Dalam hukum terdapat asas lex dura sed tamen scripta yang berartihukum itu kejam tetapi memang begitulah bunyinya atau ada yang menerjemahkan hukum itu kaku tetapi begitulah yang tertulis. Kejam dan kaku menjadi wajah hukum. Keharusan untuk tidak memihak dan tidak mempertimbangkan siapapun pihak yang akan terkena penegakan hukum menjadikan hukum berwajah kejam. Dalam ketidakberpihakan tersebut terkandung asas equality before the law, dengan harapan ketika asas tersebut diterapkan keadilan dapat terwujud. Apakah kejamnya hukum memang dapat menampilkan hukum yang berkeadilan?
Wajah hukum yang lain adalah kaku. Hukum tidak boleh dilipat atau fleksibel menyesuaikan diri dengan keadaan dimana hukum harus ditegakan. Konsekuensinya hukum akan menjadi sangat tidak ramah dan tidak akan berkompromi dengan siapapun ketika hukum menjangkau pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum. Kekakuan hukum untuk menjaga kewibawaan agar tidak mudah diremehkan. Saat ini kekakuan hukum menghasilkan pelecehan terhadap hukum, dengan kemungkinan untuk melakukan pelanggaran yang sudah tertulis.
Pelanggaran atas kekakuan itu karena dualisme dari penafsiran teks yang disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang mewujud dalam perniagaan hukum dengan mentransaksikan bunyi pasal peraturan perundang-undangan.Bunyi pasal yang tertulis kaku dan tegas, dibuat fleksible dan mulur mungkret berdasarkan kondisi yang berkemampuan membeli kekakuan dan ketegasan hukum. Bagi mereka yang berkepentingan mentransaksikan hukum mengalami ketakutan atas watak kaku, karena kekakuan yang diterapkan menimbulkan penderitaan atau kerugian. Sehingga mereka berusaha membujuk hukum agar tidak kaku, dan atas ketidakkakuan hukum tersebut terdapat imbalan yang diberikan.
Asas lex dura sed tamen scripta, berkaitan dengan bunyi teks hukum yang tidak boleh dikompromikan. Diterapkan dengan mengacu kepada apa yang tertulis, dan penerapan hukum yang demikian menjadikan hukum kejam. Apakah memang hukum dengan asas tersebut berwatak kejam? Kekejamannya terjadi seperti kemukakan pada paragraph sebelumnya, namun kekejaman tersebut dapat dikurangi ‘rasa sakit’nya apabila penerapan hukum berdasarkan dan berorientasi pada keadilan. Dasar penerapan hukum adalah nilai keadilan, dan visi dalam menerapkan hukum adalah mewujudkan keadilan.
Peredam rasa sakit dari kekejaman hukum adalah keadilan. Mengapa keadilan? Pertama, hukum tetap harus ditegakkan tanpa terkecuali. Kedua, apabila hukum tidak ditegakkan maka hukum menjadi tidak berwibawa. Ketiga, ketika keadilan dirasakan oleh masyarakat maka hukum tidak akan terlihat kejam namun pengayoman dan kenyamanan ketika masyarakat berurusan atau bersinggukan dengan hukum. Keadilan akan menghadirkan pengayoman dan kenyamanan bagi public, meski pada waktu tertentu masyarakat harus merasakan kejamnya hukum namun kekejaman tersebut dilihat sebagai konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan.
Hukum harus menampilkan keadilan. Tanpa ditampilkannya hukum, hukum akan dicibirkan dan mendegradasi watak represi yang dimiliki. Hukum hanya akan terlihat kekejamannya, atau kekakuan dalam menerapkan hukum. Kekejaman hukum pada akhirnya akan melahirkan pemberontakan, karena dalam kekejaman tersebut terkandung ketidakadilan. Pemberontakan menjadi bagian perlawanan terhadap penerapan hukum yang tidak adil yang dilakukan baik dengan cara menentang kebijakan dalam menegakkan hukum maupun melakukan main hakim sendiri (eigenrichting).
Hukum harus berdasarkan dan berorientasi keadilan karena terdapat sebuah asas yaitu lex iniusta non est lex, hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Pertanyaannya kalau ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat dalam penegakan hukum, maka apakah yang sedang ditegakkan? Mengacu pada asas lex iniusta non est lex maka (penegakan) hukum yang tidak adil bukan hukum, maka yang ditegakkan bukan hukum. Hukumyang ditegakkan berdasarkan kekejaman yang berasal dari apa yang tertulis dan tidak menghasilkan keadilan maka itu bukanlah hukum, melainkan tindakan penguasa yang mempunyai otoritas untuk melakukan kewenangan memberikan sanksi.
Bukankah berdasarkan definisi hukum adalah perintah penguasa yang mempunyai kewenangan, dan berisi perintah, larangan dan sanksi. Namun definisi demikian mengandaikan perintah penguasa yang menghadirkan keadilan. Apalagi penguasa dalam konteksdemokrasi adalah penguasa yang berasal dari yang diperintah. Penguasa yang berasal dari yang diperintah tidak akan melukai perasaan dirinya sendiri dengan perintah yang sewenang-wenang. Sehingga dalam menyelenggarakan kekuasaan dilandaskan pada keadilan. Keadilan menjadi nafas kekuasaan. Tanpa keadilan, kekuasaan berubah menjadi kejam seperti hukum juga demikian.
Hukum yang berkeadilan didamba, meski ketika keadilan diwujudnyatakan sama kejamnya ketika diterapkan tanpa keadilan. Namun keadilan meredam kekejaman yang dirasakan karenahukum diterapkan tanpa terkecuali sebagai pengejawantahan dari asas equality before the law. Namun catatan terakhir sebagai perenungan adalah adanya asas yang berbunyi summum ius summa iniura, dimana terdapat keadilan maka terdapat ketidakadilan. Dalam hal demikian, keadilan adalah peredam ketidakadilan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H