Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wild Sakura #Part 27 - 2 ; Ancaman Sonia

8 Maret 2017   15:57 Diperbarui: 9 Maret 2017   00:00 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Sebelumnya, Wild Sakura #Part 27-1 : Aku Tak Ingin Memilih

 

"Kamu!" seru Sonia membalas tatapan orang di depannya. Orang itu masih diam menunjukkan seluruh perasaannya, Sonia tidak tahu apalagi yang akan dilakukannya, yang ia tahu kemarahan jelas terlukis di wajahnya.

Tanpa berkata apapun, gadis itu mengangkat tangannya dan dilayangkannya tangan itu ke arah wajah Sonia. Tapi kali ini Sonia lebih gesit menangkap tangan lentik yang hendak menggamparnya untuk kedua kalinya. Hal itu jelas membuat sang gadis lebih emosi. Gadis itu menarik dengan kasar tangannya sendiri.

"Kamu semakin berani ya!" serunya.

"Aku merasa nggak perlu takut!" sahut Sonia dengan tenang. Ia memang sudah mempersiapkan diri akan serangan seperti ini. "Dan ingat, Nona. Jangan kamu pikir karena kamu memiliki segalanya kamu bisa memperlakukan orang lain sesukamu. Nggak semua orang akan diam saja!"

"Itu karena kamu memang pantas mendapatkannya, dasar gadis penggoda. Kamu tahu, Rocky meninggalkan aku karena kamu!" tunjuknya ke dada Sonia lalu mendorongnya.

"Lebih baik kamu pergi, karena aku juga bisa marah!" usirnya dengan nada tenang tapi mengancam. Dan itu tidak membuat Nancy takut, gadis itu justru menantangnya.

"Marah! Ha...ha...," ia mengeluarkan tawa sejenak. "Memangnya apa yang akan kamu lakukan, kamu akan memukulku gadis jalan!" nadanya berubah lantang. "Coba saja, sedikit saja luka membekas di tubuhku, aku akan melaporkanmu ke Polisi!" ancamnya.

Sonia tidak terkejut dengan hal itu, ia juga tidak takut dengan ancaman Nancy.

"Aku bisa melakukan lebih dari itu, Nancy. Apa kau tahu...," Sonia menatap langsung ke mata gadis itu, "Aku baru saja keluar dari penjara karena membunuh Ayahku!"

Nancy melebarkan mata, mulutnya sedikit membuka tanpa suara. Tapi ia tak sepenuhnya mempercayai hal itu, mungkin gadis miskin itu hanya ingin menakutinya saja. Hanya menggertak!

"Kamu pikir kamu bisa membuatku takut!" balasnya.

"Jika kamu ragu akan hal itu, mungkin sebaiknya kamu bertanya kepada Papamu, aku yakin, dia sudah mencari banyak informasi tentangku. Jadi Nona manis, sebaiknya kamu berfikir seribu kali jika ingin berurusan denganku!" ancamnya tanpa ragu. Dan kali ini ekspresi Sonia juga penuh dengan ancaman. Nancy mulai dirayapi perasaan takut. Perlahan ia mundur lalu berbalik dan setengah berlari ke mobilnya.

Sonia menatap gadis itu hingga menghilang dari pandangannya, baru setelah itu ia bernafas lega. "Apa yang kulakukan!" desisnya menyeka wajah. "Sonia kau baru saja membuat masalah baru!"

Sonia menyadari apa yang dilakukannya, tapi ia tak ingin menjadi lemah karena itu hanya akan membuatnya tertindas. Ia pernah mengalami hal yang jauh lebih buruk. Bertahun-tahun mendapatkan kekerasan dari Ayah tirinya, lalu mengalami masa brutal di penjara anak di masa awal ia memasuki tempat itu. Dan ia berhasil bertahan hingga tak ada yang berani mengganggunya lagi. Maka kali inipun, ia juga harus bisa menghadapi mereka semua. Meski orang-orang itu memiliki kekuasaan.

* * *

Edwan berbicara dengan Reza di ruangan pribadi Reza, ia hanya ingin memastikan Sonia tidak bermasalah dengan siapapun. "Kamu sepertinya peduli sekali dengan gadis itu, kenapa tidak kamu nikahi saja. Itu akan menjadikan semuanya mudah, kamu bisa melindunginya, dia tak perlu bekerja, dan yang pasti..., kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun!" usul Reza sekenanya.  

Tapi Edwan justru mendengus. "Dia hanya menganggapku seperti Ayahnya!" ada nada kecewa dalam suaranya. Edwan memungut cangkir tehnya dan menyesapnya beberapa kali, lalu meletakkan cangkir itu kembali ke meja.

"Tapi tidak dirimu, kamu tak menganggapnya sebagai putrimu. Dia wanita yang istimewa bagimu, iya kan?" goda Reza. Edwan melirik lalu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.

"Dia lebih pantas menjadi putriku!" dalihnya.

"Tapi dia bukan putrimu!" potong Reza seraya menaruh kaki kanannya di atas lutut kirinya. "Ed, jika kamu masih saja bersikap seperti dulu, selamanya cinta itu akan lari darimu. Kamu tidak mau mati sebagai bujang lapuk kan?"

"Itu lebih baik daripada aku harus mati sebagai bajingan!" dengusnya.

"Setidaknya perjuangankan cintamu selagi bisa, meski gagal itu lebih baik daripada tak berusaha sama sekali!" celetuk Reza sedikit kesal karena sahabatnya itu susah sekali dibujuk tentang cinta sedari dulu.

