Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kasih Yang Hilang

19 Maret 2015   20:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:24 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jika kau bertanya siapa aku?

Aku akan menjawab bahwa aku tak tahu.

Jika kalian bertanya darimana asalku?

Aku juga akan menjawab bahwa aku juga tak tahu!

Aku merasa seperti jiwa asing yang terdampar di planet yang terkutuk. Tak tahu sekarang harus kemana ku langkahkan kaki ini, atau harus bagaimana aku akan melangkah setelah ini. Ribuan hari aku habiskan di balik jeruji besi. Mengukur sisa waktu yang ku miliki, berapa lama lagi aku bisa menghirup udara bebas?

Tapi sekarang lihatlah, setelah aku berada di alam bebas. Setelah aku lepas dari ruangan pengap itu aku justru tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa. Ku datangi rumah yang dulu ku gunakan untuk berteduh, rumah yang penuh dengan tawa dan tangis dari dua bocah perempuan yang secara samar masih bisa ku lihat parasnya. Tapi seperti apakah mereka sekarang, setinggi apakah mereka, dan bagaimana mereka menjalani hidup?

Rumah ini tampak kosong, lusuh, tak terawat. Saat ku pijakan kaki ke dalamnya, hanya perih yang ku rasakan. Begitu dingin dan mencekam. Aku masih ingat saat beberapa aparat menggrebek rumah ini, ada tangis yang menderai dari mulut kedua bocah itu, ada tatapan nanar dari matamu saat ku akui semua itu benar. Kau menamparku sekali di pipi, hal yang tak pernah kau lakukan selama kita bersama meskipun aku selalu kurang memberimu uang belanja. Tapi saat ku sodorkan tumpukan uang berwarna merah di depanmu, kau menghujamiku dengan ribuan pertanyaan tanpa henti. Aku hanya menjawab dalam kediaman dan gebrakan tanganku di meja. Membuat dua bocah itu ketakutan. Dulu aku tak berfikir kalian berarti bagiku. Dan kini semua begitu terasa pedih saat kalian tak lagi bisa ku jamah.

"Darimana kamu dapatkan uang sebanyak itu?"
"Darimana itu bukan urusanmu, yang penting kamu dan anak-anakmu makan!"
"Mereka anak-anakmu juga, aku nggak mau makan pake uang haram!"
"Ah....kamu itu bisanya ngomel doang. Kamu pikir cari duit itu gampang kaya' nyari daun di halaman rumah!"

Ada kerinduan yang mendera di sanubari ini, ada sesuatu yang hilang di dada ini. Membuatnya berlubang dan pedih. Seperti luka yang terus menganga dan membuatku sakit saat merabanya.

Ku dudukan diriku di kursi yang hampir roboh ini, di penuhi jaring laba-laba. Beralaskan debu, dimana dulu selalu aku menunggu kopi yang kau bawakan untukku.

"Ini kopimu, pahit nggak ada gula!"
"Kan aku kasih kamu duit, kamu kemanain?"
"Aku nggak mau sentuh tuh duit sebelum aku tahu darimana asalnya!"
"Ah....kamu ini banyak bacot. Udah untung aku mau kasih tuh duit!"

Kau malah berlalu menyibak tirai kain yang tergantung di pintu kamar, meninggalkanku denga, kopi panas pahit di depanku. Aku masih ingat ku dorong cangkir itu hingga jatuh berserakan di lantai dan ku langkahkan kaki meninggalkan pintu keluar rumah.

Itu semua terasa perih ku rasakan.

Aku tak sanggup lama berdiam di sini, entah kenapa ada butiran bening yang menjebol mataku. Ku bangkitkan diriku kembali dan melangkah keluar dari tempat ini. Tak tahu harus kemana aku bisa menemukan kalian. Tapi tetap saja ku paksakan kakiku untuk menapaki jalanan yang panas oleh terik matahari. Ku telusuri setapak demi setapak hingga aku berhenti di depan sebuah rumah bercat putih yang kini pun mulai mengusang.

Kulihat suara langkah kaki mendekatiku pelan. Aku menoleh, wajah seorang wanita dengan keranjang sayur di tangannya. Matanya menatapku pedih, menusuk hatiku hingga ke ulu. Aku masih ingat tatapannya saat di meja hijau. Begitu di penuhi kesabaran, aku juga masih ingat kalimat yang terlontar dari mulutnya yang teduh.

"Saya memaafkannya, hanya....saya ingin keadilan tetap di tegakkan!"

Hal itu membuatku hanya mendekam selama 15 tahun, bukan hukuman mati yang pernah di jeratkan padaku. Bagaimana bisa, dia memaafkanku sementara aku membunuh suaminya demi uang? Sedangkan saat itu dia sedang hamil tua, tatapannya yang teduh tanpa rasa benci membuatku semakin teriris.

Dia tak mengatakan apapun selain memberikan tatapan itu dan berlalu melewatiku memasuki rumah yang sedari tadi aku pandang. Ia memang tak melakukan apapun, tapi tatapannya seolah sebuah tamparan keras bagiku. Ku lihat dia hingga menghilang di balik pintu.

Apakah nanti jika aku bertemu dengan dua bocah yang pernah menggelayut pada kakiku saat merengek minta ku gendong, mereka juga akan menatapku seperti itu?

Aku tahu kata maaf tidak akan bisa menghapus semua dosa yang telah ku perbuat, hukuman di dalam penjara tidak akan mampu membangkitkan nyawa yang telah melayang. Dan tidak akan mengembalikan kepercayaan yang telah ternoda. Tapi aku ingin bersua, ingin tahu bagaimana mereka menjalani hidup selama aku harus terenggut ke dalam bui? Aku tak peduli jika mereka bahkan mungkin tak mengenaliku lagi. Apalagi sudi memanggilku ayah! Aku hanya ingin tahu bahwa mereka baik-baik saja, aku hanya ingin tahu bahwa mereka bisa hidup jauh lebih baik. Harapanku!

**********

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun