Reformasi birokrasi di Indonesia telah menjadi agenda penting sejak beberapa dekade terakhir. Tujuannya jelas: menciptakan pemerintahan yang efisien, transparan, dan akuntabel.
Namun, ketika kita berbicara tentang implementasi reformasi ini di tingkat kabupaten dan kota, kenyataannya sering kali jauh dari harapan.
Pemangkasan birokrasi yang idealnya bertujuan menyederhanakan prosedur dan meminimalkan red tape, di banyak tempat, hanya menjadi angan-angan belaka.
Salah satu tantangan terbesar dalam reformasi birokrasi di tingkat kabupaten dan kota adalah resistensi dari dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Birokrasi lokal sering kali terjebak dalam pola kerja yang sudah usang dan kurang responsif terhadap perubahan.
Hal ini diperparah oleh kurangnya pemahaman dan keterampilan ASN (Aparatur Sipil Negara) di level bawah mengenai konsep dan implementasi reformasi birokrasi.
ASN di tingkat bawah, yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan masyarakat, sering kali menunjukkan kekakuan dalam bekerja.
Mereka cenderung menjalankan tugas secara mekanis tanpa pemahaman mendalam tentang tujuan besar dari reformasi birokrasi. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kondisi ini.
Pendidikan dan Pelatihan yang Tidak Memadai, Banyak ASN di level bawah belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai tentang reformasi birokrasi. Pelatihan yang ada sering kali bersifat teoritis dan tidak aplikatif terhadap tugas sehari-hari.
Yadi Pebri, ST
Kader Pemimpin Muda Nasional Kemenpora RI