Pagi itu, di meja makan.
"Nicky, hari ini kau tidak perlu ke kantor. Biar Reynald saja yang mewakilimu!"
"Memangnya kenapa kek?"
"Kakek ingin kau menemani kakek ke rumah gadis itu siang ini!"
"Untuk apa?"
"Nanti kau akan tahu!"
"Ya, lagi pula hari ini tidak ada meeting penting Nicky. Kau jangan khawatir aku akan mengacaukannya!" tukas Reynald.
"Karena kau tak pernah serius mengatasi masalah Rey. Kau selalu membuat Harris group dalam masalah!" balas Nicky.
"Ok, ku akui. Aku pernah melakukan kesalahan, dan aku sudah menyesalinya bukan!"
"Pa, tak ada salahnya papa memberi Rey kesempatan lagi. Lisa yakin Nicky juga akan butuh bantuan!" seru Lisa, mamanya Reynald.
"Akan ada saat yang tepat untuk itu Lisa!"
Lisa adalah menantu William, suaminya sudah meninggal. William haris selama ini tinggal dengan menantu dan cucu-cucunya. Nicky adalah cucu bungsunya, sementara Rey adalah sepupunya. William Harris hanya memiliki dua putra, yaitu Aditya dan Tomas. Aditya adalah ayah Valent dan Nicky sementara Tomas adalah ayah Rey. Valent adalah cucu pertama, setelah itu Rey lahir lebih dulu sebelum Nicky, jadi Nicky yang paling muda. Valent sendiri karena suatu perbuatannya yang fatal kini sudah lama di coret sebagai salah satu ahli waris William, dan sudah tidak tinggal di sana lagi.
Liana duduk di pinggir jalan bersama Rizal, teman sesama pengamen.
"Nape lagi Li?"
"Biasa Jal!"
"Soal duit sekolah...... Lagian anak loe bukan, adik loe juga bukan loe urusin. Bingung sendiri kan loe!"
"Gue udah terlanjur janji kan sama mbak Rita, mau gimana lagi. Jal, anak-anak itu nggak berdosa, mereka berhak mendapat kehidupan lebih baik!"
"Taruh aja mereka di panti asuhan, biar ada yag ngadopsi. Kan lebih terurus!"
"Iya juga sih, tapi kan sekarang banyak penjahat yang berkedok panti asuhan. Pada akhirnya anaknya di jual Jal. Itu yang gue takutin!"
"Serba salah juga ya!"
"Ya udah gue bantuin nyari duit yuk!" katanya mengajak Liana ngamen.
Akhirnya meski tak banyak tapi hasilnya cukup lumayan. Tiba-tiba, Rizal menaruh sejumlah uang di tangan Liana.
"Ini, gue punya dikit simpenan. Pake aja dulu, semoga cukup buat nambahin!" serunya.
Liana melihat uang di tangannya itu.
"Tapi Jal!"
" Udah pake aja, itung-itung gue nyumbang deh!"
Liana tersenyum, "makasih ya Jal, loe emang temen gue yang paling.....baik!"
"Emang temen loe ada berapa?"
"Ehm.... Sekarang cuma ada loe doang!" jawabnya sambil meringis.
"Hem...!"
" Eh.... Anak-anak udah pada pulang sekolah nih, udah lewat zuhur. Mereka pasti laper, gue cabut dulu ya!"
"Mau gue anter?"
"Emang anak kecil perlu di anter!"
" Ye...ya udah hati-hati di jalan."
Liana akhirnya kembali ke rumah. Sementara Nikcy dan kakeknya juga sedang dalam perjalanan. Karena bahu Jaya terluka dia tidak bisa ikut, jadi Willy membawa orang lain saja. Budi dan Imam, adalah bodyguard yang setia juga pada mereka. Untuk menjaga keamanan mereka memang perlu bodyguard mengingat apa yang terjadi kemarin. O-iya salah satu polisi yang kemarin membuntuti Liana juga ikut sebagai penunjuk jalan.
Liana memasuki rumah, "Anak-anak.....kak Liana bawa makanan nih, pada laper kan!" serunya. Tapi tak ada tanggapan.
"Kemana sih mereka, biasanya pada di rumah semua!" lirihnya. Ia menaruh bungkusan makanan di meja ruang tamu.
"Dion, Vita. Kalian dah pulang sekolah kan, bawa adik-adik kalian ke sini." teriaknya lagi. Liana celingukan.
"Pada kemana sih!" herannya. Anak-anak itu muncul dari dapur.
"Kalian ngapain sih kakak panggil dari tadi kok nggak ada yang nyaut?" tapi tak ada yang menjawab, "Vina mana?" tanyanya lagi.
Seseorang muncul lagi, Vina nongol tapi dia tak sendiri. Seorang pria bertubuh kekar bersamanya. Nampak sebilah pisau menempel pada lehernya yang mungil. Liana sangat terkejut. Bukan kah itu pria yang kemarin hendak membunuh di parkiran.
Ya Tuhan....ternyata dia dendam dengan dirinya. Dan sekarang berada di dalam rumahnya, menyandra adik-adiknya.
"Siapa kau!" desisnya.
"Tak perlu tahu, aku cuma datang untuk membereskan penghalang yang sok jagoan!" katanya, suaranya berat dan dalam. Suara yang sama yang ia dengar di parkiran itu.
"Jangan sakiti anak-anak itu, aku mohon!" pinta Liana.
Meski orang itu hanya kelihatan matanya saja tapi Liana bisa merasakan orang itu tersenyum sinis. Dan sepertinya Liana bisa menebak apa yang akan orang itu lakukan.
"Tidak, jangan.....aku mohon jangan lakukan itu!"
"Kak....!" tangis Vina, gadis berusia 6 tahun.
"Jangan sakiti mereka, kau boleh lakukan apapun padaku tapi aku mohon aku jangan....!" belum sempat Liana melanjutkan kalimatnya, ia melihat darah mengucur dari leher Vina, membuatnya menjerit histeris.
"Aaaaa.....!" serunya sambil menutup mulut, seketika airmata mengucur di pipinya, semua anak yang lain menangis, sementara gadis kecil itu tergeletak bersimpah darah. Liana menangis pilu melihat Vina terkolek tak bernyawa di samping pria itu.
"Itu hanya akibat kecil karena kau mencampuri urusan ku!" gertak orang itu.
Liana mencoba menahan tangisnya, "kau bukan manusia!" desisnya sambil melirik mayat Vina yang berlumuran darah.
"haaaa....!"
Orang itu tertawa menggelegar.
"Aku adalah malaikat iblis kematianmu sekarang!" serunya sambil meraih seorang anak lagi, kali ini Rudi kembaran Vina yang ia cengkeram tengkuknya.
"Apa yang akan kau lakukan lagi? Lepaskan dia!" teriak Liana.
"Aku akan melakukan hal yang sama dengan saudaranya!"
Liana menggeleng pelan, "tidak, jangan lakukan itu!"
"Kenapa aku harus menurutimu?"
"Ku mohon lepaskan dia!" pintanya sambil jatuh terduduk, "kau boleh lakukan apapun padaku tapi jangan sakiti mereka!" katanya lagi masih dalam tangisnya. Orang itu akhirnya melepaskan Rudi dan melangkah maju, sementara anak-anak yang lain berdiri di sudut ruangan karena takut.
Liana mundur perlahan.