Â
Â
"Apa!"
Alya menatap Bima dengan tatapan tak percaya mendengar ucapan pria yang sudah setahun menikahinya itu, ia menurunkan pandangannya dari wajah Bima ke sebuah kertas di atas meja yang baru saja Bima letakan dengan kasar di hadapannya. Ini adalah hal yang ia takutkan selama ini, ia mencoba menerima semua sikap Bima hanya agar ini tidak terjadi. Tapi sekarang justru sudah ada di depan matanya.
"Aku tidak butuh airmatamu, aku hanya butuh tanda tanganmu di kertas itu!" seru Bima ketika airmata Alya mengalir di pipinya. "apa salahku mas, sampai kau tega lakukan ini?" Â
"Salahmu, kau masih bertanya? Kesalahanmu adalah membuatku terjebak dalam pernikahan ini!"
"Aku rela meski hanya kau anggap sebagai pembantumu, tapi jangan ceraikan aku mas!"
"Jangan merengek padaku, aku bukan papa yang mudah tertipu dengan airmatamu. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak menceraikanmu tanpa apapun. Akan ku pastikan kau tidak hidup dalam kekurangan!"
Alya menatapnya kecewa, kau tahu aku tak menginginkan apapun selain cintamu, Mas!
"Jangan membuang waktuku, apa susahnya menandatangani surat itu!"
Alya masih terdiam, mereka memang membangun mahligai tanpa pondasi cinta. Tapi seiring jalannya waktu meski sikap Bima tak pernah baik padanya, Alya tetap membiarkan benih cinta tumbuh di hatinya. Ia hanyalah seorang gadis panti asuhan tempat ayah Bima sering menjadi donatur, dan pernikahan mereka adalah atas permintaan terakhir ayah Bima sebelum beliau meninggal. Bima terpaksa menerima hal itu meski jiwanya memberontak, setelah menikahpun ia tak bisa meninggalkan kebiasaan lamanya berpetualan cinta. Ia bahkan belum sekalipun menjamah istrinya, ia lebih memilih menikmati malam bersama para kekasihnya di luar rumah.