Mohon tunggu...
Billy N.
Billy N. Mohon Tunggu... -

Tinggal di Bandung, pernah sekolah di bidang kesehatan, tapi sekarang malah jadi pedagang 'asongan' & lebih banyak di depan komputer...\r\n\r\nProfil saya: www.YAHrapha.web.id

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pelajaran dari Kasus Ibu ERS: Perbaiki Kualitas Diagnostik

26 April 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:05 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bu ERS sudah mengundurkan diri sebagai menkes, sekarang tinggal kita tunggu siapa yang akan ditunjuk sebagai penggantinya sambil berharap Bu ERS bisa kembali pulih. Saya juga secara pribadi berterima kasih atas kerja keras beliau selama ini.
Tentu kasus tidak ada artinya kalau tidak jadi pelajaran untuk perbaikan ke depannya. Dari kasus sakitnya Bu ERS, kita bisa belajar mengenai deteksi dini penyakit yang sebetulnya sudah coba dilakukan melalui medical check up calon menteri, yaitu ternyata kualitas diagnostik (penunjang) kita masih kurang bagus.
Bisa terlihat bahwa perawatan & penggunaan alat kesehatan kita tidak bagus & tidak tepat, sehingga kualitas diagnostik yang dihasilkan alat jadi berkurang.
Contoh aktual dalam kasus Bu ERS. Ini skenario yang mungkin terjadi & pernah saya sampaikan. Foto rontgen toraks yang menggunakan CR/DR (digital/computed radiography) ketika salah dosis bukannya diulang malah di-edit dengan software oleh operator (biasanya radiografer) supaya hasil yang sampai ke dokter pembaca tetap 'bagus'. Tetap saja apa yang harusnya terlihat kalau diulang dengan dosis tepat jadi tidak terlihat. Ini mungkin yang terjadi pada Bu ERS.
Lalu berikutnya, hasil foto toraks itu yang harusnya dibaca langsung oleh dokter di layar ber-resolusi tinggi, misalnya minimal 5MP, ini malah dicetak. Dicetaknya kalau dengan film khusus, mungkin masih lumayan, tapi ini di plastik biasa yang resolusinya rendah demi menekan biaya, sehingga banyak detil yang hilang. Bisa dibayangkan berapa banyak penurunan kualitas yang terjadi. Memang layar monitor resolusi tinggi sangat mahal, bisa sampai ratusan juta rupiah.
Selain itu, jika memakai CR, kaset CR yang optimalnya dipakai maksimal 1000 kali, mungkin ini dipakai jauh melebihi angka tersebut, tentu jadinya kualitas yang dihasilkan menurun. Belum lagi mengenai alat yang digunakan, seharusnya berdasarkan standar ada kalibrasi rutin setiap akan mulai dipakai (biasa tiap hari), misal menggunakan phantom, dst.
Ini belum menyangkut ke kualitas alat & asesoris yang digunakan. Kalau ini dibahas mungkin lebih panjang lagi, karena belum tentu yang mahal atau terkenal itu pasti bagus kualitas diagnostiknya.
Sepertinya rumit ya? Begitulah kalau kita utamakan kualitas. Karena tanpa diagnostik yang baik, tidak mungkin kita berikan terapi yang benar. Ini baru 1 macam alat, belum alat-alat lain yang berbagai macam, tapi prinsip dasar QC-nya sama saja.
Semoga berguna.

billy[at]hukum-kesehatan.web.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun