"Tidak sopan kamu bicara seperti itu!" katanya lalu menoleh mama, "jadi seperti ini kamu mendidiknya, dasar tidak becus!" hardiknya pada mama. Aku langsung naik pitam, aku paling tidak rela bila mama di sakiti, apalagi oleh pria itu.
"Kamu jangan sok bener," aku menghalanginya yang melangkah ke arah mama, "kamu yang bikin aku seperti ini, lagian buat apa di hormatin kalau emang nggak pantes buat di hormatin!" lantangku. Ku lihat wajahnya memerah, oleh suaraku itu kami menjadi pusat perhatian seisi restoran. Kami saling tatap dengan sama garangnya, bagai musuh bebuyutan yang siap tanding, padahal dalam darahku mengalir darahnya. Dan terkadang hal itu juga yang membuatku membenci diriku sendiri, itu dulu sebelum saku meyakini bahwa mama yang mengadungku, yang melahirkanku. Jadi untuk apa aku terlalu memikirkan tentang darah yang mengalir dalam tubuhku. Toh, kalau aku menikah tidak akan membutuhkan kehadirannya pun tak apa, aku lelaki, mama saja cukup.
Itu yang membuatku merasa beruntung karena terlahir sebagai laki-laki, berbeda jika aku lahir sebagai wanita. Bagaimana nanti saat pernikahan, karena saat menikah wanita akan butuh ayah kandungnya jika masih hidup.
"Ken!"
Suara lembut itu membuyarkan kami, kami sama-sama menoleh ke arah suara yang mendekat dari arah toilet, ku lirik pria itu yang nampaknya mengeluarkan raut terkejut di wajahnya. Trisna langsung menghampiriku dan menggandeng lenganku mesra, "Ken, kamu datang lama sekali?"
"Maaf sayang, ada sedikit kendala tadi!"
"Apa-apaan ini?" suara beratnya kembali membuat suasana tegang, "pa, ini Ken. Pacarku, yang akan melamarku malam ini!" katanya mengenalkanku pada papanya, yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak seketika. Bagai ada guntur yang begitu dasyat menghantam pendengaran dan dadaku, apakah aku salah dengar?
Trisna memanggil pria itu papa?
"Apa?" sekali lagi suara beratnya melantang, wajahnya berubah lebih sangar dan aku hanya diam terpaku. Wajah Trisna jadi sedikit ketakutan melihat tampang papanya saat ku lirik, tapi tangannya tak melepaskan lenganku. Ia terlihat bingung, sama dengan semua orang yang ada di sekitar kami, termasuk mama.
"Kamu bilang apa, Trisna?" tanyanya geram,
"Ken, pac-carku pa!" sahutnya gugup,