Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jangan Bandingkan Orde Reformasi dengan Orde Baru!

18 Mei 2011   07:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:30 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_110380" align="aligncenter" width="640" caption="Mantan Presiden Soeharto/Admin (KOMPAS/ISTIMEWA)"][/caption] Pasca pemberitaan hasil survey Indobarometer mengenai presiden paling disukai dan paling berhasil, muncul wacana (discourse) yang membandingkan antara masa pemerintahan Soeharto dan pemerintahan pasca reformasi. Mayoritas responden memilih Soeharto sebagai presiden yang paling disukai dan palling berhasil. Pilihan responden menunjukkan paradigma semu dalam melihat keberhasilan pembangunan dibawah kepemimpinan Soeharto. Paradigma semu tersebut berkaitan dengan aspek-aspek tertentu yang melatar-belakangi momentum reformasi pada bulan Mei 1998. Aspek-aspek tersebut adalah konglomerasi ekonomi, demokrasi dan HAM. Selain terdorong oleh faktor krisis moneter yang menimbulkan multiplier effect, yang berawal dari krisis kurs mata uang menjadi krisis multidimensional. Masyarakat banyak yang tidak mengetahui bahwa keberhasilan ekonomi pada pemerintahan orde baru ditopang oleh pertama, booming harga minyak bumi. Kedua, kebijakan ekonomi didasarkan pada subsidi. Ketiga, selain subsidi, perekonomian dilakukan dengan prinsip trickle down effect. Keempat, utang luar negeri. Keempat penopang keberhasilan tersebut membentuk sinergi yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan kebijakan ekonomi yang dilakukan orde baru tersebut harus ditanggung oleh pemimpin Indonesia pasca jatuhnya Soeharto. Sebagian bangsa Indonesia, minimal responden survey tidak mengetahui bahwa Indonesia dibangun atas empat penopang tersebut. Ketika penopang tersebut hilang maka rapuhlah fundamental ekonomi Indonesia.  Misalnya booming minyak bumi, saat ini Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak. Pembangunan ekonomi membentuk sikap warga yang mendamba simbol-simbol kekayaan seperti kendaraan bermotor - motor dan mobil. Pendambaan simbol-simbol kekayaan mulai menguat pasca jatuhnya Soeharto, peningkatan jumlah kendaaraan bermotor berkorelasi dengan konsumsi bahan bakar. Konsumsi bahan bakar inilah yang mendorong pemborosan dan menjadikan Indonesia menjadi pengimpor bahan bakar minyak. Ketika Indonesia masih diuntungkan dengan kenaikan harga minyak pada era 80an, pemerintah memberlakukan kebijakan subsidi pada produk tertentu. BBM atau beras adalah salah satu contoh dari produk yang disubsidi oleh pemerintah. Sehingga rendahnya tingkat harga BBM dan beras waktu itu karena negara melakukan subsidi. Untuk beras, dengan watak otoriter pemerintah Indonesia menekan harga dasar gabah ditingkat petani. Rendahnya harga BBM berkorelasi positif dengan rendahnya harga kebutuhan masyarakat lainnya. Karena pengusaha tidak dibebani dengan biaya transportasi yang melambung tinggi. Saat ini ketika Indonesia tidak lagi sebagai negara pengekspor minyak maka pemerintah harus menanggung beban harga BBM dengan harga internasional. Dan subsidi BBM sudah mulai diturunkan untuk mengurangi beban defisit APBN. Akibatnya harga BBM disesuaikan dengan harga internasional. Perekonomian pada pemerintahan Soeharto didasarkan pada konglomerasi usaha individu atau kelompok usaha tertentu yang termasuk dalam kroninya. Istilah keluarga cendana merujuk pada konglomerasi usaha yang dilakukan oleh orang dilingkaran kekuasaan Soeharto. Monopoli usaha menjadi modus operandi. Kebebasan menjadi unsur penting reformasi. Dan kebebasan yang dialami oleh individu yang selama ini terbelenggu belum menemukan titik keseimbangan. Kebebasan baru dipahami sebagai hak, belum dilihat sebagai tanggung jawab. Tanggung jawab bagaimana menggunakan kebebasan untuk kemaslahatan publik. Bahkan aksi terorisme yang signifikan dalam mengganggu stabilitas nasional dapat dilihat sebagai pemahaman kebebasan yang kebablasan. Selain faktor eksternal yang mendorong lahirnya aksi teror di Indonesia. Pada masa orde baru tidak ada kebebasan. Kebebasan dipancung sedemikian rupa demi mencapai stabilitas nasional. Dalam hal bangsa ini perlu mengevaluasi kebebasan yang dimiliki. Termasuk pemerintah tidak boleh gamang dalam memberantas aktualisasi kebebasan seperti organisasi kemasyarakatan yang hobi memaksakan kehendaknya berdasarkan pemahaman keyakinan mayoritas. Atau organisasi yang berdasarkan namanya saja sudah merupakan makar dan subversif terhadap Indonesia yaitu Negara Islam Indonesia (NII). Kebebasan tidak dinikmati oleh bangsa Indonesia. Apakah respoden survey Indobarometer tidak memperhitungkan kebebasan menikmati sinetron yang ditayangkan TV Swasta sebagai hasil dari reformasi? Apakah mungkin pada masa Soeharto, rakyat Indonesia bisa menikmati sinetron yang beragam cerita dengan benang merah yang monoton? Apakah respoden memperhitungkan kebebasan berkomunikasi dengan mobile phone sebagai hasil  dari reformasi? Pertanyaan sederhana tersebut perlu disampaikan kepada bangsa Indonesia. Karena memang betul kesejahteraan Indonesia masih perlu dipertanyakan, tetapi kebebasan dengan derivasinya sangat dinikmati oleh sebagai masyarakat Indonesia. Menilai orde reformasi dengan parsial akan menimbulkan penilaian yang keliru. Kalau hanya mendasarkan diri pada harga kebutuhan pokok maka harga-harga di orde reformasi jauh lebih tinggi, dan hal tersebut semu dengan faktor-faktor yang dikemukakan diatas. Untuk itu kedua orde jangan diperbandingkan, karena kesemuan yang nampak dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia waktu itu. Pilihan ekstrimnya adalah menikmati harga barang murah dengan kebebasan yang dibelenggu ataukah menikmati kebebasan dengan harga barang yang melambung tinggi. Untuk itu menjadi tantangan bagi pemimpin hasil pemilu (legislatif, presiden dan kepala daerah) untuk bisa menghasilkan kesejahteraan rakyat didaerah. Pemimpin hasil pemilu perlu didorong untuk meningkatkan kesejahteraan, bukan malah memperkaya diri sendiri dengan mencuri uang rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun