[caption caption="www.weheartit.com"][/caption]
Â
Ku kendarai Outlander sportku dengan kecepatan sedang karena jalanan lumayan ramai, tidak memungkinkanku untuk mengebut. Di sebelahku duduk mama tercintaku, yang membesarkanku dengan segala cinta dan kerja kerasnya seorang diri sejak bercerai dari pria itu, lebih tepatnya di ceraikan secara sepihak. Dan pria itu, yang darahnya mengalir di seluruh tubuhku, yang terkadang membuatku ingin mengeluarkannya dan menggantinya dengan darah baru, pria itu tak memperdulikan mamaku lagi sejak kecelakaan yang mama alami saat usiaku 7 tahun. Saat itu mama sedang hamil 5 bulan, akibat kecelakaan itu rahim mama harus di angkat oleh pihak rumah sakit karena pecah, dan ada bagian wajah mama yang bekas lukanya tak bisa hilang total.
Kata pria itu, satu anak tak cukup baginya, dan mama sudah tidak cantik lagi. Itu sebabnya ia memiliki wanita lain lalu menikahinya dan tak memperdulikan mama lagi. Padahal mama sangat mencintainya. Dari istri keduanya itu dia memiliki satu anak lelaki dan dua anak perempuan, mungkin dia merasa sudah lengkap hingga harus menceraikan mama. Tapi satu tahun kemudian ku dengar mama berkata kalau dia menikahi wanita lain lagi secara siri, karena wanita itu sudah melahirkan seorang anak laki-laki darinya.
Dasar pria tak bermoral!
Ternyata memang satu wanita tak bisa membuatnya merasa bahagia, atau puas mungkin! Sudah. Aku tidak mau membahas pria itu.
"Ken, mama penasaran sekali. Kasih tahu mama dong..., siapa namanya?"
"Ah, entar juga mama tahu. Kan bentar lagi mau ketemu!" sahutku sengaja tak mau memberitahu mamaku siapa gadis pujaan hatiku, aku menjalin hubungan dengannya selama setahun terakhir ini. Kami bertemu di pesta pernikahan teman kantorku, dia itu teman baik adik teman kantorku yang menikah itu. Sejak pertemuan pertama kami, aku langsung falling in love with her.
Rasa bahagaiku bertambah ketika aku tahu perasaanku bersambut, terus terang dalam hubungan kami, kami jarang membicarakan tentang keluarga kami masing-masing karena aku memang tak suka membicarakan hal itu. Apalagi yang menyangkut pria yang pernah ku panggil papa. Jadi..., baik aku maupun dia sama-sama belum bertemu dengan keluarga satu sama lain. Aku bahkan belum tahu siapa nama orang tuanya, nama kakak-kakaknya, dan nomor rumahnya. Aku selalu menurunkannya di depan kompleksnya tinggal setiap mengantarnya pulang. Lagipula katanya ia tinggal dengan tantenya yang menjanda tak lama setelah suaminya meninggal karena kecelakaan bersama bayi yang di kandungnya. Otomatis, tantenya itu tak bisa punya anak lagi, jadi ia putuskan tak mau menikah lagi karena takut suaminya kecewa ia tidak akan mampu memberikan keturunan.
Aku iba karena nasibnya hampir sama dengan mama, kehilangan bayi dan rahimnya karena kecelakaan. Bedanya mama kehilangan suaminya karena suaminya memilih wanita lain sedang tante pacarku itu kehilangan suaminya karena suaminya meninggal. Ku rasa, tantenya masih lebih beruntung dari mama. Pacarku memutuskan tinggal dengan tantenya karena ia memang lebih dekat dengan tantenya daripada mamanya sendiri. Terkadang aku bingung dengan hidup ini, kok penuh kerumitan begini?
"Ayolah Ken, kamu jangan bikin mama penasaran. Emang dia secantik apa sih, lebih cantik dari mama ya?" rengek mamaku manja, "kamu jahat, nanti kalau kamu menikah..., kamu pasti lupa sama mama!" kata mamaku pura-pura ngambek. Ku sunggingkan senyum semanis mungkin, "mama..., mama itu wanita paling cantik di dunia. Dan mama itu adalah jantung hatiku, mana mungkin aku bakal tinggalin mama!" rayuku sudah seperti kekasih saja.
Memang, aku belum pernah pacaran sebelumnya. Sampai-sampai teman-temanku pikir aku pacaran sama mamaku sendiri, mungkin otak mereka sudah tak waras.
"Gombal, buktinya..., kamu punya pacar saja dadakan banget kasih tahu mama. Nanti, dadakan juga kamu nikah lalu tinggalin mama!" mamaku memasang bibir manyunnya yang bikin aku gemes, bagaimana bisa aku tinggalin mama. Mama adalah segalanya bagiku, kalau mama tidak suka sama pacarku dan memintaku putus, mungkin aku juga tetap akan menurutinya daripada harus kehilangan mama.
