Seperti biasanya, pagi itu Jaka Someh bersiap untuk pergi ke ladangnya yang ada di selatan gunung halimun. Ladang yang selalu dia rawat dengan penuh kesungguhan dan rasa sayang. Jaka Someh berjalan menyusuri jalan setapak yang lebarnya hanya sekitar 2 meter. Jalan setapak tersebut seakan-akan membelah hutan halimun menjadi dua bagian.
Dengan semangat yang masih menyala, dia terus berjalan dengan gagahnya menuju arah sisi selatan gunung. Suara burung berkicau menjadi musik penghiburnya di sepanjang perjalanan.
Di tengah perjalanan, ketika melewati sebuah sungai kecil yang airnya nampak jernih, Jaka Someh menyempatkan untuk berhenti sejenak karena mau mengisi wadah minumnya. Jaka Someh sempat meminum beberapa teguk air dari wadahnya tersebut, dan merasakan sensasi kesegaran yang masuk kedalam jiwa.
Setelah wadah bambunya terisi penuh dengan air, Jaka someh pun kembali melanjutkan perjalanannya.
Belum ada seratus langkah dia berjalan dari tempat itu, tiba-tiba Jaka someh melihat ada segerombolan lelaki dewasa yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa dari arah puncak gunung. Tampang mereka nampak sangar dan galak. Mereka berjalan tergesa sambil menyeret seorang lelaki berumur yang wajahnya nampak babak belur seperti habis dipukuli.
Jaka Someh terpana ketika melihat salah seorang dari anggota gerombolan itu. Dia tidak mungkin lupa dengan wajah orang yang telah membunuh ayahnya, meskipun kejadiannya sudah lebih dari 5 tahun yang lalu.
Orang itu adalah ki Marta, salah satu anak buah Juragan Permana, yang dulu telah membunuh ayahnya.
Melihat wajah Ki Marta, Jaka Someh hanya mampu terdiam, tidak tahu harus bagaimana. Di dalam dadanya berkecamuk berbagai perasaan, antara marah, benci dan bingung. Dia ingin sekali melabrak ki marta namun dia sadar bahwa hal tersebut adalah tindakan bunuh diri.
Jaka Someh tahu bahwa ki marta adalah seorang jawara kampung rawa balong yang di takuti banyak orang. Sedangkan Jaka Someh hanyalah seorang pemuda tanggung yang tidak memiliki kepandaian bela diri apapun. Bagaimana mungkin dia sanggup menghadapi ki marta dan kawan-kawannya. Namun karena perasaan marah dan bencinya lebih besar dibandingkan rasa takutnya. Jaka Someh pun menghentikan langkahnya dan berdiri ditengah jalan untuk mencegat Ki Marta dan kawan-kawannya.
Ketika rombongan ki Marta sudah mendekati Jaka Someh, salah satu dari mereka yang memiliki tubuh paling kurus namun berwajar sangar, berteriak pada Jaka Someh
“Heh Bocah cunguk... kenapa menghalangi jalan kami...? apa wajahmu yang bloon itu mau saya buat babak belur seperti Ki Madun ini...?”
Jaka Someh di bentak seperti itu malah terdiam, melongo. Tanpa sadar, matanya melotot ke arah ki marta dengan sorot mata yang tajam. Melihat Jaka Someh memandangi dirinya dengan sorot mata seperti itu, ki Marta menjadi emosi
“Kurang ajar kamu...kenapa kamu melototi aku seperti itu hah...Aku hajar kamu ya...?” kata ki Marta mengancam.
Mendengar ancaman Ki Marta, Jaka Someh malah semakin melotot tajam. Dia terus memandangi wajah Ki Marta dengan sorot mata yang penuh kemarahan dan rasa benci. Ki Marta menjadi bertambah emosi melihat sikap Jaka Someh yang dianggap kurang ajar. Dengan spontan Ki Marta berlari ke arah Jaka Someh dan langsung menampar wajahnya. Tidak berhenti hanya dengan menampar, dia pun melanjutkan dengan menendang perut Jaka Someh. Jaka Someh tersungkur ke belakang dan serulingnya pun terlepas dari balik celananya. Belum sempat Jaka Someh berdiri, teman-teman Ki Marta juga ikut memukuli dan menendang.
Jaka Someh menjadi semakin terpuruk, dengan reflex dia meletakan kedua tangannya untuk melindungi wajah dan badannya. Perasaan sedih, marah dan susah bercampur aduk dalam jiwanya, melupakan sesaat rasa sakit akibat pukulan dan tendangan Ki Marta dan kawan-kawannya. Untunglah dia memiliki fisik yang kuat, sehingga dia masih mampu bertahan dari pukulan dan tendangan KiMarta dan kawan-kawannya. Namun karena serangan mereka yang terus bertubi-tubi, tak ayal lagi akhirnya Jaka Someh pun mulai merasakan payah dan kesakitan. Setelah sadar dengan rasa sakitnya yang sudah memuncak, Jaka Someh secara reflek berteriak. Dia menangis, karena sedih dan kecewa tak berdaya melawan Ki Marta dan kawan-kawanya
” Aduh Gusti…aduh…sakit...uuhh…ampun…mang”
Ki Marta dan kawan-kawannya tidak memperdulikan tangisan Jaka Someh, mereka terus memukuli Jaka Someh tanpa ada rasa belas kasihan sedikitpun. Akhirnya karena sudah tidak kuat lagi Jaka Someh pun pingsan tak sadarkan diri. Setelah mereka tahu bahwa Jaka Someh sudah tak berdaya, salah satu dari mereka berusaha menghentikan kawan-kawannya yang lain, dia berseru kepada teman-temannya
”Sudah, sudah. Bocah ini sudah sekarat…percuma kita menghabisinya, membuang tenaga kita saja…gak ada untungnya buat kita... yang penting dia sudah merasakan pelajaran...biar dia merasa kapok”
Ki Marta dan kawan-kawannya akhirnya berhenti memukuli Jaka Someh. Setelah puas melihat Jaka Someh tergolek di tanah, mereka pun pergi meninggalkan Jaka Someh yang sudah tak sadarkan diri, dan kembali menyeret lelaki yang tadi mereka bawa.
Bersambung ke Bab 3. Kesepian. Mengharapkan Teman untuk Berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H