Kasus penyerangan dan pembakaran Mapolsek Ciracas oleh 200-an "orang tidak dikenal berambut cepak" kemarin itu sungguh mengagetkan warga. Tiada dinyana tiada disangka pada era digital modern sekarang ini, masih ada sebagian warga yang bertindak anarkis ala Manusia kera, Pithecantropus Mojokertensis.
Pithecantropus Mojokertensis atau akrab juga disebut sebagai "Anak Mojokerto" itu, hidup lebih dari satu setengah juta tahun yang lalu di daerah Mojokerto. Mereka hidup secara nomaden dalam kelompoknya dengan berburu hewan atau makanan apa saja untuk menyambung hidupnya. Mereka ini belum mengenal api. Itulah sebabnya ketika mereka menemukan sebuah mancis, maka Mapolsek Ciracas kemudian langsung terbakar...
Bak sinetron emak-emak di layar televisi, konon kasus pembakaran Mapolsek Ciracas ini berawal dari kisah sehari sebelumnya. Lokasi "shootingnya" berada di area pertokoan Arundina, Ciracas pada Senin 10 Desember 2018 sore. Aktornya adalah aparat TNI dengan beberapa tukang parkir. Inti ceritanya 5 orang tukang parkir tersebut melakukan pengeroyokan terhadap dua orang aparat TNI (satu perwira dan satu bintara)
Adegan kemudian berakhir dengan kepergian aparat TNI untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi mereka. Tetapi gampang ditebak, kisah ini justru baru akan dimulai, bukannya berakhir karena ini adalah sinetron bersambung. Lalu penonton kemudian menyaksikan acara "Bakar Batu" keesokan harinya.
Konon acara "Bakar Batu" ini terjadi karena pasukan 200-an tadi tidak puas dengan kinerja aparat kepolisian Ciracas dalam menangani konflik di area pertokoan Arundina kemarin itu. Kapolsek Ciaracas kemudian menjelaskan protap standar kepolisian dalam menangani kasus tersebut. "Acara berbalas pantun" oleh kedua belah pihak yang dipisahkan oleh pagar Mapolsek Ciracas itu kemudian menemukan jalan boentoe.
Jelas sekali "tempat berdiri"Â menjadikan sudut pandang terhadap penyelesaian kasus ini menjadi berbeda pula! Lelaki yang berdiri di dalam halaman Polsek ingin kasus ini ditangani sesuai dengan ketentuan dan prosedur hukum yang berlaku. Apalagi para pelaku tersebut sudah langsung ngumpet entah kemana. Tentu para Buser perlu waktu dan perjuangan juga untuk mencari mereka.
Sebaliknya lelaki yang berdiri di luar halaman Polsek memiliki sudut pandang yang berbeda pula! Mereka tidak percaya kepada polisi dan hukum sipil yang berlaku! Mereka menganggap polisi terlalu lemah dan banyak "tepu-tepu." Sebab polisi tidak boleh menyebut orang bersalah. Polisi hanya boleh menyebutnya Tersangka atau Terduga. Lalu jaksa menyebutnya Terdakwa. Hanya hakim yang boleh menyebutnya Bersalah atau malah memvonisnya bebas!
Hukum sipil itu memang terlalu lama dan membosankan. 200-an lelaki yang berdiri di luar halaman Polsek tadi lebih suka hukum ala Pithecantropus Mojokertensis. Mereka ingin bertindak menjadi polisi, jaksa dan hakim dalam satu paket yang utuh, tanpa sudi pula untuk menjadi seorang pengacara ataupun penasehat hukum!
Ketika dua orang lelaki tidak bisa memadukan persepsi mereka dalam sebuah nalar yang sehat, maka mereka akan mencari sebuah Gentlemen's Agreement lewat... otot! Kapolsek Ciracas kemudian tumbang dan dilarikan ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati...
***
Tidak ada satu alasan apapun di dunia ini yang layak diterima untuk membenarkan satu perbuatan kekerasan terhadap orang lain, dan juga aksi anarkis dan vandalisme, apalagi terhadap aset/kepentingan rakyat!