Â
Akhir-akhir ini masyarakat disuguhi polemik tentang proyek 35.000 MW, ketika Menko Maritim Rizal Ramli menyatakan bahwa proyek raksasa yang dijanjikan akan selesai dalam lima tahun tersebut tidak realistis. Terlepas dari siapa yang benar, polemik ini memberikan angin segar karena terbukanya ruang untuk  perbedaan pendapat yang menjadi bahan penting untuk bisa menghasilkan keputusan yang lebih akurat.
Namun masih ada satu hal memprihatinkan  yang luput dari perhatian yaitu kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menjadi pemilik bisnis kelistrikan yang disebut IPP (Independent Power Producer) . Sampai saat ini kepemilikan dan para pelaku IPP masih didominasi oleh para investor dan pengusaha raksasa baik dari luar maupun dalam negeri.
Sudah saatnya masyarakat menengah ke bawah juga mendapat kesempatan untuk menjadi pelaku dan memiliki sebagian porsi dari IPP tersebut melalui model yang kita sebut Listrik kerakyatan. Hal tersebut  bisa dilakukan  dengan mengadopsi konsep distributed generation atau pembangkitan skala kecil tersebar yang semaksimal mungkin memanfaatkan energi terbarukan. Model ini secara teknis cukup sederhana dan bisa dikelola oleh penduduk setempat dan juga ramah lingkungan karena menggunakan energi terbarukan.
Listrik kerakyatan bisa dibangun di sekitar perumahan atau komunitas masyarakat termasuk pasar, sekolah, kantor, mal, dan hotel yang dekat dengan jaringan distribusi PLN sehingga sangat menguntungkan bagi PLN karena tidak memerlukan jaringan transmisi tegangan tinggi yang mahal dan sarat dengan permasalahan .
Listrik kerakyatan ini didasari oleh pemikiran bahwa  membangun 1 unit pembangkit sebesar 1000 MW sama hasilnya dengan membangun 1000 unit pembangkit kecil sebesar 1 MW. Bedanya untuk pembangkit skala 1000 MW memerlukan modal sangat besar dan untuk menyelesaikannya memerlukan waktu sekitar 5 tahun sedangkan untuk membangun pembangkit kecil 1 MW tidak memerlukan modal yang besar dan bisa diselesaikan kurang dari satu tahun.
Memang sistim ini baru berarti kalau dibangun  secara masal di sebanyak mungkin lokasi , namun justru hal ini membuka peluang untuk sebanyak mungkin pengusaha kecil dan menengah termasuk koperasi pedesaan, instalatir listrik, dan usaha kecil lainnya. Dengan modal sekitar Rp.500 juta, masyarakat  sudah bisa membangun pembangkit tenaga surya berukuran 20 kW.
Jenis pembangkit  yang paling cocok digunakan untuk listrik kerakyatan ini adalah PLTS (Surya),  karena energi matahari tersedia di setiap tempat. Selain itu PLTS dapat dibangun dalam waktu kurang dari satu tahun sehingga bisa menjadi prioritas untuk mengatasi daerah kritis dan secara ekonomis, PLTS sangat rendah biaya operasinya karena tidak perlu bahan bakar.
Apabila dikelola dengan baik, maka PLTS akan memiliki keandalan yang tinggi umurnya bisa mencapai 25 tahun. Sebagai gambaran, dari hasil simulasi keekonomian PLTS untuk berbagai daerah di Indonesia menunjukkan padanan biaya (Levelized Cost of Electricity) PLTS berkisar antara 16,7 cent US$ sampai 25,2 cent US$, tergantung dari besarnya radiasi matahari di lokasi PLTS sehingga lebih murah daripada   biaya operasi disel sekitar 27 cent US$ per kWh.
Sayangnya pengembangan PLTS masih terkendala oleh peraturan menteri  ESDM no. 17 tahun 2013 yang membatasi kapasitas IPP PLTS dengan sistim kuota. Selain itu proses pengadaannya juga harus melalui tender yang dilaksanakan oleh Dirjen terkait, sehingga menyulitkan penggunaan PLTS untuk listrik kerakyatan ini. Sebaiknya pemerintah segera meninjau kembali Permen ESDM tersebut dan menetapkan Feed in Tariff yang pasti untuk PLTS seperti yang berlaku untuk pembangkit  listrik tenaga bayu, mikro hidro dan biogas/biomas.
Alternatif pembangkit kedua adalah  pembangkit berbahan bakar biogas  sampah  ( PLTSa) yang dapat menghasilkan energi setara 380 kWh dari setiap  ton sampah organik. Keuntungan utama dari PLTSa adalah selalu tersedianya sampah organik selama masih ada manusia (setiap orang rata-rata menghasilkan sampah sekitar 0.76 kg per hari).