Jamwas meminta KPK untuk terbuka soal uang dalam amplop yang disita dari jaksa DSW. Menurut Jamwas, ada informasi yang menyebutkan uang dalam amplop tidak sebesar Rp. 50 juta, katanya kurang dari itu, dan kemungkinan ada indikasi penjebakan, dan yang menjebak dapat dituntut [seperti yag dilansir detik.com].
Yang menjadi persoalan, apakah jika uang tersebut kurang dari Rp.50 juta lalu mengindikasikan penjebakan? dimana korelasinya? lalu misalkan jika jaksa DSW hanya meminta Rp.30 Juta lalu serta merta disimpulkan bukan pemerasan. Atau mungkin standar di kejaksaan, pemerasan bernilai minimal Rp.50juta.
Pemerasan, berapapun jumlahnya tetaplah pemerasan pak jaksa, kedudukannya sama di depan hukum, apalagi di mata Tuhan. Preman di bus kota mungkin hanya memiliki kesempatan memeras Rp.1000, Preman di pasar mungkin Rp.10000, preman pungutan liar di jalan tol juga mungkin hanya ribuan rupiah, juga preman di jalan raya, di terminal, di kantor kelurahan, dll.
Tetapi jaksa? memiliki kesempatan yang lebih besar. Apalagi yang ditangani adalah pegawai bank. ATM sudah di depan mata, abuse of power berkorelasi dengan seruan bang napi, ada niat dan ada kesempatan, ada kesempatan dan timbul hawa napsu.
Pesan untuk pak hakim, masa hukuman terdakwa nantinya harap ditambah 2/3 dari putusan, sehingga peraturan yang membolehkan bebas bersyaratnya seorang terdakwa dari tahanan setelah menjalani 2/3 masa hukuman tidak mengurangi masa hukumannya.
Semoga tidak ada lagi jaksa-jaksa yang terlena oleh kekuasaanya, dan menjadi jaksa yang amanah sehingga hukum kembali menjadi panglima di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H