Pertarungan menuju Pilpres 2019 sudah dimulai dimana kedua timses sibuk dengan strategi kampanye masing-masing. Tetapi ada perbedaan yang khas dari kedua timses ini dalam menjalankan strategi kampanyenya masing-masing.
Timses Paslon 1 fokus dengan membangun citra yang kuat dari calonnya. Semua prestasi yang sudah dicapai dan program kerja menarik untuk tahap berikutnya dieksploitasi secara masif. Pembangunan infrastruktur dan kesetaraan harga BBM dan beberapa barang tertentu menjadi salah satu jargon andalan. Pola ini memang sudah sewajarnya dipakai oleh timses petahana.
Sebaliknya dengan cara Timses Paslon 2 yang memakai strategi berbeda. Mereka ini memakai pola "Gegana" (Gelisah, galau dan merana) dalam strategi kampanyenya. Masyarakat dijejali berbagai stigma, zaman susah cari makan, utang luar negeri, anti asing-aseng, isu PKI, bencana, kriminalisasi ulama, tempe setipis kartu ATM" dan berbagai isu yang membuat gelisah lainnya.
Gaya kampanye kedua timses ini memang sangat menarik dicermati karena sangat kontras sekali. Ibarat yin dan yang, siang dan malam, api dan air atau madu dan racun. Yang satu mengoleskan madu, yang satunya lagi mengoleskan racun... Yang satu memberi harapan dan optimisme, yang satunya lagi memberi rasa takut dan pesimisme...
Sangat menarik kalau kita kilas balik ke masa Pilgub DKI 2017 lalu, dimana suasananya sangat mirip sekali dengan kondisi saat ini. Ketika itu timses Ahok-Djarot lebih fokus membangun citra kuat lewat prestasi yang sudah dicapai Ahok-Djarot. Suka tidak suka, Jakarta itu memang lebih baik ketika diurus oleh Ahok-Djarot.
Elektabilitas Ahok-Djarot yang didukung oleh koalisi banyak parpol itu juga jauh diatas kedua parpol saingannya. Apalagi dalam beberapa Debat Paslon oleh KPU, terlihat benar keunggulan dari pasangan Ahok-Djarot ini. Namun fakta berbicara lain. Ketika pasangan Ahok-Djarot tidak bisa menang dalam satu putaran, maka bencana sudah menanti di depan mata.
Artinya elektabilitas itu sama sekali tidak berlaku di TPS! Ada beberapa penyebabnya. Mulai dari simpatisan Ahok-Djarot itu ternyata tidak datang ke TPS, atau tidak bisa memberikan hak suaranya di TPS (karena berbagai sebab) hingga simpatisan itu kemudian berubah pilihan pada saat-saat akhir.
Pada putaran pertama Ahok-Djarot hanya bisa meraup 43% suara. Anies-Sandi 40% suara sedangkan AHY-Sylviana mengapung dengan 17% suara. Artinya, timses Ahok-Djarot memang terlalu under-estimate terhadap paslon Anies-Sandi ini, apalagi paslon ini kerap kali dibully warga karena "bertingkah loetjoe..."
"Lucu (karena terkesan ngasal)" adalah salah satu strategi jitu paslon Anies-Sandi (terutama oleh Sandi) Hal lucu itu memang gampang diingat dan biasanya selalu menarik hati, walaupun kadang terkesan bodoh. "Bodoh koq menarik!" demikianlah kegusaran "kaum cerdik-pandai"
"kaum cerdik-pandai" ini lupa kalau populasi mereka itu hanya segelintir di negeri ini. "kaum Non cerdik-pandai" yang mayoritas itu ternyata lebih menyukai cerita gosip, cerita tahyul, berita hoaks atau cerita lucu yang tidak perlu pakai mikir agar kepalanya tidak sampai kepanasan karena cape berpikir...
Di putaran kedua, timses Ahok-Djarot ini tetap memakai strategi kampanye yang sama, yaitu fokus mengurus citra/prestasi kerja Ahok-Djarot, termasuk "wara-wiri" (membuat berbagai flash mob) lainnya, untuk menunjukkan kepada publik bahwa dukungan terhadap pasangan Ahok-Djarot tidak terpengaruh oleh kasus "rekayasa penistaan agama" maupun tuduhan fitnah lainnya.