Tapi sayangnya, saat ini aku nggak mungkin ninggalin Trisna. Ada sesuatu yang membuatku gak bisa ninggalin dia, aku gak mau jadi pria itu. Dan hari ini pertemuanku dengan keluarga Trisna adalah untuk melamarnya meski aku tahu dia masih duduk di bangku kuliah dan masih harus merampungkan empat semester lagi. Tapi aku ingin segera menikahinya.
"Ya nggak mungkinlah ma, mama itu my everything, lagian...dia gadis yang baik ma. Ken yakin, dia juga bakal sayang sama mama!"
"Hefff..., terserah kamu deh!"
Aku hanya menggeleng saja sambil tersenyum. Melanjutkan perjalanan ke sebuah restoran di daerah bilangan jakarta selatan, kami pun sampai di sana dengan aman. Begitu masuk ke restoran itu, aku celingukan mencari Trisna, tapi wajah cantiknya tak bisa aku temukan, malahan...,
Moodku tiba-tiba lenyap, mataku menangkap pemandangan yang tak ingin ku lihat. Pria itu, bersama keluarganya. Tepatnya bersama wanita yang merebutnya dari mama. Tapi tidak, memang pria itu saja yang brengsek. Terlihat, ada anak perempuan mereka yang juga cantik, tapi hanya satu. Anak perempuan yang satu lagi dan yang laki-laki mana? Ah, untuk apa aku peduli. Aku datang kesini bukan untuk mereka tapi untuk gadis pujaanku yang sebentar lagi akan ku pinang dalam waktu dekat setelah lamaran kecil ini.
Aku tak ingin mereka sadar kami di sini juga, tapi terlambat, mereka sudah melihat kami duluan. Tapi anehnya, saat ini mamaku biasa-biasa saja. Meski aku tahu, di balik tatapan tegar mama itu, tersimpan rasa cemburu yang masih menggebu, bagaimana tidak. Aku tahu sampai detik ini mama masih mencintai pria itu, meski sudah di sia-siakan.
Jadi mama berjalan mendekati meja mereka, aku pun mengikuti saja. Aku ingin tahu mama mau apa?
"Wah..., sedang berkumpul!" sapa mama, mereka semua diam. Padahal aku tak mau melihat mereka, karena itu membuat perutku mual dan ingin muntah. Apalagi dengan sikap pamer wanita itu yang seolah sok menguasai pria di sampingnya, padahal diapun di selingkuhi juga.
"Ma, kita kesini bukan untuk mereka. Lebih baik kita cari tempat lain!" bujuku, mungkin Trisna belum datang karena macet atau apa, "lagian perutku mendadak mual banget, mau muntah rasanya!" ketusku. Sepertinya mereka mengerti apa maksudku, pria itu langsung bangkit dari duduknya.
"Tidak sopan kamu bicara seperti itu!" katanya lalu menoleh mama, "jadi seperti ini kamu mendidiknya, dasar tidak becus!" hardiknya pada mama. Aku langsung naik pitam, aku paling tidak rela bila mama di sakiti, apalagi oleh pria itu.
"Kamu jangan sok bener," aku menghalanginya yang melangkah ke arah mama, "kamu yang bikin aku seperti ini, lagian buat apa di hormatin kalau emang nggak pantes buat di hormatin!" lantangku. Ku lihat wajahnya memerah, oleh suaraku itu kami menjadi pusat perhatian seisi restoran. Kami saling tatap dengan sama garangnya, bagai musuh bebuyutan yang siap tanding, padahal dalam darahku mengalir darahnya. Dan terkadang hal itu juga yang membuatku membenci diriku sendiri, itu dulu sebelum saku meyakini bahwa mama yang mengadungku, yang melahirkanku. Jadi untuk apa aku terlalu memikirkan tentang darah yang mengalir dalam tubuhku. Toh, kalau aku menikah tidak akan membutuhkan kehadirannya pun tak apa, aku lelaki, mama saja cukup.
Itu yang membuatku merasa beruntung karena terlahir sebagai laki-laki, berbeda jika aku lahir sebagai wanita. Bagaimana nanti saat pernikahan, karena saat menikah wanita akan butuh ayah kandungnya jika masih hidup.
"Ken!"
Suara lembut itu membuyarkan kami, kami sama-sama menoleh ke arah suara yang mendekat dari arah toilet, ku lirik pria itu yang nampaknya mengeluarkan raut terkejut di wajahnya. Trisna langsung menghampiriku dan menggandeng lenganku mesra, "Ken, kamu datang lama sekali?"
"Maaf sayang, ada sedikit kendala tadi!"
