[caption caption="beauty girls, lava360.com"][/caption]
Â
Sebelumnya, Wild Sakura #Part 20 ; Lalu Aku Harus Jadi Apa, Simpananmu?
Â
"Kamu, denger ya!" tunjuk gadis itu pada Sonia, "mulai detik ini, kamu jauhin Rocky. Karena Rocky itu milikku, dia cuma akan menikah sama aku!" lantangnya.
Sonia melebarkan bola matanya, ia masih memegang pipi kirinya yang terasa panas, jadi gadis ini adalah tunangan Rocky! Lalu, di kedai soto tadi, apakah itu kesengajaan?
"Kamu..., jadi..., kamu...!" desis Sonia.
"Ya, aku tunangan Rocky. Satu-satunya yang akan menjadi istrinya, jadi kamu itu jangan bermimpi untuk bisa merebut Rocky dari aku. Heah..., apalagi mau bersaing sama aku,____nggak pantes tahu nggak!" cibirnya.
Sonia menurunkan tangannya dari pipinya, "maaf, aku nggak pernah berniat untuk merebut Rocky dari kamu. Aku bahkan nggak tahu kalau Rocky sudah bertunangan!"
"Jadi maksud kamu, Rocky berbohong sama kamu, dia yang ngedeketin kamu gitu? Heah..., kamu pikir kamu siapa?" cibirnya, "kamu itu cuma pelayan warung soto, yang derajatnya nggak lebih dari para pembantu, para budak. Kamu ngaca dong, kamu siapa, Rocky siapa!"
Mata Sonia mulai memerah.
"Nggak usah pasang muka memelas, muka buaya!" hardiknya, "asal kamu tahu ya, orangtua Rocky cuma akan menerima aku sebagai menantunya. Jadi, lebih baik kamu buang mimpimu jauh-jauh untuk bisa bersanding dengan Rocky. Karena itu nggak akan pernah terjadi!"
"Aku...,"
"Satu hal," seru Nancy mengacungkan telunjuknya, "yang pasti, mulai detik ini..., jauhin Rocky. Atau kamu..., akan menyesal!" ancam Nancy mendorong tubuh Sonia hingga terhuyung ke belakang lalu berbalik, berjalan cepat ke mobilnya.
Sonia masih diam di tempatnya. Ucapan Nancy masih jelas menari-nari di telinganya, itu cukup menyakitkan. Tapi semua yang di katakan gadis kaya itu benar, ia dan Rocky bagaikan langit dan bumi. Sampai kapanpun Bumi tidak akan bisa menyentuh langit, apalagi memeluknya, bahkan bersatu dengannya. Karena langit hanya akan jatuh dan menyentuh bumi jika hari akhir tiba. Setitik airmata jatuh melewati pipinya, ia sadar siapa dirinya. Dan Nancy benar, ia memang tak seharusnya mengenal Rocky, apalagi berani jatuh cinta padanya. Tapi ada sesuatu yang jauh lebih membuat hatinya sakit, yaitu kenyataan bahwa ia memang jatuh cinta pada Rocky. Bahwa ia tak mampu mengingkari hal itu.
Ia meraba dadanya yang terasa sesak, tangannya menyentuh sesuatu. Ia segera sadar apa yang di sentuhnya, iapun mengeluarkan benda itu dari dalam bajunya, memungut liontin yang tergantung di lehernya, menatapinya.
"Ibu!" desisnya, mengingat ibunya ia jadi ingat apa tujuannya datang ke kota ini. Bukan untuk terlibat cinta yang rumit seperti dalam sinetron seperti ini, bukan untuk bermasalah dengan siapapun. Tapi ia datang untuk bisa bertemu dengan ayah kandungnya, meski ia tidak tahu harus memulai darimana mencari ayahnya. Atau bagaimana caranya ia bisa menemukan ayahnya, tapi ia datang untuk itu. Untuk ayahnya. Maka iapun menyeka airmata yang membasah di pipinya.
"Nggak, aku nggqk boleh lemah. Aku nggak bisa terjebak di sini, dalam masalah seperti ini. Aku kesini untuk mencari ayah, untuk ayah. Aku harus fokus dalam hal itu!" katanya lalu menggenggam liontin sakura yang hanya separuh itu, memejamkan matanya sejenak, "ibu..., tolong bantu aku untuk menemukan ayah. Meskipun pada akhirnya, ayah nggak mau dengan kehadiranku. Setidaknya aku tahu siapa dia, seperti apa wajahnya, siapa namanya.Â
Dan itu sudah lebih dari cukup!" ia kembali memejamkan mata mendekatkan genggaman tangannya pada liontin itu ke dadanya. Ia menghembuskan nafas panjang lalu membuka mata. Menyimpan kembali liontinnya ke dalam bajunya, lalu melanjutkan langkahnya. Ia sendiri tak tahu harus kemana sekarang, jika langsung ke kos, tak ada yang bisa ia kerjakan.
