"Nggak usah pasang muka memelas, muka buaya!" hardiknya, "asal kamu tahu ya, orangtua Rocky cuma akan menerima aku sebagai menantunya. Jadi, lebih baik kamu buang mimpimu jauh-jauh untuk bisa bersanding dengan Rocky. Karena itu nggak akan pernah terjadi!"
"Aku...,"
"Satu hal," seru Nancy mengacungkan telunjuknya, "yang pasti, mulai detik ini..., jauhin Rocky. Atau kamu..., akan menyesal!" ancam Nancy mendorong tubuh Sonia hingga terhuyung ke belakang lalu berbalik, berjalan cepat ke mobilnya.
Sonia masih diam di tempatnya. Ucapan Nancy masih jelas menari-nari di telinganya, itu cukup menyakitkan. Tapi semua yang di katakan gadis kaya itu benar, ia dan Rocky bagaikan langit dan bumi. Sampai kapanpun Bumi tidak akan bisa menyentuh langit, apalagi memeluknya, bahkan bersatu dengannya. Karena langit hanya akan jatuh dan menyentuh bumi jika hari akhir tiba. Setitik airmata jatuh melewati pipinya, ia sadar siapa dirinya. Dan Nancy benar, ia memang tak seharusnya mengenal Rocky, apalagi berani jatuh cinta padanya. Tapi ada sesuatu yang jauh lebih membuat hatinya sakit, yaitu kenyataan bahwa ia memang jatuh cinta pada Rocky. Bahwa ia tak mampu mengingkari hal itu.
Ia meraba dadanya yang terasa sesak, tangannya menyentuh sesuatu. Ia segera sadar apa yang di sentuhnya, iapun mengeluarkan benda itu dari dalam bajunya, memungut liontin yang tergantung di lehernya, menatapinya.
"Ibu!" desisnya, mengingat ibunya ia jadi ingat apa tujuannya datang ke kota ini. Bukan untuk terlibat cinta yang rumit seperti dalam sinetron seperti ini, bukan untuk bermasalah dengan siapapun. Tapi ia datang untuk bisa bertemu dengan ayah kandungnya, meski ia tidak tahu harus memulai darimana mencari ayahnya. Atau bagaimana caranya ia bisa menemukan ayahnya, tapi ia datang untuk itu. Untuk ayahnya. Maka iapun menyeka airmata yang membasah di pipinya.
"Nggak, aku nggqk boleh lemah. Aku nggak bisa terjebak di sini, dalam masalah seperti ini. Aku kesini untuk mencari ayah, untuk ayah. Aku harus fokus dalam hal itu!" katanya lalu menggenggam liontin sakura yang hanya separuh itu, memejamkan matanya sejenak, "ibu..., tolong bantu aku untuk menemukan ayah. Meskipun pada akhirnya, ayah nggak mau dengan kehadiranku. Setidaknya aku tahu siapa dia, seperti apa wajahnya, siapa namanya.Â
Dan itu sudah lebih dari cukup!" ia kembali memejamkan mata mendekatkan genggaman tangannya pada liontin itu ke dadanya. Ia menghembuskan nafas panjang lalu membuka mata. Menyimpan kembali liontinnya ke dalam bajunya, lalu melanjutkan langkahnya. Ia sendiri tak tahu harus kemana sekarang, jika langsung ke kos, tak ada yang bisa ia kerjakan.
Edwan mengendarai mobilnya seraya menerima panggilan dari seseorang melalui bluetoot headset, ""iya, terima kasih. Kami juga senang bekerja sama dengan anda!"
.....
"Ok, sama-sama!"