Bersikap Religi Dalam Negara Demokrasi
Oleh : Yafi Nurfaizal
Dua puluh satu tahun sudah Indonesia memilih jalan panjang menuju demokrasi. Jalan yang tidak mudah, dipenuhi kerikil serta tantangan di setiap liku jalan. Salah satu tantangan terbesar bangsa ini adalah menciptakan masyarakat yang harmonis dengan segala keragaman budaya, agama dan opini.
Seperti halnya dua sisi mata pedang, keragaman tersebut merupakan anugerah struktural bangsa di satu sisi, sekaligus dapat memprovokasi benih-benih kanker jika tidak dikanalisasi dengan benar di sisi lainnya.
Mulai dari hiruk-pikuk sidang Abu Bakar Basyir, polemik bom buku hingga amukan masa yang ditujukan kepada kelompok Ahmadiyah dan Kristiani, memberi bukti gagalnya negara dalam melindungi keanekaragaman masyarakatnya.
Jika kita melihat kembali pola-pola teror pada masa lalu, kebencian yang irasional tidak lagi ditargetkan kepada "musuh luar" seperti halnya pengeboman di Bali, Hotel Mariott maupun Kedutaan Besar Australia, yang merupakan simbol perlawanan terhadap negara-negara Barat. Target kekerasan kini beralih kepada "musuh dalam" yang mempunyai opini dan menganut kepercayaan yang berbeda dari kelompok radikal tersebut.
Tensi antar umat beragama saat ini, mengingatkan kembali akan peristiwa-peristiwa kekacauan di berbagai daerah Indonesia menjelang awal Milenial. Sekilas, jika kita bandingkan dengan era Orde Baru, era Reformasi seperti terbelenggu dalam kekacauan yang kontras dengan kestabilan kala Soeharto.
Tetapi, jika rezim Orde Baru berhasil menempatkan Indonesia pada jalur stabilitas politik melalui sentralisasi yang intensif, stabilitas tersebut diperoleh dengan modus operandi otoriter yang bersembunyi di belakang diktum "Bhineka Tunggal Ika" dan prinsip SARA. Stabilitas itu ternyata semu dan rapuh ketika pendapatan domestik bruto (PDB) negara terjun bebas dilanda krisis. Yang terjadi selanjutnya sudah merupakan bagian dari sejarah bangsa ini.
Namun, patut dicatat, ketegangan antar agama dan antar etnis pada awal mula era Reformasi dan kekerasan religius yang terjadi sekarang, walau sekilas terlihat mirip, mempunyai motif dasar yang berbeda dengan era Orde Baru.
Pada yang pertama, merupakan konsekuensi dari tiga dekade politik hiper-sentralisasi di Jawa dan kronisme yang menimbulkan kecemburuan sosial, sedangkan yang terakhir merupakan akibat dari laxisme atau ketidak-tegasan pemerintah dalam menanggapi kelompok-kelompok garis keras.
Meskipun fenomena terjeratnya ke dalam radikalisme dapat dikorelasikan dengan kondisi sosio-ekonomis, para individu di kelompok-kelompok tersebut akhirnya beraksi karena intoleransi mereka terhadap perbedaan, dan bukan lagi karena kecemburuan sosial.