Mohon tunggu...
Yahya Alamani
Yahya Alamani Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasisswa pascasarjana unma

hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hak sipil anak perkawinan belum tercatat dalam proses pembuatan dokumen administrasi kependudukan di Disdukcapil Kab.Serang

8 November 2024   14:57 Diperbarui: 8 November 2024   15:34 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak asasi manusia adalah hukum. Ia juga hak hukum yang dimiliki setiap orang manusia. Bersifat universal dan dimiliki setiap orang . hak-hak juga bisa dilanggar,namun tidak pernah dapat dihapus oleh siapapun dan Tindakan apapun (Eko Riyadi,SH.,MH,2017).

Pembentukan keluarga yang kemudian berkembang menjadi Masyarakat muslim yang baru,itu memerlukan pengajaran agama yang baik untuk anak-anak maupun bagi orang-orang yang telah dewasa. Secara tradisional,biasanya ilmu agama yang diberikan adalah (1) ilmu kalam,(2)ilmu fikih dan (3)ilmu tasawuf(Mustafa,Abdul Wahid,2008).

Adanya perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam bentuk dan konstruksi apapun, merupakan hambatan dan mengandung resiko bagi pengakuan dan pemenuhan hak-hak anak dalam hukum keluarga. Walaupun secara biologis anak yang dilahirkan berasal dari proses reproduksi pertemuan antara ovum si ibu dengan spermatozoa si ayah dan telur ibunya, apakah itu dengan hubungan seksual (coitus) atau cara lain sesuai teknologi,  namun atas perkawinan yang tidak dicatatkan (apalagi yang tidak dikehendaki, tidak diakui,  dan non marital child), berdampak pada hubungan perdata, pengakuan nasab atau garis keturunan (formal), hak mewaris, pemeliharaan dan biaya hidup,  bahkan kasih sayang dan tanggungjawab orangtuanya untuk tumbuh dan kembang anak. Apalagi anak dalam periode evolusi kapasitas  yang membutuhkan peran ganda orangtua menjaga keturunannya.

Kemungkinan besar terjadinya penerlantaran anak dalam hal perkawinan tidak dicatatkan karena  mengancam hak atas nasab, mewaris, pemeliharaan dan biaya hidup, serta pengasuhan.Dalam kenyataannya, terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak pada pemenuhan hak-hak anak dalam hukum keluarga, dan secara bersamaan berdampak pula bagi pemenuhan hak-hak anak sebagai HAM dan sebagai subyek warganegara, seperti hak atas identitas (akte kelahiran, relasi kekerabatan, kewarganegaraan.

Lebih parah lagi terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dengan indikasi eksploitatatif, atau yang tidak diakui nasab dan dikucilkan  dari pergaulan sosial dengan keluarga/kerabat sehingga menghilangkan status sosial sebagai anak dari ayahnya, maka mungkin sekali keadaan sedemikian  seakan-akan merupakan non marital child.

Tujuan utama pencatatan nikah adalah demi merealisasikan ketertiban administratif perkawinan dalam masyarakat, selain itu untuk menjamin tegaknya hak bagi suami, istri dan anaknya. Masalah pencatatan perkawinan dipandang tidak lebih dari sekedar tindakan administratif yang tidak ada pengaruhnya terhadap keabsahan suatu perkawinan. Dalam angka 4b. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditulis: pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan perinstiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Pada dasarnya ada hal yang melatarbelakangi sehingga pencatatan secara administrasi kependudukan terhadap perkawinan belum tercatat menjadi kebijakan afirmatif yang diambil untuk mengakomodir berbagai persoalan yang muncul di hulu karena pada kenyataannya banyak praktek peristiwa perkawinan belum dicatat secara negara. Salah satu yang melatarbelakangi adalah  munculnya berbagai permasalahan manakala pasangan yang sudah kawin namun tidak memiliki buku nikah/akta perkawinan sedang pada Kartu Keluarganya telah ditulis kawin, karena hal ini membawa konsekuensi terhadap Akta Kelahiran anak tersebut yang tertulis menjadi Anak Seorang Ibu, dan apabila ditulis belum kawin pada Kartu Keluarga maka Status Hubungan Dalam Keluarga antara pasangan dan anak-anaknya menjadi orang lain. Hal tersebut menandakan bahwa pencatatan status perkawinan secara negara sebagai peristiwa penting harus dilakukan karena memiliki konsekuensi hukum bagi suami, istri dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Dalam praktek perkawinan di Indonesia sebagaimana ketentuan sahnya suatu perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Pasal 2 Ayat (1) : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu" : artinya suatu perkawinan sudah dapat dikatakan sah apabila perkawinan tersebut sudah dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan dari pasangan yang telah melangsungkan perkawinan tersebut. Sedang pada Pasal 2 Ayat (2) disebutkan : "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku": banyak pandangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya ayat tersebut merupakan ketentuan administratif (bukti administratif) dan tidak berkaitan dengan masalah sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Di tataran kehidupan sehari-hari, masih banyak pasangan kawin belum tercatat oleh negara yang memiliki anak sehingga Dinas Dukcapil yang memiliki tugas mencatat peristiwa penting dan peristiwa kependudukan mengalami kendala pada penulisan/pengadministrasian status perkawinannya dalam Kartu Keluarga maupun KTP nya sehingga berdampak lebih jauh pada kepastian hukum pada istri dan anaknya. Adanya persoalan tersebut maka Dukcapil harus melakukan tindakan pemerintahan terhadap kejadian baik pada pasangan yang kawin belum tercatat maupun pada pasangan cerai belum tercatat (apabila perkawinan yang belum tercatat tersebut mengalami perceraian melalui SPTJM perceraian belum tercatat).

