Mohon tunggu...
M yahya wahyudin
M yahya wahyudin Mohon Tunggu... Atlet - Reasearcher

Orang bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tinjauan Sekitar Penegakan Hukum di Tengah Pengaruh Politik Identitas

28 Februari 2021   10:00 Diperbarui: 10 Mei 2023   15:51 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah satu dasawarsa reformasi telah berlangsung, namun semakin tidak jelas sistem hukum dan penegakan hukum (Legal system and law enforcement) yang seyogianya dikembangkan diukur dengan harapan masyarakat dengan berbagai kepentingan hidupnya. Dalam beberapa hal kepentingan politik lebih berpengaruh dari pada kepentingan pelayanan hukum dan semakin jauh dari "syarat-syarat paradigmatic" yang seharusnya menjadi tolak ukur penegakan hukum itu.

Secara lebih frontal nya bahwasanya penegakan hukum hari ini semakin kental dari pengaruh-pengaruh kepentingan politik. Pengaruh tersebut semakin eksplisit ketika kita melihat dominasi satu identitas pada politik tersebut. Politik identitas menjadi sebuah fenomena yang sudah digunakan sebagai media politik. Yang lebih buruk dari politik identitas ini menjadi sebuah konsep gerakan yang mana fokus perhatianya tertuju pada perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Perbedaan-perbedaan yang menjadi identitas tersebut mencakup ras, suku, golongan bahkan agama.

Sebagai negara yang majemuk dan plural tentunya kita akan melihat berbagai perbedaan yang menjadi ciri khas bangsa ini, meskipun menurut Nur Cholis Majid mengatakan bahwasanya kemajemukan bukanlah satu hal yang unik, kemajemukan adalah desain Allah untuk manusia, tidak ada masyarakat yang tunggal monolitik dan sama sebangun dalam segala segi. 

Tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia seringkali digunakan sebagai media politik yang mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap penegakan hukum dan juga keberlangsungan demokrasi. Contoh sederhana untuk merepresentasikan narasi tersebut kita bisa melihat fenomena pemilihan Gubernur Jakarta pada tahun 2019, dimana dominasi umat Islam bisa menjadi power sebagai media untuk memenangkan Anies Baswedan. Hal itu juga ditandai menjadi awal kemunculan kembali populisme Islam di Indonesia.

Berbicara pengaruh Agama dalam penegakan hukum tentu kita tidakan pernah lupa bahwasanya kita hidup di negara demokrasi, secara jelas dalam pasal 29 E Ayat 1 dijelaskan bahwasanya setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurutnya agamanya, jika kita korelasikan dengan pasal 28 E ayat 3 nya yaitu setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat, maka atas dasar tersebut maka sah-sah saja jika umat islam menginginkan hukum Islam ditransformasi kedalam Hukum positif Indonesia. 

namun yang tidak selaras adalah ketika identitas Islam hanya dijadikan sebagai media politik belaka, hanya dijadikan sebagai media untuk memenuhi kepentingan golonganya saja, sedangkan perjuangan untuk menegakan nilai-nilai subtantif keislaman itu tidak ada sama sekali, itulah salah satu kritikan cak nur terhadap partai politik islam dengan slogan terkenal nya yaitu "Islam Yes, partai politik Islam No!" . Maka dapat dikatakan bahwa agama merupakan salah satu bentuk dari politik identitas dengan mempunyai dampak yang besar terhadap penegekan Hukum .

Fiat justicia ruat caelum, keadilan harus ditegakan walaupun langit akan runtuh. Secara tidak langsung, adigium tersebut menunjukan makna konotatif bahwasanya apapun yang terjadi di dunia ini tetapi keadilan harus tetap ditegakan. Secara eksplisit Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum, hal itu termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 "Indonesia adalah negara hukum". Konsekuensi dari negara hukum maka harus tegaknya supremacy of law demi terjaminya keamanan dan kenyamanan pada setiap warga negara. penegakan hukum harus didasarkan pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan semata.

Namun sepertinya penegekan hukum hari ini telah melenceng dari cita-cita dan harapan tersebut, sejatinya dapat kita saksikan bahwasanya setiap produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah banyak merugikan kepentingan masyarakat. padahal kita tahu, setiap kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah maka yang pertama kali akan merasakan dampaknya adalah masyarakat itu sendiri. Terbukti, sejak tahun 2019 banyak sekali rentetan diskresi pemerintah yang termanifestasikan kedalam produk hukum seolah-olah hanya untuk mempermudah kepentingan pribadi atau golongan saja.

Penegakan hukum yang seharusnya dibebaskan dari segala belenggu dan pengaruh diatas malah berubah menjadi penegakan hukum yang sarat akan kepentingan, selaras dengan hal tersebut, Thomas Hobbes dengan teori tatanan keamananya menyatakan bahwa hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Ditengah-tengah orang yang suka memangsa, hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Sebagai penganut materialism, Hobbes menagatakan bahwa ,manusia di penuhi oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentinganya sendiri, menurut Hobbes tidak ada pengertian adil dan tidak adil, yang ada hanyalah nafsu manusia. Sehingga terjadilah bellum omnium contra omnes dimana setiap individu selalu memperlihatkan keinginanya yang sungguh-sungguh egoistis.

Kepentingan-kepentingan pribadi tersebut difasilitasi oleh satu media politik dengan perbedaan sebagai identitasnya, itulah apa yang dimaksud oleh politik identitas. Francis Fukuyama bahwa saat ini negara-negara didunia memang menuju puncak dari kondisi kondisi demokrasi liberal karena semakin pesatnya globalisasi. Fukuyama mengatakan bahwasanya politik identitas pada abad 21 ini memiliki perbedaan yang cukup besar dengan spectrum politik dari pembelahan kelompok kanan dan kiri. Jika pada abad 20 fokus kedua spectrum politik tersebut pada isu ekoenomi, maka berbeda halnya dengan abad 21 ini yang lebih mengarah kepada isu-isu identitas, seperti Agama, LGBT, jenis kulit dan lainya.
Pada penegakan hukum pengaruh dari politik identitas cukup besar, kita lihat produk-produk hukum atau berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung tidak berpihak kepada kepentingan rakyat bahkan berlawanan dengan konstitusi. Seperti UU KPK, UU Minerba dan Batu Bara, UU KUHP dan yang belum lama ini disahkan adalah UU Cipta Kerja. Walaupun gelombang-gelombang protes yang dikeluarkan oleh berbagai elemen masyarakat bersama mahasiswa namun hal itu tidak sama sekali menggoyahkan produk hukum tersebut untuk disahkan sebagai undang-undang.

Begitupun dalam penegakan hukum. Sering kali kita jumpai putusan-putusan keadilan yang sama sekali tidak memberikan rasa adil. Pemerintah seringkali menggunakan UU ITE untuk menjerat nada-nada yang tidak selaras denganya. Padahal menurut Nur cholis majid bahwasanya dalam negara demokrasi itu membutuhkan sebuah rumah, dan rumahnya itu adalah masyarakat madani. Di Indonesia yang lebih parah politik identitas itu bertransformasi menjadi sebuah oligarki, golongan sebuah partai yang menjadi pemangku kebijakan memperlihatkan secara nayata tentang politik identitas itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun