Pendampingku
Prev, Â Part3
Aku berjalan mengendap-perlahan, celingukan seperti maling. Pagar tinggi itu kulewati dengan mudah, hanya dengan sekali loncat saja aku sudah bisa terbang melaluinya. Kuseret langkah menuju rumah berlantai dua itu, memeriksa apakah ada celah yang bisa membawaku masuk ke dalam.
Sial!
Aku memaki dalam hati, semuanya terkunci. Tak ada yang terlewat satu pun, huh.... Aku mendongak ke atas. Kurasa memanjat salah pilihan terbaik, ya ... memanjat, siapa takut! Aku termasuk ahli dalam hal itu, aku pun menyatukan kedua telapak tanganku. Menggosok, mengadukan keduanya seraya mendesah lalu mulai menaiki rumah itu. Itu pun aku masih harus merayap untuk bisa mencapai balkon, setelah mendarat celingukan untuk memastikan keamanannya. Kembali mengendap saat melangkah untuk memeriksa pintu dan jendela, lagi-lagi semuanya terkunci. Untung saja aku sudah mempersiapkan dua buah kawat besi untuk membuka pintu hingga akhirnya bisa masuk.
Semua ruangan gelap, tapi aku masih bisa melihat dalam keremangan. Ya tidak gelap gulitalah, kulangkahkan kaki perlahan memeriksa ruangan itu hingga mencapai kamar pertama. Pelan-pelan pula aku memeriksa kamar itu, kosong. Sepertinya tak berpenghuni, aku pun keluar lagi dan menuju kamar berikutnya. Siapa tahu saja ada jebakan, siapa tahu pula Magie tak tinggal sendiri. Ada konplotannya mungkin? Kamar itu juga kosong. Sekarang giliran kamar yang berhadapan dengan kamarku, yang sepertinya menjadi kamar Magie. Kubenarkan topi di kapalaku seraya berjalan. Aku memasuki kamar itu.
Banyak barang-barang perempuan layaknya gadis pada umumnya, boneka, make up dan lain-lain. Hanya ... Magie tak memajang satu foto pun, mungkin dia memang terlalu berhati-hati. Aku melangkah untuk memeriksa kamar itu, mungkin saja aku bisa menemukan sesuatu.
Tapi seseorang menepuk pundakku, menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Belum sempat kutatap mukanya, sebuah hantaman mencium wajahku. Membuat tubuh ini terpental ke belakang, "Auwwwh!"Â
Kupegang hidungku yang terasa pedih, basah - rupanya berdarah. Kulihat cairan merah yang terpercik di tanganku.
"Sial!" makiku,
Serangan susulan datang, padahal aku belum sempat mempersiapkan diri. Tapi untungnya aku bisa menangkis dan melawan, kami berkelahi sengit. Dia sangat kuat, padahal usianya tak jauh dariku. Sekali lagi aku terkena hantamannya, tepat di dadaku sementara aku belum bisa menghantamnya. Kali ini aku hendak menghantamnya tapi dia malah berhasil menangkap lenganku, memutarnya ke belakang punggungku bersama dirinya.