Saat ini, dunia sedang dihadapkan oleh krisis pemanasan global akibat pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan oleh manusia sebagai sumber energi untuk menjalankan aktivitas industri. Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan gas buangan berupa gas karbon dioksida, dimana gas ini menjadi penyebab utama pemanasan global. Dampak buruk dari pemanasan global yaitu: curah hujan yang tinggi, kegagalan panen, hilangnya terumbu karang, kepunahan berbagai spesies, hingga penipisan lapisan ozon pada atmosfer.Â
Untuk mengatasi krisis pemanasan global ini, dunia sudah merencanakan berbagai upaya salah satunya lewat Paris Agreement yang merupakan perjanjian mengikat untuk seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengurangi emisi karbon sesuai ketentuan yang tertuang dalam Paris Agreement yang ditandatangani pada tanggal 22 April 2016 di Paris, Prancis.
Â
Namun, tampaknya tidak setiap negara sanggup untuk melaksanakan Paris Agreement tersebut. Kebanyakan negara berkembang seperti Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil yang berbiaya murah untuk menghasilkan energi listrik dan menjalankan industri di negaranya. Seperti dilansir dari ember-climate.org, kebutuhan listrik Indonesia rata-rata tumbuh sebesar 7% per tahun, dari 221 TWh pada 2015, menjadi 283 TWh pada 2019. Kenaikan (62 TWh) ini menuntut penambahan pembangkitan listrik tenaga batu bara sebesar 51 TWh, karena kenaikan produksi listrik bersih (23 TWh) tidak dapat mengimbangi kenaikan kebutuhan listrik. Selain itu, kebutuhan listrik diperkirakan akan terus naik pesat di Indonesia, mengingat kebutuhan listrik per kapita di Indonesia masih termasuk yang terendah di antara negara negara G20 dan jauh lebih rendah (-230%) daripada rata rata dunia.
Â
Pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara sangat bertentangan dengan Paris Agreement karena menghasilkan gas buangan karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan global. Oleh karena itu, negara-negara seperti Indonesia perlu mencari sumber energi alternatif baru untuk menghasilkan listrik. Ada beberapa sumber energi alternatif sebagai pengganti batu bara yaitu PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) yang memanfaatkan panas energi matahari, PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Angin) yang memanfaatkan angin dan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) yang memanfaatkan panas dari reaksi fisi inti atom untuk memanaskan air yang kemudian uapnya dapat memutar turbin  yang diubah menjadi energi listrik.Â
Namun, PLTS dan PLTA mengalami kekurangan yaitu listrik yang dihasilkan tidak konsisten karena pengaruh dari cuaca alam. Pernyataan tersebut sepaham dengan apa yang disampaikan dalam situs thehill.com, sumber energi angin dan tenaga surya tidak mampu memenuhi target yang diharapkan. Meskipun sudah puluhan miliar dolar digunakan untuk menyubsidi pengoperasian sumber energi terbarukan, sumber energi tenaga angin dan surya hanya menyuplai 7% dari kebutuhan listrik Amerika Serikat dan keduanya pun masih bermasalah dalam hal reliabilitas. Hingga kita (Amerika Serikat) memiliki unit penyimpanan energi listrik, sumber energi angin dan surya masih memerlukan cadangan sumber energi dari pembangkit listrik tenaga gas untuk menjaga kestabilan suplai listriknya.Â
Lalu apa solusi untuk memenuhi kekurangan kebutuhan suplai listrik yang disebabkan berhentinya pengoperasian pembangkit listrik tenaga batubara? Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah pilihan terbaik.
Â
Kelebihan PLTN dibandingkan dengan pembangkit lainnya adalah tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca. Reaksi fisi yang terjadi di reaktor hanya menghasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air sehingga tidak ada gas karbon dioksida yang terbentuk. Tidak mencemari udara, PLTN tidak menghasilkan gas-gas berbahaya seperti karbon monoksida, sulfur dioksida (bereaksi dengan air di atmosfer menghasilkan hujan asam yang merusak bangunan), aerosol, merkuri, nitrogen dioksida (hujan asam) dan asap yang merusak kesehatan. Sedikit menghasilkan limbah padat. Biaya bahan bakar rendah. Tidak menghabiskan tempat yang besar dibandingkan PLTS dan PLTA