Edwan mengendarai mobilnya seraya menerima panggilan dari seseorang melalui bluetoot headset, ""iya, terima kasih. Kami juga senang bekerja sama dengan anda!"
.....
"Ok, sama-sama!"
Panggilan itu pun terputus, ia melirik kanan-kiri hingga ia merasa menangkap sesuatu yang ia kenal. Iapun menepikan mobilnya hingga ke tepi dan berhenti, Sonia yang tengah berjalan di trotoar harus menghentikan langkah dan menoleh. Ia merasa mengenali mobil Fortuner itu.
Edwan mengamati gadis itu, "Sonia?" desisnya, lalu keluar dari mobil.
"Om Edwan!" seru Sonia ketika pria itu muncul, ternyata memang benar itu om Edwan. Pria itu segera berjalan menghampirinya, "Sonia," sapanya.
"Om Edwan!" girangnya, entah mengapa ia merasa senang bertemu kembali dengan pria itu. Begitupun Edwan, "kamu..., kok di sini. Kamu nggak kerja?" tanya Edwan.
"Ehm...,"
"Ya udah, gimana kalau..., kamu ikut om saja. Om akan antar kemana kamu mau pergi?" tawarnya. Sonia diam memikirkan tawaran itu, sepertinya tidak salah ikut om Edwan. Daripada ia tak tahu mau kemana. Ia pun mengangguk dengan senyuman.
Edwan segera mengembangkan senyumannya, ia berjalan untuk membukakan pintu untuk Sonia. Sonia pun mengikuti dan masuk ke dalam mobil. Setelah menutup pintu iapun berjalan melalui depan mobil dan kembali ke balik kemudi, segera menjalankan mobilnya.
"Kamu mau kemana?"
"Ehm..., aku...aku nggak tahu mau kemana om!"
"Loh, kok bisa!" heran Edwan memandang Sonia sejenak, "kamu sedang punya masalah?" tanyanya cemas. Sonia sedikit menunduk.
* * *
Mereka menyantap makan siang di sebuah restoran padang, Edwan mengamati Sonia yang hanya mengaduk-aduk saja makanannya hingga menjadi nasi campur. Mungkin gadis itu tidak suka makanannya, atau...memang sedang punya masalah serius?
"Kasihan nasinya, sedari tadi di aduk-aduk sampai pusing. Kamu tidak suka menunya ya?" tanya Edwan membuyarkan lamunan Sonia, "a, apa om?" tanya Sonia spontan.
Edwan tersenyum kecil, "apa mau pesan yang lain?" tawarnya, "tidak perlu om, ini cukup kok!" tolaknya dengan sedikit kikuk. Tapi ia belum juga memasukan sesendokpun ke dalam mulutnya.
"Kamu sedang ada masalah apa, ceritakan sama om. Mungkin om bisa membantu?"
Sonia meletakan sendoknya di atas piring yang masih penuh nasi, sedikit menunduk, lalu mengangkat wajahnya hingga bisa membalas tatapan Edwan dengan lebih dalam. Tatapan gadis itu Edwan rasakan cukup menusuk dadanya, ada apa sebenarnya?
"Om, aku mau tanya!" katanya. Edwan menjinjing alisnya, "om..., cukup dekat dengan Rocky kan?" tanyanya. Edwan sedikit mengernyit dengan pertanyaan itu. Sepertinya ada hal yang cukup serius yang ingin Eonia bahas.
"Ya!"
"Kalau begitu om sudah pasti tahu, bahwa Rocky sudah bertunangan?"
Edwan tertegun. Tapi ia menjawab, "ya!" , Kini tatapan Sonia kian terasa tajam padanya, Edwan menunggu apalagi yang akan Sonia ucapkan.
"Lalu kenapa tempo hari om tidak memberitahuku?"
Edwan terhenyak sekarang, itu artinya...Sonia baru tahu kalau Rocky sudah bertunangan, ia pikir..., "Sonia, aku justru berfikir kalau Rocky sudah memberitahukanmu. Itu sebabnya kalian bisa dekat!" sahutnya heran.
"Dia bahkan tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu, tentang...siapa namanya...?"
