Tepat 25 November lalu, di berbagai platform media sosial berseliweran berita atau konten ucapan selamat kepada para guru. Baik bernuansa suka cita, haru bahkan mengundang gelak tawa bagi para penikmatnya. Tentu, fenomena demikian merupakan bukti nyata akan dampak perkembangan teknologi sangat berpengaruh pada perilaku sosial termasuk dalam ranah pendidikan.
Terlepas dari ragam fenomena yang ada, tulisan ini fokus menyoroti euforia para siswa dalam memanfaatkan momen hari guru dengan berlomba-lomba dalam memberikan kado atau hadiah untuk guru yang "berkesan" di mata mereka. Ada guru mata pelajaran, guru kelas, wali kelas, serta tidak luput juga para kepala sekolah atau wakilnya. Tentu, dalam sudut pandang sederhana fenomena demikian memiliki nilai positifnya. Ditinjau dari motifnya, ekspresi  demikian adalah ungkapan rasa terima kasih dan apresiasi  kepada para guru yang telah mendidik mereka di sekolah.
Namun, ada banyak hal yang perlu diketengahkan terkait fenomena tersebut yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk tahun-tahun selanjutnya. Yang pertama, "budgeting". Para siswa sebagian besar biaya sekolahnya ditanggung kedua orangtuanya. Jika membeli kado guru dari iuran uang jajan atau uang kas kelas, tentu sangat tidak dibenarkan. Karena menambah beban para orangtua siswa untuk membiayai sesuatu di luar biaya sekolah.Â
Kedua, menjaga integritas dan marwah seorang guru. Sekilas, seorang guru senang bila diberi hadiah dari muridnya bahkan dinilai sebagai adab positif seorang murid kepada gurunya. Namun, perlu digarisbawahi dibalik pemberian kado tersebut ada nilai yang terkikis, mental profesional bergeser menjadi transaksional. Seiring waktu, melekat di benak siswa bahwa guru mudah dipengaruhi dengan hal-hal materialis. Di samping itu, guru harus menjauh dari perkara berbau gratifikasi. Bukan dilihat besar atau kecilnya kado, atau ikhlas dan terpaksanya yang memberi. Namun, ini bicara integritas atau marwah serta kewibawaan figur guru yang menjadi teladan bagi muridnya.Â
Ketiga, memaknai hormat kepada guru sesederhana itu. Hormat atau "hurmatun" berarti pemuliaan. Memuliakan guru tidak sebatas menyenangkan hatinya dalam sesaat dan momentum, tetapi selamanya. Raihlah rida atau bahagia para guru dalam jangka waktu tak terbatas (forever). Menghormati guru berarti memuliakan nasehatnya yang terus dikenang dan dipegang dalam meraih masa depan, menjaga namanya dengan berperilaku sebaik mungkin kepada siapa saja, mendoakan yang terbaik untuk mereka, dan selalu berkunjung jika ada waktu luang terlebih di momen tertentu seperti lebaran dan lainnya.
Teruntuk para guru, pimpinan sekolah/madrasah dan pemangku kebijakan. Awasilah setiap fenomena yang viral dan semata-mata untuk konten dengan melibatkan marwah pendidikan harus benar-benar ditelaah dari pelbagai sisi baik filosofis, ontologis dan epistimologisnya. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan terutama terkait masa depan anak-anak yang menjadi tonggak maju atau mundurnya bangsa yang dicintai ini. Wallahu a'lam ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H