Bu ERS sudah mengundurkan diri sebagai menkes, sekarang tinggal kita tunggu siapa yang akan ditunjuk sebagai penggantinya sambil berharap Bu ERS bisa kembali pulih. Saya juga secara pribadi berterima kasih atas kerja keras beliau selama ini.
Tentu kasus tidak ada artinya kalau tidak jadi pelajaran untuk perbaikan ke depannya. Dari kasus sakitnya Bu ERS, kita bisa belajar mengenai deteksi dini penyakit yang sebetulnya sudah coba dilakukan melalui medical check up calon menteri, yaitu ternyata kualitas diagnostik (penunjang) kita masih kurang bagus.
Bisa terlihat bahwa perawatan & penggunaan alat kesehatan kita tidak bagus & tidak tepat, sehingga kualitas diagnostik yang dihasilkan alat jadi berkurang.
Contoh aktual dalam kasus Bu ERS. Ini skenario yang mungkin terjadi & pernah saya sampaikan. Foto rontgen toraks yang menggunakan CR/DR (digital/computed radiography) ketika salah dosis bukannya diulang malah di-edit dengan software oleh operator (biasanya radiografer) supaya hasil yang sampai ke dokter pembaca tetap 'bagus'. Tetap saja apa yang harusnya terlihat kalau diulang dengan dosis tepat jadi tidak terlihat. Ini mungkin yang terjadi pada Bu ERS.
Lalu berikutnya, hasil foto toraks itu yang harusnya dibaca langsung oleh dokter di layar ber-resolusi tinggi, misalnya minimal 5MP, ini malah dicetak. Dicetaknya kalau dengan film khusus, mungkin masih lumayan, tapi ini di plastik biasa yang resolusinya rendah demi menekan biaya, sehingga banyak detil yang hilang. Bisa dibayangkan berapa banyak penurunan kualitas yang terjadi. Memang layar monitor resolusi tinggi sangat mahal, bisa sampai ratusan juta rupiah.
Selain itu, jika memakai CR, kaset CR yang optimalnya dipakai maksimal 1000 kali, mungkin ini dipakai jauh melebihi angka tersebut, tentu jadinya kualitas yang dihasilkan menurun. Belum lagi mengenai alat yang digunakan, seharusnya berdasarkan standar ada kalibrasi rutin setiap akan mulai dipakai (biasa tiap hari), misal menggunakan phantom, dst.
Ini belum menyangkut ke kualitas alat & asesoris yang digunakan. Kalau ini dibahas mungkin lebih panjang lagi, karena belum tentu yang mahal atau terkenal itu pasti bagus kualitas diagnostiknya.
Sepertinya rumit ya? Begitulah kalau kita utamakan kualitas. Karena tanpa diagnostik yang baik, tidak mungkin kita berikan terapi yang benar. Ini baru 1 macam alat, belum alat-alat lain yang berbagai macam, tapi prinsip dasar QC-nya sama saja.
Semoga berguna.
billy[at]hukum-kesehatan.web.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H