"Nancy, namanya Nancy!" potong Edwan.
"Ya, Nancy!" desisnya menyahuti, ia menyunggingkan senyum getir di bibirnya. Merasa cukup bodoh, hampir semua orang tahu tentang pertunangan Rocky, kecuali dirinya.
"Ada yang pernah berkata padaku, bahwa hubungan Rocky dengan Nancy tidak bisa di ganggu gugat dengan apapun. Itu artinya..., Rocky hanya akan menikahi Nancy kan?" serunya pedih, "lalu kenapa, dia harus mendekatiku?" tanyanya. Edwan hanya diam menatapnya, "menawarkan cinta yang tidak mungkin, bahkan menjanjikan sebuah harapan!" matanya mulai sembab, "dia bilang dia mencintaiku,____!" sebutir airmata jatuh melewati pipinya, "apakah menurut pria seperti kalian..., kalian bisa dengan semaunya mempermainkan perasaan para gadis seperti kami?" seru Sonia.
Edwan cukup terkejut dengan ucapan Sonia. Pria seperti kalian, apa maksudnya?
"Katakan padaku om, apakah...,"
"Sonia, mungkin Rocky punya alasan, kenapa dia tak memberitahukanmu tentang Nancy!" potong Edwan. Sonia tertegun, kenapa om Edwan seolah membela Rocky. Seakan-akan apa yang Rocky lakukan itu benar? Ia memberikan tatapan yang lebih menusuk kepada pria itu, dengan mata basah.
"Sonia, jujur. Om tersinggung dengan kalimatmu tadi," ucap Edwan, "kamu berkata..., seolah om adalah salah satu pria yang suka mempermainkan wanita. Apakah om terlihat seperti itu?"
Sonia menurunkan pandangannya ke meja. Tak menyahut.
"Ok, mungkin kamu kecewa sama Rocky karena tidak jujur dengan statusnya. Dan sekarang kamu menatap om seolah om bersekongkol dengannya,____om tahu betul bagaimana hubungan Rocky dengan Nancy. Karena..., Nancy itu keponakan om!" aku Edwan.
Seketika Sonia mengembalikan pandangannya ke wajah Edwan, membalas tatapan pria itu dengan tatapan tak percaya, "apa?" desisnya.
"Ya, Nancy itu keponakan om. Papanya Nancy, mas Hardi, adalah kakak om!"
"Maksud om...Hardi Subrata?"
"Ya, kamu...sudah pernah dengar ya tentang mas Hardi?" tanya Edwan. Sonia tak menjawab, "pasti...yang tidak baik ya?" lanjut Edwan.
Sonia masih diam. Dan Edwan mengerti saat ini fokus mereka bukan untuk membicarakan kakaknya.
"Begini Sonia, bukannya om membela Rocky. Tapi sejak kecil Rocky memang hanya menganggap Nancy sebagai adiknya, om pikir mungkin setelah dewasa hal itu bisa berubah. Tapi tidak, Rocky sudah berusaha untuk mencintai Nancy seperti seharusnya, tapi rasanya itu tidak berhasil. Selama ini..., Rocky melakukan semua hal yang di inginkan oleh kedua orangtuanya, termasuk masuk dunia bisnis yang sebenarnya tak ia sukai. Ia harus mengubur impiannya untuk menjadi seorang musisi. Dan ia harus bertunangan dengan gadis yang tak mungkin memasuki hatinya. Om tahu, bagaimana rasanya bertunangan dengan orang yang tak kita cintai, sementara kita tidak bisa memiliki gadis yang kita cintai!" jelasnya.
Kini raut Edwan yang menjadi murung, sepertinya pria itu memiliki masalalu yang menyakitkan tentang cinta. Sonia menyeka airmatanya. Dan kembali menatap Edwan.
"Om..., pernah mengalami itu!"
Edwan tersenyum kecut, "hanya pengalaman kecil, tidak usah di bahas!" dalihnya, "tapi bagaimana kalau aku ingin tahu, mungkin om mau cerita?" pintanya. Edwan menatap mata Sonia, ekspresi gadis itu sudah tak sesedih beberapa saat tadi. Mungkin jika ia menceritakan srdikit masalalunya, itu bisa membuat Sonia sedikit melupakan masalahnya dengan Rocky. Atau justru..., bisa meredam amarahnya.
"Om memang pernah bertunangan dengan seseorang yang tak om cintai, sementara..., gadis yang om cintai..., hanya menganggap om sebagai teman dan memilih pria lain. Om sudah berusaha menepikan perasaan om terhadapnya, tapi tidak bisa. Sampai saat ini, om masih tidak..., membuang perasaan itu!"
Sonia tertegun di buatnya. Pria di depannya menceritakan itu dengan perasaannya. Ia bahkan sampai bisa merasakan cinta yang begitu besar yang di miliki Edwan terhadap wanita itu.
"Lalu, bagaimana dengan tunangan om. Apakah kalian menikah?"
"Dia meninggal karena kecelakaan mobil, jadi...kami tak pernah menikah. Sejak itu..., om memutuskan untuk menolak semua gadis yang di tawarkan orangtua om. Jadi sampai sekarang, om nggak menikah. Dan..., gadis yang om cintai itu bagaimana?"
"Dia menikah dengan pria yang di cintainya, dan hidup bahagia. Tapi...!"
"Tapi kenapa om?"
"Suatu hari dia menghilang entah kemana, kami mencarinya kemana-mana dan tak pernah menemukannya. Om berharap, dia masih hidup!"
"Bagaimana bisa?"
"Ceritanya panjang, tapi mungkin...lain kali saja om ceritakan!" hindarnya, "oya, om belum tahu tentang keluargamu. Kamu belum sempat cerita tentang mereka!"
"Keluargaku om?"
"Iya, ceritakan tentang ibumu, ayahmu!"
Sonia diam menurunkan pandangannya beberapa saat, "mereka sudah meninggal om, beberapa tahun lalu!" sahutnya lirih. Edwan terkesiap, "oh..., maaf!"
"Nggak apa-apa, aku senang om menanyakannya. Terutama tentang ibu, karena aku merasa bahagia saat mengenang ibu." sahutnya dengan senyum kecil, "ibu adalah orang yang sangat baik, beliau hampir tak pernah menyakiti siapapun. Sayangnya..., kebahagiaan tidak berpihak padanya. Ayahku seorang preman pasar, hampir setiap hari..., dia memarahi dan memukul ibu, bahkan aku!" ungkapnya.
Edwan menatapnya tercenung, ternyata gadis di depannya tak seberuntung yang ia kira.
"Suatu malam, dalam keadaan mabuk. Dia mendatangi kamarku dan memaksaku melayani napsu bejatnya. Demi meolongku, ibu harus mendapat siksaan darinya. Aku tak bisa melihat ibu di sakiti lagi, jadi tanpa sadar, aku menusuk jantung ayah dengan gunting. Membunuhnya!"
"Apa?" desis Edwan hampir tak percaya, "ibuku juga tewas malam itu, dan aku..., harus menghabiskan masa remajaku di lapas anak-anak!" tambah Sonia. Edwan kian tertegun.
"Setelah keluar dari lapas, aku datang kesini karena aku sudah tak punya siapa-siapa lagi om. Beruntungnya, aku bertemu dengan Erik, dia baiiiik sekali. Dia memberiku tempat tinggal, meski kami harus tinggal di kos, membantuku mendapat pekerjaan, dan dia menganggapku seperti adiknya sendiri. Om harus bertemu dengannya!" kata Sonia dengan senyum kagum di wajahnya. Membuat Edwan percaya bahwa orang yang bernama Erik itu memang baik.
"Erik, sepertinya om tertarik untuk bertemu dengannya!" sahut Edwan.
"Harus!"
"Kapan?"
"Saat ini dia masih sibuk kerja, tapi sepertinya hari ini dia pulang sore. Itu pun kalau lagi nggak ada acara lain, karena sepertinya dia sedang dekat dengan seorang gadis!" jelasnya.
"Wah..., sepertinya semua lagi pada kasmaran!" canda Edwan, lalu ia ingat akan sesuatu, "oya Sonia, waktu itu pas om nganterin kamu pulang. Om lihat Dimas di tempat kamu, kamu kenal juga sama Dimas?"
"Ouh...Dimas, kami memang berteman om!"
"Tapi setahu om, Dimas itu nggak pernah peduli sama cewe. Meski hanya berteman, ya...kamu pasti tahu alasannya apa?" herannya, "papanya!" sahut Sonia singkat. Edwan mengangguk pelan, memandang Sonia dengan selidik, "dan baru kali ini..., Dimas mendatangi tempat tinggal seorang gadis, bahkan rela menunggunya sampai pulang. Dimas menyukaimu juga ya?" terka Edwan.
Sonia terbungkam, ia jadi ingat ungkapan perasaan Dimas semalam. Dimas yang selama ini tidak pernah respect terhadap gadis manapun, tiba-tiba terlalu perhatian terhadap dirinya, sangat respect. Itu jelas sekali bisa di baca siapapun yang mengenal Dimas. Sonia tercenung. Ia juga menyadari ia menyukai sosok Dimas yang selalu perhatian terhadapnya, bahkan amat sangat menyukainya. Dan sepertinya ia juga mencintai pemuda itu, meski tidak sebesar cintanya terhadap Rocky. Haruskah ia menerima cinta Dimas saja yang sudah jelas statusnya sejak awal. Tapi..., bukankah om Remon tidak menyukainya dan dengan sangat jelas melarang Dimas berhubungan dengannya. Dan om Remon itu berteman dengan papanya Rocky, dan juga..., oh ia baru ingat. Bukankah Dimas berkata bahwa om Edwan adalah adik dari salah satu teman karib papanya. Dan om Edwan tadi bilang bahwa kakaknya adalah Hardi Subrata. Papanya Nancy. Maka akan sangat jelas, mereka tidak akan suka padanya, secara serentak. Ia juga tak mungkin bisa menjalin hubungan dengan Dimas, tapi..., kenapa om Edwan begitu berbeda dengan mereka semua?
Bahkan ketika dirinya menceritakan baru saja keluar dari penjara anak-anak, pria itu tak menampakan ekspresi jijik atau semacamnya. Masih bersikap biasa saja, seperti selama ini.
"Om, om tidak malu jalan dan makan berama mantan napi seperti aku?" tanya Sonia tiba-tiba, membuat Edwan mengernyit dengan pertanyaan itu, "kenapa harus malu?" tanya Edwan balik.
"Aku..., pernah di penjara. Karena membunuh!"
Edwan tersenyum lembut, "kau melakukan itu karena terpaksa, jika om yang ada dalam posisimu om juga akan melakukan hal yang sama. Sudahlah, tidak usah membahas itu lagi. Lalu, bagaimana dengan Dimas, apa kamu menyukainya juga?"
"Om ini bicara apa?" sahut Sonia bersemu malu-malu, "sekarang bagaimana dengan om, apakah cinta om terhadap wanita itu begitu besar sampai om belum menikah sampai sekarang?" balasnya.
"Kok jadi ke om?"
"Memangnya kenapa, om terus saja mengorek masalah pribadiku. Apa aku tidak boleh juga begitu?" kesalnya. Edwan malah mengeluarkan tawa merdu, ia senang Sonia sudah tidak bersedih lagi karena masalahnya dengan Rocky. Gadis ini memiliki latar belakang yang rumit, tapi baginya itu terdengar luar biasa.
* * *
Ketika keluar dari gedung sekolah meuju parkiran, Langkah Dimas harus terhenti ketika melihat papanya menghampirinya, "papa, papa ngapain di sini?"
"Menjemputmu!"
"Dimas bawa motor pa!"
"Titipkan saja motormu di sini, kamu ikut papa!" perintahnya,
"Tapi pa, Dimas mau...,"
"Ke bengkel Gio, membantunya menjadi montir rendahan." potong Remon, "Dimas, itu sudah sangat keterlaluan, kamu itu pewaris tunggal perusahaan papa. Nggak pantes kamu mengerjakan kerjaan seperti itu!" cibir Remon. Dimas melirik Bayu, Gio dan Ian melalui bahunya.
"Sudah cukup Dimas, papa membiarkan kamu bergaul dengan mereka. Tapi bukan berarti juga harus menjadi mereka, kamu harus ingat siapa kamu dan siapa mereka. Mulai sekarang, batasin diri kamu dari mereka!"
"Pa!"
"Masuk ke mobil!" suruh Remon dengan suara lantang, "Tapi pa!" protes Dimas yang langsung di potong kembali oleh Remon.
"Kamu mau menurut sama papa, atau papa akan membawamu dengan paksa ke Amsterdam. Jauh dari mereka," ancam Remon. Dimas menggerutu menatap papanya dengan sorot protes, "masuk mobil, Dimas!" geram Remon menekankam kalimat itu.
Dimas segera berjalan cepat ke mobil papanya, menghempaskan diri dengan kesal. Tentu ia tidak akan mau pergi ke Amsterdam, apalagi sekarang ada Sonia. Ia akan memperjuangkan perasaannya terhadap gadis itu, ia tidak akan membiarkan seorangpun memisahkannya dari Sonia, meski papanya sekalipun.
Â
---Bersambung.....---
Â
Selanjutnya, Wild Sakura #Part 22 ; Aku Jatuh Cinta Ada Kalian Berdua | Wild Sakura #Prologue
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H