Mohon tunggu...
Yafet Ronaldies
Yafet Ronaldies Mohon Tunggu... Freelancer - Human Mood-an

Ordinary Writer || Digital Writer || Freelance || Hobi makan || Enjoy Cook {Linke Ideologie}

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ambruknya Benteng Terakhir Tempat untuk Mencari Keadilan

17 Oktober 2022   19:15 Diperbarui: 17 Oktober 2022   20:03 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan kali ini akan membahas terkait kasus yang sempat mengegerkan publik belakangan ini, persoalan penerimaan suap Hakim Mahkamah Agung. Ketika Hakim Agung yang berada dalam suatu puncak tertinggi dari semua Pengadilan yang ada di Indonesia telah menerima suap, lantas ke manakah kita akan pergi dalam mencari sebuah hirarki keadilan di negeri ini?? Sungguh sangat memilukan dan mencoreng moralitas marwa dari Mahkamah Agung. Berikut penulis akan sekilas menguraikan alur kronlogis dari kasus tersebut. Bermula dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), setelah mendapat informasi terkait dugaan suap perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. Berdasarkan catatan Direktori Putusan MA, perkara itu ditangani oleh Hakim Ketua Syamsul Maarif dan Sudrajad Dimyati serta Ibrahim sebagai Hakim Anggota. Selanjutnya dalam Putusan MA Nomor 874 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 itu, mengabulkan permohonan pemohon agar KSP Intidana dinyatakan pailit, sekaligus membatalkan putusan dua pengadilan sebelumnya. Kalau berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), aturan ini menyatakan jika perusahaan dinyatakan pailit artinya ketika debitur (pemilik utang) mempunyai dua atau lebih kreditur (pemberi utang) tidak membayar utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (arti pailit). Seluruh jalur kepailitan ini berada dalam pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator (Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan), kurator akan berada di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyita barang bukti berupa uang senilai S$205.000 (setara Rp2,17 miliar) dan Rp50 juta yang diduga sebagai suap pengurusan kasasi perkara perdata Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Semarang, Jawa Tengah. Untuk nama-nama daftar tersangka sebagai penerima suap; Sudrajad Dimyati selaku Hakim Agung MA, Elly Tri Pangestu Hakum Yustisial/Panitera Pengganti MA, Desy Yustria PNS Kepaniteraan MA, Muhajir Habibie, PNS Kepaniteraan MA, Redi PNS MA, Albasri PNS MA. Selanjutnya sebagai pemberi suap antara lain, Yosep Parera dan Eko Suparno selaku pengacara, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana).

Kemudian dari pihak Komisi Yudusial (KY), akan menjalan proses etik sembari berkoordinasi dengan KPK. Kalau berdasarkan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Artinya peran sentral dari KY ini sangat penting dalam menjaga keseimbangan kinerja para hakim, termasuk hakim yang ada di Mahkamah Agung. Kalau dilihat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Pasal 32A Komisi Yudisial berperan sebagai pengawasan eksternal atas perilaku Hakim Agung, dimana pengawasan tersebut dilakukan atas dasar pedoman etik perilaku hakim. Selanjutnya ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial Pasal Pasal 22B Komisi Yudisial berhak melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

Berdasarkan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Tahun 2017 Tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, dipoint 4 (empat), dikatakan bahwa Mahkamah Agung akan memberhentikan Pimpinan Mahkamah Agung atau Pimpinan Badan Peradilan di bawahnya secara berjenjang dari jabatannya selaku atasan langsung, apabila ditemukan bukti bahwa proses pengawasan dan pembinaan oleh pimpinan tidak dilakanasakan secara berkala dan berkesinambungan. Selanjutnya Mahkamah Agung juga tidak akan memberikan bantuan hukum kepada Hakim maupun Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya yang diduga melakukan tindak pidana dan diproses di Pengadilan. Artinya Mahkamah Agung secara tegas tidak akan mentoleransi ketika ada setiap elemen Pengadilan termasuk Hakim Agung, ketika terbukti bersalah atau melakukan tindak pidana, maka langsung diberhentikan.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai jabaran Pasal 12 tentang suap yang diterima oleh pegawai negeri, penyelenggara negara, hakim, advokat. Ancaman hukuman terhadap penerima suap adalah hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (Satu Milliar Rupiah). Dari ancaman hukumannya bisa bersifat alternatif, salah satunya apakah itu pidana atau denda. Kendatipun demikian, ancaman hukumannya juga bisa bersifat kumulatif, baik pidana dan denda dapat dijatuhkan bersamaan.

Selanjutnya jikalau berbicara soal pembuktian, maka Pasal 26 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, ada dua bagian seperti: Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Kemudian, Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).

Kalau kita flashback berkaca dari kasus Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi Akil Mochtar, berdasarkan Amar Putusan Akil Mochtar dijatuhi hukuman pidana penjara selama seumur hidup. Kemudian diberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Lantas hukuman apakah yang layak untuk kasus Hakim Agung Sudrajad Dimyati dkk? Mari kita kawal kasus ini agar tidak hilang begitu saja.

Sekian,

Thanks...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun