Y_Airy
No. 57
"Bu, kenapa aku harus memanggilnya begitu?"
"Karena memang harus begitu!"
"Tapi....!" Â
"Sudah jangan banyak protes, harusnya kamu bersyukur karena kita tidak di telantarkan!"
Bersyukur....? Aku memang bersyukur, tapi apakah salah jika aku inginkan lebih? Aku ingin seperti anak yang lainnya, bisa memanggil ayahnya dengan sebutan yang sepantasnya. Semua temanku begitu, Mereka memanggil ayahnya dengan sebutan ayah, lalu kenapa aku tidak? Ayah mereka juga banyak yang sukses, banyak yang orang besar. Tak jauh beda dariku. Tapi aku harus memanggil orang yang darahnya mengalir dalam darahku dengan sebutan lain.
Yaitu, Pak Menteri.
Aneh bukan? Layaknya rakyat kepada punggawanya, tetapi aku tidak ingin membencinya.
Dia ayahku, ayah biologisku. Dia seorang Menteri di negara ini dan sudah memiliki istri sah dengan anak-anak yang memanggilnya papa. Tapi sedikit orang yang tahu kalau aku juga anaknya, bahkan teman-temanku banyak yang mengejekmu bahwa aku anak buangan. Entah bagaimana jalan ceritanya, aku tidak tahu. Ibu tak pernah cerita padaku, yang aku tahu ibuku adalah istri sirinya sehingga lahirlah aku.
Ku pandang kertas di tanganku, masih murni tanpa noda tinta. Guruku menyuruh kami menuliskan impian kami dalam sebuah cerita, aku tidak tahu harus menulis apa.