Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Koruptor tidak Korupsi! Mereka Hanya Mengambil dengan Tidak Sadar Uang yang Bukan Miliknya

24 Februari 2012   05:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadaan tidak sadar meniscayakan dua kondisi, pingsan atau mengigau. Ketidaksadaran bahwa koruptor itu melakukan korupsi ditunjukkan masih sedikitnya koruptor yang mengaku bersalah melakukan korupsi. Dalam proses hukum yang terjadi untuk membuktikan dirinya bersalah, dengan kemampuan yang mereka miliki berusaha untuk membela diri atau menyatakan diri mereka tidak bersalah. Rasa bersalah tidak hadir mengemuka bahkan hanya untuk mencari simpati public, apalagi pernyataan bersalah yang keluar dari mulut para koruptor. Mereka sadar bahwa tidak sadar ketika melakukan korupsi.

Bahkan ketika palu hakim menyatakan bersalah atas perbuatan melakukan tindak pidana korupsi, mereka tidak serta merta mengakui kesalahannya. Dengan berlindung dibalik prosedur hukum yaitu tersedianya upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali, koruptor tidak mengakui kesalahannya dengan menggunakan dalih hukum, ‘belum ada kekuatan hukum tetap’ atas kasus korupsi yang dilakukan. Pernyataan bersalah dari hakim tidak serta merta menggugah kesadaran bahwa mereka telah bersalah melakukan korupsi. Pembuktian yang dilakukan di persidangan dan melahirkan keyakinan hakim untuk menjatuhkan vonis bersalah tidak mampu menyadarkan kesalahan melakukan korupsi.

Mengapa koruptor tidak merasa bersalah melakukan korupsi? Terdapat tiga jawaban yang dapat diajukan, pertama, bahwa perilaku yang kemudian divonis sebagai korupsi oleh hakim tidak dianggap korupsi karena koruptor merasa sudah melakukan tindakan yang sesuai dengan hukum (baca: peraturan perundang-undangan). Kedua, bahwa mindset yang terbangun dalam kesadaran mereka adalah uang (rakyat) yang mereka ambil adalah bagian ‘kekayaan’ mereka yang dikelola berdasarkan jabatan atau kewenangan yang dimiliki. Ketiga, koruptor menikmati keuntungan dari hasil korupsi selain merasa tidak mengambil uang milik rakyat, karena keuntungan tersebut adalah bagian dari ‘imbalan’ dari pekerjaan yang diemban dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, hukuman pidana belum tentu menyadarkan mereka dari ketidaksadaran bahwa mereka bersalah. Dan ketidakbersalahan berlanjut sampai dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tet ap. Penjara adalah bagian dari resiko, dan sambil menjalani pidana mereka mengupayakan pembelaan untuk meringankan hukuman yang sudah dijatuhkan. Hukuman penjara tidak menjerakan dan menakutkan bagi para pejabat public karena kondisi ketidaksadaran ketika mengambil keuntungan dari uang rakyat yang berasal dari APBN/D.

Ketakutan mereka sebatas pada bagaimana agar mendapatkan keuntungan tanpa resiko tercium oleh (aparat penegak) hukum.Dorongan untuk melakukan korupsi terkait dengan [1] biaya politik yang sudah dikeluarkan; dan [2] adanya permintaan atas dana untuk biaya tertentu dalam rangka menarik dukungan public. Jabatan public yang diperoleh dengan menggunakan transaksi politik menjadi pendorong untuk melakukan korupsi. Korupsi dilakukan tanpa kesadaran sebagaimana dijelaskan diatas yaitu ketidaksadaran bahwa kebijakan diambil sudah berdasarkan hukum dan bagian dari imbalan atau keuntungan dari jabatan yang diemban.

Untuk itu tidak mengherankan pelaku korupsi berkaitan dengan jabatan public dari hasil pemilu atau jabatan yang meraihnya dibutuhkan ongkos tertentu. Jabatan di kalangan birokrat (baca: PNS) yang tidak memenuhi dua kriteria tersebut rasa takut untuk melakukan korupsi masih ada. Ketakutan dan kesadaran bahwa tidak dikejar untuk memperoleh keuntungan dalam rangka mengembalikan biaya-biaya memperoleh jabatan menjadi alat mencegah keserakahan. Bukti dari masih adanya ketakutan adalah rendahnya serapan belanja pembangunan yang dikeluhkan oleh pemerintah. Rendahnya belanja pembangunan terjadi karena pengguna anggaran, entah itu pejabat pembuat komitmen atau yang memenuhi syarat menjadi ketua panitia pengadaan barang/jasa takut untuk bekerja atau mengambil posisi dalam pengadaan barang/jasa.

Hukum tidak menakutkan, melainkan bagian dari sebuah resiko dari perjalanan ketidaksadaran dalam mengambil uang yang bukan miliknya. Hukum yang lebih sering menampilkan watak represif perlu melakukan evaluasi untuk bisa membangunkan ketidaksadaran. Sekaligus evaluasi terkait dengan hukuman penjara yang tidak menimbulkan efek jera bukan bagi koruptor, melakukan bagi pejabat public untuk bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menggunakan jabatan yang diemban. Vonis hakim yang memberi label koruptor dengan hukum penjara belum mampu membangunkan mereka dari ketidaksadaran, baik karena pingsan maupun mengigau. Vonis hakim belum cukup kejam untuk mencegah korupsi dimasa datang. Perjuangan anti korupsi masih butuh konsistensi, karena kesadaran belum terbangun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun