Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

(Status) Facebook: Ruang Publik Virtual dalam Perspektif Jurgen Habermas

28 Juni 2010   03:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:14 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dalam wikipedia, ruang publik atau the public sphere didefinisikan yaitu is an area in social life where people can get together and freely discuss and identify societal problems, and through that discussion influence political action. It is "a discursive space in which individuals and groups congregate to discuss matters of mutual interest and, where possible, to reach a common judgment." The public sphere can be seen as "a theater in modern societies in which political participation is enacted through the medium of talk" and "a realm of social life in which public opinion can be formed" (http://en.wikipedia.org/wiki/Public_sphere).

Ruang publik merupakan wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan terjadinya diskusi dan mengidentifikasi masalah-masalah sosial. Dalam konteks Facebook, status mengkonstruksi ruang publik. Dimana status memungkinkan terjadinya diskusi dari hasil tanggapan atau respon dari status yang dibuat. Tanggapan atau respon tersebut tentunya dilontarkan dalam atmosfer yang bebas. Dalam pengertian bebas tersebut termaktub ide atau gagasan tentang kesetaraan/kesederajatan dari para pihak yang berkomunikasi.

Pertanyaannya adalah apakah dari diskusi tersebut kemudian membuka kesempatan yang mengarah pada tindakan politik? Diskusi via group, sebagai contoh adalah Gerakan 1 juta facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto atau Dukung DPR RI melakukan Revisi UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam ruang publik pada awal perkembangannya, individu dan kelompok masyarakat dapat membentuk opini publik dan memberikan pernyataan langsung atas kebutuhan dan kepentingan mereka dengan memberikan pengaruh pada praktek politik (Douglas Kellner, http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/papers/habermas.htm). Jumbuh dengan yang dikemukakan dalam www.wikipedia.org, bahwa diskusi atau penyampaian pendapat oleh individu atau masyarakat dalam suatu ruang publik dapat mempengaruhi tindakan politik.

Dalam status (dan tanggapannya) membentuk suatu proses adu argumentasi baik yang bersifat affirmasi maupun sanggahan atau ketidaksetujuan terhadap pernyataan yang diungkapkan. Proses beradu-argumentasi inilah yang menjadi diskursus virtual tentang suatu topik yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama (http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/38). Pertanyaannya adalah apakah diskusi dan beragumentasi dalam status Facebook termasuk dalam kriteria munculnya public sphere dalam Facebook?

Habermas mengemukakan 3 kriteria yang disebut sebagai institutional criteria dalam pembentukan ruang publik yaitu pertama, mengabaikan status atau kedudukan (disregard of status). Kriteria pertama ini berkaitan dengan kesetaraan pihak-pihak yang terlibat dalam diskursus. Kedua, tema diskusi berkaitan dengan kepedulian bersama (domain of common concern). Kepedulian bersama menjadi obyek perhatian bersama yang mengungkapkan pandangan lain selain yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan yaitu negara. Diskusi atau perdebatas atas obyek tersebut melahirkan perspektif baru yang mungkin berbeda dengan negara, dan membentuk ruang interaksi antara warga negara dengan negara. Ketiga, inklusifitas (inclusivity). Artinya diskusi yang dilakukan dengan isu atau topik tertentu, selain menjadi perhatian bersama juga membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang ingin terlibat masuk dalam diskusi tersebut (http://en.wikipedia.org/wiki/Public_sphere).

Dengan kriteria tersebut, status Facebook dapat dikategorikan sebagai ruang publik di era teknologi dan informasi. Dimana dalam Facebook tidak ada kualifikasi tertentu untuk dapat ikut terlibat dalam sebuah status, kecuali terdaftar sebagai teman pemilik status. Dan dalam melontarkan tanggapan atau respon atas status juga relatif bebas dari ’jeratan’ kesungkanan. Kebebasan ini sebagai konsekuensi dari kesetaraan yang terbentuk dalam interaksi virtual. Bahkan kebebasan ini sering menjadi ’kekonyolan’, seperti menanggapi status ’serius’ dengan komentar yang bernada guyon (bercanda) atau tidak terkait dengan status.

Kesetaraan kedudukan dalam jejaring virtual menjadi bagian penting dalam membangun masyarakat yang egaliter. Dan situasi demikian dapat mendorong pelibatan publik dalam sebuah perdebatan dari topik-topik yang dikemukan menjadi sangat terbuka. Pembentukan opini menjadi beragam, dan akan semakin memperkaya khasana pemikiran dari opini atau pernyataan yang dilontarkan. Dalam hal ini senada ygn dikemukakan Habermas yang merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik (http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/38).

Status facebook yang disampaikan, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah publik. Status menjadi domain of common good ketika [1] menyoroti isu-isu publik yang berkaitan dengan kebijakan publik atau pernyataan politik; atau [2] status tersebut begitu atraktif sehingga menarik perhatian Facebookers yang lain untuk terlibat dalam diskusi dengan memberikan komentar. Sifat atraktif tersebut mungkin bersifat personal atau private, tetapi ketika status tersebut dilontarkan ke publik melalu Facebook maka watak personal mengalami degradasi. Atau watak personal mentransformasi menjadi publik, yang memungkinkan publik memberikan tanggapan.

Degradasi watak personal menjadi publik, mendorong terbukanya ekslusitas ke arah inklusifitas. Kalau yang personal bisa menjadi (sorotan) publik maka isu-isu publik tentunya menjadi perhatian publik. Dan perhatian publik mencipta ruang publik untuk terbentuknya diskusi dengan partisipan yang lebih luas. Semua pengguna bisa terlibat dan membuka diri untuk memberi tanggapan, terlibat dalam diskusi.
Status Facebook adalah ruang publik virtual, dan menjadi bagian penting bagi terbentuknya demokrasi deliberatif. Pertanyaannya adalah sejauh mana masyarakat sipil mampu memberdayakan ruang publik virtual sebagai bagian dari keterlibatan pemangku kepentingan dalam pembentukan kebijakan publik.

Dalam hal ini negara c.q pemerintah dalam membuat kebijakan perlu menjelajah di dunia virtual. Penjelajahan tersebut mengasah kepekaan terhadap suara-suara publik yang beredar di dunia virtual. Untuk itu aparat negara tidak oleh gagap teknologi, dan menjadikan jejaring sosial untuk mencari pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun