Perempuan renta itu sedang mengorek-ngorek bak sampah, menunggingkan tubuhnya untuk mencari sesuatu yang bisa di sulapnya menjadi pundi-pundi rupiah. Ia menarik dirinya dengan senyum sumpringah, menatap beberapa botol plastik di tangannya. Lalu iapun menaruhnya di kantong besar yang ia tenteng kemanapun.
Matahari sudah condong ke barat, tetapi kantong yang di bawanya masih kempes. Usianya yang renta membuatnya kalah cepat dengan pemulung lainnya yang masih muda, apalagi kondisinya yang sudah mulai sakit-sakitan. Ia terbatuk-batuk selama perjalanan, beberapa hari kemarin ia sudah libur memulung karena sakit. Dan akibatnya, cucunya itu tidak bisa makan karena kehabisan uang.
Mungkin, ini akibatnya menjadi pemulung yang jujur. Sudah dapetnya sedikit, juga di curangi terus sama penadah.
"Sudahlah nek, jangan pikirkan itu. Kalau lihat barang nganggur sikat saja, biar dapet duit!" seru salah satu teman pemulung yang masih lebih muda darinya.
"Saya ini memang cuma pemulung, memang miskin, tetapi saya tidak mau miskin di mata Allah!" jawabnya,
Ia berjalan gontai, pelan, selama perjalanan ia celingukan. Siapa tahu ia bisa menemukan sampah plastik, tetapi karena terlalu banyaknya pemulung yang ada terkadang ia sudah tak dapat apapun. Padahal ia terus saja mengingat rengekan cucunya yang ia sekolahkan di SD Negeri, untung anak itu pintar sehingga bisa di terima.
"Nek, aku pingin makan ketupat di hari lebaran nanti. Rasanya kaya' apa ya?"
"Nah...kamu kan pernah makan ketupat!"
"Bukan ketupat lebaran, kan beda!"
"Apa bedane to nduk?"
"Ketupat lebaran itu, kalau kita bisa bikin sendiri. Ada opor, ada rendang?"