Nicky memasuki ruangannya, ia duduk di samping kakeknya di sebuah sofa mewah berbentuk L. Berwarna hitam. Ia membanting map yang berisi file - file proyek yang saat ini sedang ia coba menangkan.
Kakeknya hanya melirik sambil mbaca koran.
" Sepertinya meetingnya buruk!" terka William Harris.
" Ku rasa kita akan kehilangan proyek ini Kek, aku ragu bisa memenangkannya!" pesimisnya.
Kakeknya menutup dan menaruh korannya di meja, " Sejak kapan cucu kakek jadi lemah, bukankah kau tak pernah kalah? Itu sebabnya kakek mempercayaimu!"
" Entahlah kek, sepertinya ada yang membocorkan dokumen kita. Hasilnya hanya beda tipis dari Indi Group. Jika bukan kita mereka yang akan menang. Aku tidak suka ini, jika mereka menang. Si brengsek Ferhan itu pasti akan menginjakku!" kesalnya.
" Sepertinya kalian bermusuhan sekali. Nicky kita ini hanya rival bisnis, bertarunglah secara sehat. Jangan membuat permusuhan!"
" Itu mauku juga kek, tapi apa kakek pikir Ferhan mau berdamai. Dari dulu dia ingin sekali melihatku jatuh!"
" Indi group bukan satu-satunya saingan beratmu Nicky, kau jangan terlalu terkecoh!" saran kakeknya.
Sebuah panggilan masuk ke handphone Nicky memutus percakapannya dengan kakeknya. Ia menjawab panggilan itu setelah melihat siapa yang menelponnya.
" Iya!"
" Hallo, sayang. Siang ini ada waktu? Bisa temani aku ke salon?"
" Maaf, aku sibuk. Mungkin lain kali!"
" Kita sudah satu minggu tidak jalan. Aku merindukanmu!" manjanya.
" Akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Mungkin....nanti malam kita bisa dinner!"
" Benarkah!"
" He'em!" jawabnya simple.
" Ok, benar ya. Jemput aku di rumah!"
Nicky menutup teleponnya dan menaruhnya di meja.
" Kakek tidak suka gadis itu!" seru Willly. Nicky menatapnya.
" Ivana, dia tidak cocok denganmu!"
" Kapan kakek pernah suka dengan pacarku!" timpal Nicky.
" Karena mereka semua tak mencintaimu dengan tulus!"
Nicky tertawa kecil, tawa yang merdu dan mewah, " Soal itu...kakek tahu sendiri kita berbeda pendapat!"
" Jika kau miskin dan tak punya apa-apa, apakah menurutmu dia akan mengejarmu?"
" Itu urusan lain kek!"
" Lain, itu menandakan sekali. Para gadis itu hanya mengejarmu karena kau adalah cucuku. Poin plusnya, ya kau tampan. Mengalahkan Reynald!"
" Kek!"
" Sudah lah, kakek mau jalan-jalan. Kau urus saja bisnismu!" kata Willy sambil berdiri, ia berjalan keluar ruangan. Sejak menunjuk Nicky sebagia wakilnya, sekarang dirinya lebih punya waktu untuk refresing. Melihat pemandangan kota dengan hiruk-pikuknya, denagn polusinya dan kemacetannya. Begitu Willy keluar dari ruangan itu, Jaya ART nya. Orang kepercayaannya, penasehatnya sudah langsung menyungingkan senyum.
" Jay, aku mau jalan-jalan. Lama-lama kantor ini membuatku penat!" katanya.
" Tn. Mau kemana?"
" Keliling saja!" katanya.
Mereka menuju lobi. Sebuah mobil vios hitam sudah menunggu, Jaya membuka pintu untuk Willy dan mempersilahkan tuannya masuk, ia pun masuk di kursi depan, di belakang setir ada sang sopir, Rahmad.
Rahmad langsung tancap gas saja, itu sudah kebiasaan. Willy akan mengatakan mau kemana mereka setelah di tengah jalan.
*****
Liana memasuki sebuah shoping center, biasanya tak jauh dari situ banyak sasaran. Ia melihat-lihat ke dalam sejenak. Sepertinya tempat itu memang ta cocok dengannya. Selain ia tak punya uang, ia juga tak terlalu suka mall. Akhirnya ia keluar saja melalui pintu akses ke gedung parkir. Ia naik ke atap. Memandangi seisi kota dari puncak gedung. Terlihat jalanan yang begitu padat, lalu lalang orang berjalan kaki. Ia duduk lama di sana, lusa ia harus melunasi uang sekolah Dion dan Vita, karena mereka akan ujian. Dion yang paling besar ( 10 tahun ) sudah duduk di bangku kelas 6 karena ternyata di anak yang pintar. Sementara Vita baru duduk di kelas 4.