Tujuan dari tindakan afirmatif tersebut untuk : memberikan kepastian status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga (KK) mengenai status perkawinannya, memberi kepastian mengenai status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran mengenai siapa ayah dan ibunya, memberikan kebijakan afirmatif mengenai peristiwa perkawinan yang belum tercatat (Perkawinan siri, Perkawinan sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan Adat, Perkawinan diluar 6 Agama dan Perkawinan Penghayat Kepercayaan yang organisasinya belum terdaftar dalam Kemendikbud Ristek) di KK untuk mendapatkan pelayanan publik, mendapatkan data jumlah penduduk yang perkawinannya belum tercatat sebagai dasar kebutuhan program Isbath Nikah/pengesahan perkawinan melalui penetapan pengadilan agama/negeri dan pencatatan perkawinan massal, meningkatkan akurasi data kependudukan dengan melengkapi 31 elemen data dalam biodata penduduk termasuk nomor akta perkawinan/buku nikah dan tanggal perkawinan.  

Manfaat Tindakan Afirmatif : memberikan kepastian mengenai status hubungan dalam keluarga pada Kartu keluarga mengenai status perkawinannya, memudahkan penduduk untuk mengakses berbagai layanan publik tanpa adanya diskriminasi (mendapat perlindungan dan kepastian hukum), memberi jaminan agar penduduk mendapatkan hak sesuai dengan status perkawinannya (sebagai istri/suami/anak), mencegah terjadinya poliandri dan membatasi terjadinya perkawinan tanpa batas, memberikan kepastian mengenai asal usul anak (siapa ayah dan ibunya), memberikan kepastian apabila perkawinan yang belum tercatat tersebut mengalami perceraian melalui putusan pengadilan atau melalui SPTJM perceraian belum tercatat, membuka informasi tentang perkawinan siri dan perkawinan adat yang didorong dan dilanjutkan dengan isbath nikah.

Asal Usul Status Dalam Kartu Keluarga : "Kawin Belum Tercatat", Sebelum tahun 2017, status perkawinan dalam kartu keluarga hanya ditulis "Kawin", "Belum Kawin", "Cerai Hidup" dan "Cerai Mati". Terhadap perkawinan yang belum dicatat oleh negara, Disdukcapil mengisi kolom status perkawinan secara berbeda-beda. Ada yang menulis dengan status sudah kawin, dan ada yang menulis dengan status belum kawin

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri sedang gencar dalam menerbitkan Kartu Keluarga bagi pasangan kawin belum tercatat dengan memberlakukan Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Pasal 10 ayat (2) bahwa pasangan suami istri yang nikahnya belum tercatat atau tidak mempunyai buku nikah dapat juga mencatatkan pernikahannya di dukcapil dengan menandatangani SPTJM Perkawinan / Perceraian Belum Tercatat dan dapat diterbitkan kartu keluarganya dengan kalimat tambahan yang menerangkan status perkawinan orang tua si anak yang bunyinya "Kawin belum tercatat".

Peraturan tersebut terlihat bahwa SPTJM dapat digunakan sebagai pengganti akta perkawinan untuk membuat Kartu Keluarga yang perkawinan orang tuanya belum tercatat tetapi disertai dengan tambahan kalimat pada Kartu Keluarga tersebut yang menjelaskan status perkawinan orang tua si anak.

Namun demikian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab. Serang sejak 2019 sudah tidak mempergunakan SPTJM kebenaran pasangan suami-istri dikarenakan adanya instruksi dari Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H selaku Dirjen Kemendagri menginstruksikan bahwa SPTJM Kebenaran pasangan suami-istri sudah tidak bisa dipergunakan lagi karena makin maraknya perkawinan siri di Indonesia dan juga Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Serang sudah melakukan Perjanjian Kerjasama dengan Pengadilan Agama Serang terkait perkawinan siri.

Dalam hal pembuatan dokumen Administrasi Kependudukan untuk perkawinan siri dalam Kartu Keluarga dalam kolom status perkawinan akan tertulis "Kawin Belum Tercatat". Anak yang terlahir dari pernikahan siri, hanya tertulis nama ibunya di dalam akta kelahirannya. Nama ayah dari anak tersebut tidak bisa dimasukkan dalam akta lahir karena pernikahan orang tuanya belum tercatat secara negara. Biarpun kemudian orang tua tersebut melangsungkan pernikahan secara sah, nama ayah tetap tidak serta merta langsung bisa dimasukkan dalam akta lahir. Untuk itu diperlukan sidang asal usul anak terlebih dahulu di Pengadilan Agama.

Dalam akta lahir anak tersebut hanya tercantum nama ibunya. Tidak disebutkan nama bapaknya biarpun secara biologis orang tersebut adalah ayah kandungnya. Sebab, syarat penerbitan akta lahir merupakan buku nikah orang tua. Jika orang tuanya belum tercatat secara hukum sebagai suami-istri, akta anak tersebut akan tertulis anak dari ibu. Artinya, hanya ada nama ibunya dalam akta tersebut.

Nama ayah pada akta lahir anak juga perubahan status pada KK itu bisa dimunculkan melalui sidang asal usul anak. Pihak pengadilan akan menetapkan ayah kandung anak tersebut biarpun tanggal lahir anak yang dimaksud lebih dulu dari pada tanggal pernikahan orangtuanya. Keputusan pengadilan itu yang nantinya menjadi dasar perubahan dalam akta lahir dan KK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun