Di masa silam, gereja menjual tanah kavlingan surga kepada para jemaatnya. Luas tanah bergantung pada harga yang dibayarkan, semakin mahal, maka semakin luas. Siapapun yang memiliki sertifikat tanah surga dari gereja, dijamin masuk surga. Manusia pun berbondong-bondong membelinya. Siapa yang tak ingin masuk surga?
Melihat masyarakat begitu antusias, gereja menjadikan hal ini sebagai suatu kesempatan emas untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Secara bertahap gereja juga menaikkan harga sertifikat tanah surga menjadi sangat mahal. Keuntungan yang gereja peroleh dari bisnis ini menjadi berkali lipat lebih besar.
Pada suatu hari, datang seorang pemuda Yahudi ke gereja untuk berbisnis. Namun uniknya, pemuda Yahudi ini tidak datang untuk membeli surga melainkan untuk membeli neraka. Para pendeta pun berunding. “Hanya orang gila saja yang ingin masuk neraka. Kita jual saja neraka ini padanya dengan harga yang mahal. Dengan demikian kita bisa mendapat untung, dan kita pun bisa terbebas dari neraka.” Putus gereja.
Setelah mendapat sertifikat neraka dari gereja, si pemuda keluar dan menyeru semua masyarakat untuk berkumpul lalu berkata, “Aku telah membeli neraka. Sekarang neraka adalah milikku, dan aku putuskan untuk menutupnya. Maka apa gunanya kalian membeli tanah surga sementara kalian sudah aku jamin tidak akan masuk neraka!?”.
Sejak saat itu, tidak ada lagi yang membeli sertifikat surga dari gereja. Buat mereka, tidak mengapa tidak masuk surga asal tidak masuk neraka. Gereja pun merugi. Maka pihak gereja pun kembali menemui si pemuda Yahudi ini dan membeli neraka dengan harga yang berkal-kali lipat lebih tinggi dari saat si pemuda itu membelinya dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H