Akhirnya......
Aku sampai juga menjejakan kaki di kota kelahiranku. Sejak ku tinggakan beberapa tahun lalu setelah kematian kakakku. Kemarin aku mendapat telepon dari nenek, bahwa aku harus segera kembali ke rumah nenek. Katanya ini soal Asri, kakakku.
Sampai detik ini kami masih bertanya-tanya apa penyebab kematian kak Asri, dia memang meninggal karena bunuh diri. Tapi kami tak tahu apa sebabnya, kak Asri orang yang sangat tertutup. Jarang sekali curhat dengan ku sebagai adiknya. Ia juga tak pernah curhat yang aneh-aneh kepada ibu atau pun nenek. Padahal kami semua sangat dekat dengannya. Selama ini kak Asri lebih banyak menghabiskan sisa malam dengan menulis buku harian. Dan seringnya curhatannya di curahkan dalam bentuk puisi yang indah. Tapi kami belum pernah membuka buku harian itu meski kak Asri sudah meninggal.
Buku itu memiliki kunci, itu sebabnya kami belum membacanya karena belum bisa di buka. Dan karena itulah aku di panggil ke kota ini. Sehari sebelum kami menemuman kak Asri terkapar di kamarnya dengan sayatan di pergelangan kirinya. Kak Asri pulang di tengah hari dengan masih memakai seragam SMU. Saat itu aku yang masih SMP memang tidak masuk sekolah karena semua guru kami sedang ada rapat di pusat. Waktu itu kaka Asri langsung masuk kamar dan mengurung diri, ku ketuk pintunya berkali-kali tapi tak ada tanggapan sama sekali. Sorenya ia keluar dan langsung memelukku yang sedang membaca buku di dekat perapian karena saat itu sedang hujan deras. Aku jadi tambah bingung, tapi kak Asri tak mengatakan apa-apa. Ia hanya memberiku sebuah kalung berliontin kunci kecil yang cantik dan mungil.
Dia bilang,
"Dik, tolong jaga kalung ini dan jangan sampai hilang sebelum waktunya tiba!"
Aku tak mengerti tapi aku mengangguk saja. Setelah itu kami sama-sama berdiang di depan perapian untuk menghangatkan diri hingga magrib. Malamnya kami masuk kamar masing-masing untuk tidur.
Esok paginya aku mengetuk pintunya untuk mengajaknya berangkat sekolah bersama meski sesampainya di pertigaan arah kami berlawanan. Tak ada jawaban, ku ulangi berkali-kali. Setelah itu aku memanggil ayah karena panik. Pintu kak Asri terkunci dari dalam, ayah harus mendobraknya agar bsa terbuka. Kami semua diam terpaku melihat kak Asri terbaring di pinggiran ranjang dengan tangan menjulai keluar. Pergelangannya tersayat, darah mengambang di lantai.
*****
Aku memasuki rumah nenek setelah mengucapkan salam. Kami duduk di ruang tamu. Dulu kami memang tinggal bersama nenek sebelum ayah dipindah tugaskan di Jakarta.
"Kau pernah bilang kalau mbakyumu itu ngasih kamu kalung berliontin kunci kan nduk?" tanya nenek.
"Iya mbah uti!" jawabku.
"Nah....kami baru ingat soal itu. Kamu masih ingat buku harian mbakyumu?"
"Tentu saja."
"Buku itu kan ndak bisa di buka nduk, lantaran terkunci dan kuncinya ndak ada. Mungkin saja, kuncinya itu ada di kalung itu!"