Mohon tunggu...
Yudhie Andriyana
Yudhie Andriyana Mohon Tunggu... -

A lecturer at Statistics Department, Padjadjaran University.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Biarkan dan Relakanlah KABINET KERJA ini BEKERJA Dahulu!

30 Oktober 2014   02:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:13 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bola panas fenomena “Jokowi “  ternyata masih berekor panjang.  Euforia pesta-pesta kemenangan kecil menggaung seiring dengan tokoh-tokoh menteri pujaan hati yang terpilih. Pertempuran sengit di dunia maya pun terus berlanjut. Ucapan suka, duka sampai bela sungkawa terus berdatangan. Berbagai berita mulai dari media abal-abal, ababil, labil, maupun stabil pun terus ditampilkan. Cooling down situasi yang muncul setelah sang “maestro” Jokowi sowan ke kediaman Prabowo yang berbalas dengan hadirnya Prabowo di pelantikan Jokowi tidak berlangsung lama. Gencatan senjata para pecinta terputus setelah pengumuman para menteri disampaikan oleh sang Presiden.

Secara konstitusional, pemilihan menteri memang hak prerogative presiden. Namun, di alam nyata, ada dua hak tandingan yang mesti terpuaskan, yaitu  “hak” politisi dan “hak” rakyat. Dianalogikan secara kasar dengan kebutuhan perut yang ideal jika bagian sepertiganya  diisi dengan air, makanan, dan udara, itulah proporsi hak presiden, politisi, dan rakyat. Jika proporsinya tidak seimbang, maka fungsi pencernaan tidak akan berjalan seimbang. Misal kalau menghilangkan unsur politisi karena ingin memuaskan “kebencian” rakyat pada mereka, maka kebijakan yang dibuat kebanyakan menghasilkan kentut-kentut berbau tapi tidak nampak karena terjegal oleh persetujuan para politisi yang memegang kursi. Begitu juga jika ketamakan para politisi yang dilayani, maka mayoritas kebijakan yang dibuat bagaikan kotoran busuk bagi rakyat, akan sedikit sekali “gizi” yang terserap oleh tubuh rakyat. Kita semua mau tidak mau harus memaklumi itu. Adanya proses transaksional dalam pemilihan menteri adalah sebuah keniscayaan. Dibantah dengan cara apapun oleh Sang Presiden, rakyat tetap bisa melihat dan merasakan itu.  Yang diperlukan hanyalah kejujuran karena semuanya sudah nampak dan tak bisa dihindari.

Satu hal yang perlu dicatat, para menteri bukanlah serikat malaikat ataupun komplotan setan yang konsisten dengan prilakunya di masa lalu maupun mendatang. Mereka adalah orang-orang biasa yang bisa berubah dalam sekejap mata karena dalam setiap kejapan tersebut ada kegelapan yang menari-nari indah. Sehebat apapun masa lalunya,belum tentu juga hebat di masa datang, begitu juga sebaliknya. Mari kita semua bersikap normal saja dulu. Tidak berlebihan dalam membela citra menteri yang dicinta ataupun mencerca menteri yang tercela, karena semuanya akan benar-benar nampak setelah mereka bekerja. Kita lihat nanti siapa saja yang berguguran atau mungkin “digugurkan”.  Bagi yang bernasib apes karena digugurkan, biasanya media yang terbeli-lah yang nanti akan menunjukan pembenaran yang menutupi kebenaran. Namun sejatinya, kebenaran hakiki tidak akan pernah mampu tertutupi, begitu pula kebusukan yang akan selalu tercium walaupun dihidangkan dalam berbagai kemasan indah.  Untuk para menteri dari kalangan professional, bukan hanya rakyat yang mengintai kinerja Anda, tapi juga politisi pengincar kursi menteri. Mereka akan selalu mencari celah ketika Anda lelah dan lemah.

Sekarang perangkat pemerintahan baru sudah lengkap terbentuk. Sudah saatnya rakyat melupakan pertikaian-pertikaian kecilnya baik secara langsung maupun melalui socmed mengenai siapa-siapa tokoh yang terpilih. Jangan melakukan hal yang sia-sia. Keangkuhan akan sebuah dukungan hanya akan menampakkan sebuah self destructive behavior, yang membuat kita semua kehilangan cinta dari sebagian teman. Marilah sama-sama membangun kembali gaya komunikasi yang harmonis. Biarkan mereka bekerja terlebih dahulu, barulah kita semua berkoar-koar ketika para wakil kita terdiam pada saat mencium gelagat ketidak-beresesan.  Ketika para pemegang kewenangan atau penegak keadilan tidak bertindak apa-apa dan ketika suara dan keringat rakyat tidak pula berdampak apa-apa, maka biarkanlah suara Tuhan yang akan mengadili mereka cepat atau lambat. Kekuatan doa kita bersama yang akan menyegerakan keadilan itu tegak di bumi Indonesia. Jadi sekali lagi, untuk saat ini, biarkan dan relakanlah KABINET KERJA ini BEKERJA dahulu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun