Merah darah masih membasah di antara rerumput kering, di atas meretaknya tanah-tanah gersang, masih menganyir sesiapa yang berkelebat, derai tangis ciptakan gema-gema perih, sisakan pedih,
Darah memang merah, tapi ambisi lebih membara, menelan jwa-jiwa dalam angkara, tak peduli duka lara,
Siapa mereka, yang lebih mengagungkan sebulir pasir daripada sehelai nafas? Secawan ruh tak lagi berarti, ketika napsu meminta diri tuk berbakti,
Siapa dia, yang meneriak jerit tuk sesama, coba raungkan suara-suara yang tertindih tangan-tangan bengis, jengkal tanah mengikis, pun turut lontarkan tangis, ketika jiwanya di paksa lepas dengan sadis,
Sungguh tragis, apalah arti sebuah nyawa, jika keserakahan lebih kuasa, ternyata jiwa....benar tak lebih berharga dari sekedar tahta,
Astaugfirullah....., Kiamat kian merapat rupanya,
Â
Jakarta, 3 oktober 2015
Y_Airy
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H