"Ada banyak hal yang tidak kamu mengerti, Za. Tentang Sonia," mata Edwan menerawang jauh. Ia berharap dengan adanya dirinya dalam kehidupan Sonia, ia bisa membuat gadis itu memiliki seseorang yang bisa membuatnya merasa terlindungi. Tapi sepertinya, itu justru membuat jalan Sonia semakin sulit. Edwan diam mengingat percakapannya dengan kakaknya pagi tadi.

"Jadi, gadis liar itu tak hanya menggoda Rocky. Kamu bahkan ikut terjebak oleh tipuan pesonanya!"

"Sonia tidak melakukan kesalahan apapun, jika aku memiliki hubungan dengannya, itu hanya hubungan pertemanan. Kalaupun ada sesuatu diantara kami, kurasa itu bukan urusanmu, Mas!"

"Kamu begitu membelanya, Ed. Padahal kamu tahu, gadis itu ingin merenggut kebahagiaan putriku!" lantang Hardi. Edwan melotot dengan pernyataan kakaknya.

"Keputus asaanmu membuatmu menjadi orang lain, Mas. Perhatianmu terhadap Nancy itu sangat berlebihan, Mas Hardi hanya mementingkan perasaan Nancy, lalu bagaimana dengan Rocky. Jika Nancy menikah dengannya, itu hanya akan membuat Nancy menderita karena Rocky tidak pernah mencintainya!"

Hardi diam dengan ucapan adiknya, ia kembali mengenang masa lalunya yang masih meninggalkan rasa sakit dan keputus asaan. Lalu ia kembali menatap Edwan. "Aku tidak mencintai Nera saat menikahinya, tapi aku tak pernah menyakitinya!" ucapnya.

Edwan mendengus dengan sahutan kakaknya.

"Dengar Ed, aku tidak mau keluarga kita memiliki hubungan dengan gadis liar penggoda itu. Dan aku tidak akan membiarkan dia merebut kebahagiaan putriku. Tidak akan!"

"Kalau begitu, aku tak keberatan kehilangan keluarga ini. Karena aku tidak akan membiarkan kalian menyakitinya, aku tidak akan mengikuti kelemahanmu, Mas. Kelemahan yang membuat kita kehilangan wanita yang kita cintai, seharusnya dulu..., tak kubiarkan kamu menikahinya jika aku tahu kamu akan membiarkan Mama menyingkirkannya. Kita bahkan tidak tahu, apakah dia masih hidup atau tidak sampai sekarang!" mata Edwan memerah. Tapi ada amarah yang menguasai dirinya, ada luka yang tak pernah bisa sembuh.

Dan Hardi akhirnya hanya berdiri terpaku, bahkan ketika Edwan sudah meninggalkan ruangannya. Tapi ia membenarkan perkataan adiknya.

 

Edwan menghampiri Sonia di pantry ketika jam istirahat. Gadis itu sedang menikmati makan siangnya ketika sift istirahatnya, "Maaf Sonia, aku harus kembali ke kantor. Tapi kamu tidak perlu khawatir, nanti aku sendiri yang akan menjemputmu pulang!" janjinya.

"Kurasa itu nggak perlu, Om. Aku bisa pulang sendiri kok!" tolak Sonia.

"Tidak, Sonia. Aku masih tak bisa membiarkanmu pulang seorang diri,"

"Om," potong Sonia. "Om nggak perlu khawatir, aku sudah lebih siap menjaga diriku. Lagipula sepulang kerja nanti, aku berencana pergi ke bengkel Pak Andi. Aku sudah lama nggak ke sana!"

Edwan memasang wajah kecewa. "Jadi akan ada yang menjemputmu, apa boleh buat..., aku ini kan sudah tua. Mungkin kamu malu berdua bersamaku!" seru Edwan dengan nada gurauan.

"Om ini ngomong apa sih, kalau begitu harusnya saat ini aku juga malu ngobrol dengan pria tua seperti, Om!" balas Sonia membuat Edwan tertawa.

"Baiklah kalau begitu, tapi ingat, jangan pulang sendiri. Mintalah seseorang menjemputmu, mungkin salah satu teman Dimas!" sarannya,

Sonia hanya mengangguk sambil memungut gelas air esnya. Edwan segera meninggalkan tempat itu, Sonia menatap punggung pria itu. Pria yang memberinya perhatian lebih dari sekedar yang ia butuhkan, ia akan sangat senang jika seandainya pria itu adalah Ayah kandungnya.

* * *

Dimas mencari motornya di parkiran, tapi ia tak menemukannya. "Mungkin ada mengerjai kamu, Di. Kita tanya satpam saja, dia pasti tahu!" usul Gio.

"Tidak perlu,"

Sebuah suara yang tidak asing membuat empat anak muda itu tertegun, lalu menoleh sang pemilik suara.

"Papa!" desis Dimas.

"Mulai sekarang, ke manapun kamu pergi, kamu tidak boleh sendirian!" seru Remon melirik seorang pria bertubuh kekar di belakangnya. Ia sengaja mempersiapkan seorang bodyguard profesional untuk menjaga Dimas setiap saat,

Dimas tampak melotot. "Maksud Papa apa?"

"Tidak ada motor lagi untukmu, Dimas. Kamu akan menggunakan mobil yang dikemudikan sendiri oleh Satrio,

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun