antara pihak yang melanggar dan pihak yang seharusnya menegakkan hukum.

Fenomena terminal bayangan dapat menjadi refleksi (praktek) penegakan hukum yang terjadi di Indonesia. Gratifikasi atau suap menjadi salah satu contoh bahwa selama ini memberikan uang sebagai imbalan karena telah melakukan prestasi tertentu sehingga pihak lain memperoleh manfaat dari prestasi yang dilakukan menjadi kelumrahan dalam praktek. Perilaku 'pemberian' yang selama ini dibiarkan telah diterima secara umum sebagai kaedah perilaku bagi kelompok masyarakat tertentu. Contoh lainnya adalah pungutan liar (pungli) dalam praktek pelayanan publik yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Pungli menjadi kebiasaan dan 'kewajaran' dari pemberian pelayanan publik yang seharusnya gratis. Sehingga ketika publik tidak memberikan atau menyetorkan pungli dianggap sebagai perilaku menyimpang.

Korupsi dalam segala bentuknya terjadi karena pembiaran yang dilakukan. Pembiaran dalam pengertian ketiadaan penegakan hukum atas segala bentuk distorsi pelayanan publik. Perilaku yang semula dilihat sebagai distorsi ketika dibiarkan dalam kurun waktu tertentu menjadi melembaga dan praktek umum ketika bersinggungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Demikian pula dalam kasus terminal bayangan Jatibening, pembiaran yang dilakukan selama ini dan kemudian akan ditegakkan penyimpangan tersebut membentuk semangat perlawanan dari masyarakat.

Semangat perlawanan dalam bentuk kekerasan ini menjadi bagian dari penolakan dari penegakan hukum yang sebenarnya. Hukum yang selama ini sengaja ditidurkan, kemudian dibangunkan dari tidurnya dan mengganggu kenyamanan masyarakat yang sudah terbiasa memperoleh manfaat dari pembiaran pelanggaran hukum selama ini. Pemerintah c.q POLRI harus mampu melihat akar kekerasan sampai pada titik ini yaitu pembiaran atau ketiadaan penegakan hukum. Aturan yang dikompromikan telah membentuk aturan itu sendiri. Dan pelanggaran terhadap aturan itu sendiri memiliki 'sanksi' sendiri juga yang akan dimunculkan oleh masyarakat. Bentuknya sebagaimana kita saksikan hari Jumat kemarin, amuk massa yang kesulitan untuk dikendalikan dan menghasilkan kerugian bagi masyarakat lainnnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun