Mohon tunggu...
Yafet Ronaldies
Yafet Ronaldies Mohon Tunggu... Freelancer - Human Mood-an

Ordinary Writer || Digital Writer || Freelance || Hobi makan || Enjoy Cook {Linke Ideologie}

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Justice Collaborator Tidak Menjamin Tuntutan Hukuman Pidana Rendah

19 Januari 2023   22:24 Diperbarui: 19 Januari 2023   22:29 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Justice collaborator pertama kali diperdengarkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Masuknya doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan, sikap mafia/penjahat kelas kakap yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut. Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminologi justice collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989) hingga ke Indonesia sampai sekarang ini.

Ngebahas soal Justice Collaborator (JC), pasti identik dengan Richard Eliezer untuk beberapa bulan terakhir ini. Apalagi Richard menjadi saksi kunci dalam peristiwa pembunuhan Alm. Brigadir Joshua Hutabarat. Lembaga yang dapat memberikan JC adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Lantas, bagaimana bisa Richard bisa mendapatkan JC tersebut? Tentu saja dari proses permohonan kepada LPSK, baik secara lisan maupun tulisan dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan. Kemudian, setelah diajukan maka proses verifikasi kelengkapan data/berkas akan di lakukan oleh LPSK untuk saksi atau korban mendapatkan perlindungan hukum. 

Lalu hak-hak apa saja yang dapat diperoleh ketika saksi atau korban mendapatkan JC, semua tertuang dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014, dalam Pasal 5 yang dimana saksi atau korban mendapatkan keseluruhan perlindungan keamanan baik secara pribadi, lingkup keluarga sampai pada harta bendanya, dalam hal ini seseorang yang mendapatkan JC wajib mendapatkan perlindungan secara fisik maupun kesehatan mentalnya.

Kasus-kasus yang biasa mendapatkan Justice Collaborator (JC), kebanyakan seperti kasus tindak pidana korupsi dan narkotika. Akan tetapi lingkup kasus yang bisa mendapatkan JC tidak hanya dua kasus itu saja. Semua kasus bisa mendapatkan JC, asal validasi dari LPSK dirasa cocok dan layak mendapatkan perlindungan hukum. Dan tidak hanya itu, di Pasal 10 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014, kasus-kasus perdata pun saksi bisa mendapatkan justice collaborator dari LPSK.

Kalau ditinjau dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, seseorang yang bisa mendapatkan Justice Collaborator syaratnya seperti: bukan pelaku utama, kemudian tindak pidananya bersifat terorganisir, serta telah menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan publik, selanjutnya keterangannya jelas dan sesuai peristiwa fakta yang sebenar-benarnya. Kemudian, hal utama juga yang harus dilakukan oleh penerima justice collabolator adalah bersedia bekerja sama dengan para penegak hukum untuk membongkar sebuah kejahatan atau kasus yang dinilai rumit (entah itu karena banyak barang bukti yang dihilangkan/musnahkan) dan besar yang menjadi pusat perhatian publik secara masif.

Lantas? Apakah para penerima justice collaborator yang juga masuk dalam tersangka/terdakwa bisa diringankan hukuman pidananya atau bahkan dibebaskan keselurahan dari kasus pidana yang sedang dijalaninya? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Mengapa demikian? Di dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, menyatakan bahwasannya seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila dia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya. Akan tetapi, kesemuanya itu perlu menjalani proses hukum sampai tuntas. Selanjutnya seluruh bukti-bukti di dalam persidangan menjadi pertimbangan para penegak hukum dalam memberikan tuntutan dan vonis kepada penerima JC yang juga tersangka tindak pidana.

Kalau kita lihat dari kasus yang menimpa Richard Eliezer, yang pada Kamis 19 Januari 2023 baru saja mendengarkan tuntutannya selama 12 tahun, sungguh sangat mengegerkan publik. Yang di mana publik mengharapkan bahwa tuntutan jaksa bisa lebih rendah, ini malah sebaliknya. Salah satu alasan dari jaksa penuntut umum, adalah Richard Eliezer ikut serta dalam melakukan pembunuhan dengan menembak alm. Brigadir Joshua Hutabarat, inilah salah satu alasan jaksa memberikan tuntutan selama 12 tahun tersebut.

Akan tetapi, persidangan belum selesai masih belum final karena vonis hukuman dari hakim belum ada. Apakah hukuman Richard Eliezer bisa diringankan atau bahkan dibebaskan? Semuanya kembali kepada hakim, dalam mempertimbangkan seluruh alat bukti yang telah di paparkan selama persidangan. Maka dari itu penulis mengutip pernyataan Prof Edward Omar Sharif Hiariej, yang menyatakan bahwasannya bukti-bukti harus jauh lebih terang dari pada cahaya.

Terakhir penulis mau menyampaikan bahwa, perlindungan hukum terhadap seseorang yang menerima justice collaborator, menjadi alur dalam membuka tabir sebuah perisitiwa pidana yang awalnya banyak kejanggalan dan rumit dalam menemukan kembali bukti-bukti yang telah dihilangkan, menjadi sebuah peristiwa pidana yang terang-berderang walaupun hanya seperti lilin kecil di tengah gelap gulita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun