Mohon tunggu...
Yadi La Ode
Yadi La Ode Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kita tidak mesti hebat saat memulai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Balik Keceriaan Anak-Anak Suku Bajo

18 September 2014   01:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sela-sela rumah dinding kayu, angin itu menyusup masuk. Hembusan angin di pagi buta sangat lah dingin. Angin itu tembus masuk kedalam pori-poriku. Pagi ini tampak ada yang berbeda, biasanya yang membangunkanku adalah suara dari klakson mobil, bunyi bising dari knalpot motor, atau suara orang yang lalu lalang. Maklum saja, rumah tempat tinggal ku masuk dalam kawasan padat penduduk. Tempatnya berada dekat dengan jalan umum dan pasar. Rasa ingin tidur masih melanda tetapi niat itu ku urungkan sebab saat ini saya berada pada sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan kota. Saya baru tersadar kalau hari ini saya berada di rumah warga, rumah seorang anak yang tiba-tiba saja mengantarkan segelas teh hangat di hadapanku. Kemarin ia yang menawarkan tumpangan tidur di rumahnya. Di tempat ini sangat kurasakan sebuah kenyamanan dari tempat tinggal saya di Kota. Pagi itu, yang ku dengar hanyalah bunyi percikan air dan suara anak-anak yang sedang bermain, semua rumah warga di bangun diatas laut. Untuk menghubungkan antara rumah satu dan rumah yang lain, di buat semacam jembatan yang dapat menghubungkan rumah-rumah mereka. Sumber: Desa Terapung Suku Bajo Sumber: Keceriaan Anak Suku Bajo Mengawali aktifitas saya di pagi ini, kulihat beberapa orang warga mengayuh sampan dan melintas di bawah kolong rumah. Saat ini saya berada di sebuah perkampungan suku bajo, setelah kemarin melakukan perjalanan panjang dari Kota Baubau. Di tempat ini,  saya mendapatkan pelayanan yang hangat dari mereka. Awal kedatanganku di tempat ini, saya di lihatnya sangat asing. Beberapa orang anak bertanya kepada saya dengan bahasa daerah mereka, tak satu pun ku jawab sebab bahasanya tidak sama sekali kumengerti. Para warga pun langsung berkumpul dan saling bertanya-tanya. Kejadian ini memang sering terjadi bila ada warga pendatang masuk kekampung mereka. Kondisi rumah-rumah mereka agak kurang terawat, dinding-dinding rumahnya sudah mulai lapuk. Bantuan pemerintah program bedah rumah yang mereka terima, dirasakan kurang bermanfaat dan tidak tepat sasaran. Sepertinya bantuan itu tidak seluruhnya diberikan ke warga. Sebab, banyak keluhan yang ku dengar dari mereka soal program tersebut bermasalah. Potret ini sering dialami warga desa, mereka menganggap warga desa tak tahu apa-apa. Hak yang seharusnya di berikan ke masyarakat desa, justru di “rampok” oleh mereka yang tak tahu diri. Usai kami sarapan bersama, bapak itu langsung bergegas menuju kolong bawah rumahnya. Setelah membereskan beberapa peralatannya, ia langsung berpamitan kalau hari ini ia akan melaut. Dengan menggunakan sampan, ia bersama putranya menuju kesuatu tempat di laut untuk mencari ikan. Anak itu sangat bersemangat, secara bersamaan ia mengayuh sampannya menuju laut lepas. Ia adalah Simote usianya masih sangat belia, hampir setiap hari ia selalu menemani sang ayah untuk melaut. Saat anak-anak yang lain berseragam merah putih, Simote memilih menaiki sampan dan melaut bersama sang ayah, ia adalah satu diantara anak lain yang tidak bersekolah. Di Desa Terapung Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton ada banyak anak yang ku temui disini tidak bersekolah. Anak-anak itu lebih memilih melaut ketimbang mengikuti proses belajar di sekolah. Beberapa orang tua dari mereka menuturkan, bahwa sebenarnya mereka sangat menginginkan anak-anaknya bersekolah. Sekalipun sekolah tak memungut biaya, namun beberapa atribut dan buku harus di beli dengan harga yang lumayan. Sementara biaya yang dibutuhkan tidak lah sedikit, para nelayan juga bisa melaut jika cuaca bersahabat.

Sumber: Senja di Desa Terapung Suku Bajo
Sumber: Simote Usai Melaut Hari sudah senja, saat itu saya berada di ujung sebuah jembatan menyaksikan matahari perlahan kian tenggelam. Dari jauh kulihat sebuah perahu mengarah ke tempatku, perahu itu semakin mendekat. Ternyata mereka adalah Simote dan ayahnya, mereka baru saja pulang dari melaut. Melihat itu, saya pun langsung bergegas menghampiri mereka. Kepergiannya sejak pagi tadi tak menjadi sia-sia saat kulihat hasil tangkapan yang dibawa pulang lumayan banyak. Kata mereka, ini tidak seberapa, biasanya banyak ikan yang kami bawa pulang. Kulihat Simote begitu kuat, otot-ototnya keluar dari badan cekingnya. Ia mengangkat beberapa alat pancing dan dayung, Simote adalah anak yang rajin, ia tak pernah mengeluh soal dirinya yang berkerja dengan sedikit waktu bermain. Bila ia tak melaut, maka waktunya dihabiskan membantu sang Ibu dirumah. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang juga biasa berjualan ikan. Saat sang suami pulang melaut maka ikan hasil tangkapannya ia jual ke pasar, dari hasil penjualan ikan itulah mereka bisa menyambung hidup. Malam itu, kami duduk berdua bersama Simote. Ia banyak cerita soal dirinya bersama kawan-kawan lainnya di desa ini, ia juga banyak bertanya soal kehidupan anak-anak kota. Anehnya, ia justru mempunyai cita-cita untuk menginjakkan kakinya ke sebuah kota. Sebab, ia banyak mendengar tentang keramaian kota dan banyak tempat hiburan. Selama hidupnya, Simote belum pernah melihat suasana keramaian dari sebuah kota. Ia memintaku untuk menceritakan sesuatu hal tentang kota. Simote juga terheran-heran saat mendengar kalau di Baubau ada sebuah naga besar, mungkin saja seseorang pernah menceritakan kepadanya. Wajar, jika disini semua hal yang baru dianggap asing.
Sumber: Desa Terapung Suku Bajo Kehidupan anak-anak bajo masih sangat jauh dari anak-anak kota kebanyakan. Mereka tak kenal manja juga mereka tak suka bermalas-malasan. Kehidupan di desa mengajarkan mereka untuk terus saling membantu. Bagi mereka, laut adalah taman tempat mereka bermain juga mendapatkan banyak pengetahuan tentang alam. Sayangnya, Simote masih belum mengenakan seragam merah putih sebagai anak sekolah. Namun, sang ayah berencana akan menyekolahkannya sampai ia menjadi seorang sarjana. Mendengar itu, Simote sangat gembira. Sejak awal, ia berharap banyak dari sang ayah untuk bisa bersekolah dan berkumpul bersama kawan-kawan lainnya. Di akhir perjumpaan saya dengan dirinya, Simote bercerita kalau ia juga setiap harinya menabung. Uang itu ditabungnya dalam sebuah celengan dan bila dianggapnya cukup, maka uang tersebut di pakai untuk membeli seragam sekolah. Kelak ia bisa bersama anak-anak lain dan mendapatkan pendidikan yang layak. Cita-citanya berubah, ia ingin menjadi seorang kapten. Baubau, 17 September 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun