Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KPK itu 'Pengecut'!

29 Juni 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:26 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul diatas pasti akan mudah memancing para pendukung KPK, karena bertolak belakang dengan fakta bahwa KPK berhasil dan atau sedang mengungkap kasus-kasus 'besar'. Bahkan ditengah dukungan publik untuk melakukan saweran membangun gedung baru KPK, judul tersebut dicurigai sebagai bagian dari strategi dan kampanye corruptor fights back. Namun seperti kata pepatah, 'dont judge the book by its cover', jangan menilai dari judul yang ditulis. Karena tulisan ini hendak menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK belum mampu memberikan efek jera bagi penyelenggara negara.

Ketiadaan efek jera dapat dilihat dari dua hal, pertama, korupsi masih marak dilakukan di negeri ini. Menurunnya indeks persepsi korupsi jangan dilihat sebagai keberhasilan, melainkan bahwa ada sesuatu yang belum on the right track dalam pemberantasan korupsi. Bahkan diketahui bahwa terungkapnya kasus mega korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR dan koleganya. Kasus yang menggetarkan hati dan melemaskan lutut adalah korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama. Seolah negara ini belum bisa lepas dari kasus korupsi yang belum tuntas ke kasus korupsi lainnya. Kasus Hambalang belum selesai diselesaikan yang diduga melibatkan petinggi partai politik, korupsi pengadaan Alquran terungkap dan kasus korupsi yang melibatkan pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan.

Kedua, efek jera tidak terjadi karena hukuman yang diberikan sangat 'ringan' dibandingkan dengan kasus terorisme atau narkoba. Ringannya hukuman akan disepelekan oleh koruptor yang termasuk kelas white collar. Individu yang termasuk white collar adalah mereka yang memiliki pengetahuan, kekayaan dan jaringan untuk tetap bisa merasa nyaman meski kebebasannya dicabut. Keringanan hukuman dan jaminan kenyamanan dari kebebasan yang dicabut adalah manifestasi dari korupsi judicial yang melibatkan (aparat) lembaga penegak hukum.

Dititik inilah kepengecutan KPK disematkan. Apabila kita meyakini bahwa 'untuk membersihkan lantai yang kotor harus digunakan sapu yang bersih' maka pemberantasan korupsi harus dimulai dari aparat penegak hukum. Relevan dengan konsep negara hukum, bahwa untuk menjadi negara hukum maka hukum yang salah satunya adalah aparat penegak hukum harus bersih atau bebas korupsi, bebas dari anasir-anasir yang mencemari hukum. Hukum adalah pihak yang netral, namun pembentuknya dan penegaknya sering tidak netral. Ketidaknetralan dilakukan dengan menempatkan hukum menjadi komoditas yang bisa diperjual-belikan. Komodifikasi inilah mewujudkan perilaku korup atas pihak-pihak yang terlibat.

KPK menjadi pengecut karena tidak menjadi lembaga yang ekstraordinary ketika berhadapan dengan korupsi yang terjadi di POLRI, Kejaksaan atau Mahkamah Agung. Ketika kasus korupsi masih didominasi kasus pengadaan barang/jasa, maka KPK mengerdilkan dirinya sendirinya. Apalagi hanya terus menerus mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparat pemerintahan daerah. Apakah kemampuan KPK dengan kewenangan ekstraordinari hanya sebatas mengungkap kasus-kasus korupsi pegawai rendahan di Kementerian atau pemerintahan daerah? Dan kemampuan tersebut menjadi impoten ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

Ketika KPK minim atau tidak ada sama sekali mengungkap kasus-kasus korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum maka dapat muncul kesimpulan yaitu pertama, apakah lembaga penegak hukum tersebut bersih dan tidak ada kasus korupsi? Kedua, KPK takut untuk mengungkap kasus-kasus korupsi di lembaga penegak hukum. Kesimpulan pertama apabila benar akan bertententangan dengan pandangan publik yang menilai bahwa ketika publik berurusan dengan lembaga penegak hukum praktek-praktek korupsi sangat banyak terjadi. Artinya KPK melawan pandangan publik yang seolah menafikan keberadaan praktek korupsi di lembaga penegak hukum.

Kesimpulan kedua menjadi kekecewaan publik karena KPK sebagai lembaga ekstraordinary ternyata bernyali ciut untuk mengungkap praktek korupsi lembaga penegak hukum. Dalam hal demikian, prestasi KPK dengan mengungkap kasus mega korupsi tidak lebih dari sekedar 'formalisme' belaka untuk menunjukkan bahwa KPK bekerja dan diperlukan. Namun sejatinya yang dilakukan memberantas korupsi adalah melanggengkan korupsi. KPK memberantas korupsi di 'ruangan' lain, namun membiarkan 'ruangan' sebelah untuk pengembang-biakan tikus-tikus haus uang. KPK harus fokus pemberantasan korupsi di lembaga penegak hukum, agar hukum menjadi berwibawa. Ketika hukum berwibawa maka penyelenggaraan negara akan berdasarkan pada prinsip negara hukum minum hukum yang menjadi komoditas para aktor yang terlibat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun