Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang rekan. Dia sedih karena anaknya gagal kuliah di fakultas kedokteran (FK). Sebab kegagalannya menurut dia adalah kalah lelang 'kursi' FK, dia hanya sanggup bayar sekian, ternyata yang menang membayar sampai Rp 500 juta. Seorang teman yang lain langsung berkata: saya kalau jadi orang super kaya akan sekolahkan perkutut saya di FK, kan yang penting menang lelang.
Ini belum lagi cerita dari seorang profesor bedah yang kesal para peserta didiknya (calon spesialis bedah), hanya bisa membedah tanpa berpikir panjang. Dia langsung berkata: kambing saya beri jas putih pun bisa lulus jadi dokter bedah kalau standar kalian seperti ini.
Ironis kalau mendengar hal ini. Seharusnya sekolah tenaga kesehatan yang berkaitan dengan nyawa manusia nggak dilelang macam ini dengan mengesampingkan intelektualitas. Jangan sampai ada ungkapan dari seorang dokter yang diminta mengajar di salah satu sekolah tenaga kesehatan: mereka (maaf) seperti monyet yang diberi baju putih.
Apa mungkin pelayanan kesehatan di negara kita bisa bersaing dengan negara-negara tetangga kalau 'pabrik'-nya saja kacau begini?
Menurut saya harusnya semua sekolah dokter, perawat, apoteker, dokter gigi, radiografer & sejenisnya punya standar minimal penerimaan mahasiswa baru yang jelas, sehingga nggak membahayakan masyarakat. Kalau perlu dibuat ujian seleksi masuk bersama. Kalau memang nggak memenuhi syarat, walau kapasitas masih tersedia ya nggak usah terima mahasiswa tersebut untuk menjaga kualitas. Setelah lulus pun ada uji kompetensi reguler untuk menjaga kualitas pelayanan. Pemerintah seharusnya melakukan hal ini kalau memang niat melindungi masyarakatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H