Jika kau bertanya siapa aku?
Aku akan menjawab bahwa aku tak tahu.
Jika kalian bertanya darimana asalku?
Aku juga akan menjawab bahwa aku juga tak tahu!
Aku merasa seperti jiwa asing yang terdampar di planet yang terkutuk. Tak tahu sekarang harus kemana ku langkahkan kaki ini, atau harus bagaimana aku akan melangkah setelah ini. Ribuan hari aku habiskan di balik jeruji besi. Mengukur sisa waktu yang ku miliki, berapa lama lagi aku bisa menghirup udara bebas?
Tapi sekarang lihatlah, setelah aku berada di alam bebas. Setelah aku lepas dari ruangan pengap itu aku justru tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa. Ku datangi rumah yang dulu ku gunakan untuk berteduh, rumah yang penuh dengan tawa dan tangis dari dua bocah perempuan yang secara samar masih bisa ku lihat parasnya. Tapi seperti apakah mereka sekarang, setinggi apakah mereka, dan bagaimana mereka menjalani hidup?
Rumah ini tampak kosong, lusuh, tak terawat. Saat ku pijakan kaki ke dalamnya, hanya perih yang ku rasakan. Begitu dingin dan mencekam. Aku masih ingat saat beberapa aparat menggrebek rumah ini, ada tangis yang menderai dari mulut kedua bocah itu, ada tatapan nanar dari matamu saat ku akui semua itu benar. Kau menamparku sekali di pipi, hal yang tak pernah kau lakukan selama kita bersama meskipun aku selalu kurang memberimu uang belanja. Tapi saat ku sodorkan tumpukan uang berwarna merah di depanmu, kau menghujamiku dengan ribuan pertanyaan tanpa henti. Aku hanya menjawab dalam kediaman dan gebrakan tanganku di meja. Membuat dua bocah itu ketakutan. Dulu aku tak berfikir kalian berarti bagiku. Dan kini semua begitu terasa pedih saat kalian tak lagi bisa ku jamah.
"Darimana kamu dapatkan uang sebanyak itu?"
"Darimana itu bukan urusanmu, yang penting kamu dan anak-anakmu makan!"
"Mereka anak-anakmu juga, aku nggak mau makan pake uang haram!"
"Ah....kamu itu bisanya ngomel doang. Kamu pikir cari duit itu gampang kaya' nyari daun di halaman rumah!"
Ada kerinduan yang mendera di sanubari ini, ada sesuatu yang hilang di dada ini. Membuatnya berlubang dan pedih. Seperti luka yang terus menganga dan membuatku sakit saat merabanya.
Ku dudukan diriku di kursi yang hampir roboh ini, di penuhi jaring laba-laba. Beralaskan debu, dimana dulu selalu aku menunggu kopi yang kau bawakan untukku.
"Ini kopimu, pahit nggak ada gula!"
"Kan aku kasih kamu duit, kamu kemanain?"
"Aku nggak mau sentuh tuh duit sebelum aku tahu darimana asalnya!"
"Ah....kamu ini banyak bacot. Udah untung aku mau kasih tuh duit!"