"Apa-apaan ini?" suara beratnya kembali membuat suasana tegang, "pa, ini Ken. Pacarku, yang akan melamarku malam ini!" katanya mengenalkanku pada papanya, yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak seketika. Bagai ada guntur yang begitu dasyat menghantam pendengaran dan dadaku, apakah aku salah dengar?
Trisna memanggil pria itu papa?
"Apa?" sekali lagi suara beratnya melantang, wajahnya berubah lebih sangar dan aku hanya diam terpaku. Wajah Trisna jadi sedikit ketakutan melihat tampang papanya saat ku lirik, tapi tangannya tak melepaskan lenganku. Ia terlihat bingung, sama dengan semua orang yang ada di sekitar kami, termasuk mama.
"Kamu bilang apa, Trisna?" tanyanya geram,
"Ken, pac-carku pa!" sahutnya gugup,
Kediaman kembali menyergap, dengan puluhan pasang mata memperhatikan kami, mereka diam layaknya sedang nonton drama.
"Kamu tidak boleh pacaran sama dia!" teriaknya, sempat kurasakan tubuh Trisna melonjak kaget, "ke-kenapa pa?" tanyanya yang mulai menyembabkan mata indahnya.
"Kamu tahu siapa dia?"
Trisna hanya diam. Menunggu.
"Dia kakakmu!"
Seketika tubuh Trisna menegang, ku rasakan itu dari pegangan tangannya di lenganku, tapi itu hanya beberapa detik karena setelahnya tangan itu mengendur dan melepaskan diri. Trisna lalu menatapku, seolah ingin agar aku mengatakan bahwa semua itu tidak benar. Tapi karena aku tak bereaksi, maka perlahan buliran bening jatuh di pipinya. Ia sedikit menjauh dariku sambil menggeleng.
"Apa itu benar, Ken. Gadis itu Trisna?" tanya mama yang sudah berada di sampingku, aku hanya diam tak menyahut. Karena aku sendiri tak ingin membenarkan semua itu, tapi semua itu benar. Airmata mama juga mengalir deras begitu saja, ia menutup mulutnya dengan tangan lalu berlari keluar restoran, paling pergi ke mobil.
"Ini nggak benar kan pa, Ken bukan kakakku kan pa?" tangisnya,
"Dia darah papa, dari istri pertama papa, kalian itu satu darah. Kalian saudara, jadi kalian tidak boleh pacaran, apalagi menikah!" teriaknya,
"Tidak!" tangis Trisna yang membuat hatiku pedih, aku mencintainya dan dia...putri papaku, adikku!
"Ken, katakan ini bohong. Katakan semua ini nggak benar, kamu bukan kakak aku kan, kita akan menikah kan?" tangisnya sambil menggoyang lenganku. Tapi tiba-tiba pria itu menarik Trisna menjauh dariku, lalu pipiku tiba-tiba saja terlempar ke samping, pria itu menamparku. Hal itu sempat membuatku marah dengan memutar kepalaku menatapnya dengan garang pula.
"Kamu mengataiku tak bermoral, tapi kamu memacari adikmu sendiri!" makinya dengan amarah, "pergi kamu, jangan dekati Trisna lagi!"
Ku tatap dia dengan amarah lalu ku lirik Trisna yang menggeleng padaku dengan linangan airmata, lalu ku bawa langkahku menyusul mama. Ku dengar suara Trisna memanggil namaku,
"Ken, jangan pergi!"
"Biarkan dia pergi, kamu nggak seharusnya berhubungan sama dia!"
"Ken..., Ken jangan pergi, aku cinta sama kamu!"
"Trisna!"
"Tapi pa..., aku hamil!" katanya perih, dan seketika semuanya senyap. Diam. Dingin. Hanya isakan lembut Trisna yang masih bisa ku dengar lirih yang membuat hatiku pilu.
Aku dan mama saling diam selama perjalanan, mama hanya menangis saja tanpa mengucap apapun. Dan ketika sampai di rumah aku langsung melenyapkan diri di dalam kamar, diam mematung untuk sekian detik. Masih berharap semua ini hanya mimpi belaka, gadis yang aku cintai, yang telah ku tanamkan benihku di rahimnya, adalah darahku, adikku. Dadaku rasanya mau meledak, begitu sakit dan pedih. Aku tak pernah jatuh cinta dan ketika aku jatuh cinta...,
"Arghhhhh...!" ku teriakan jerit yang melengking yang ku yakin mama bisa mendengarnya, ku sambar semua barang yang ada di dalam kamar hingga berhamburan tak karuan. Ku tinju semua yang bisa ku temui sampai darah muncrat dari kepalan tinjuku, lalu aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli!
Aku tak mengerti kenapa Tuhan tempatkan aku dalam garis seperti ini?
__________o0o__________
©Y_Airy, Jakarta 20 Februari 2016
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI