Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kasih Yang Hilang

19 Maret 2015   20:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:24 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kau malah berlalu menyibak tirai kain yang tergantung di pintu kamar, meninggalkanku denga, kopi panas pahit di depanku. Aku masih ingat ku dorong cangkir itu hingga jatuh berserakan di lantai dan ku langkahkan kaki meninggalkan pintu keluar rumah.

Itu semua terasa perih ku rasakan.

Aku tak sanggup lama berdiam di sini, entah kenapa ada butiran bening yang menjebol mataku. Ku bangkitkan diriku kembali dan melangkah keluar dari tempat ini. Tak tahu harus kemana aku bisa menemukan kalian. Tapi tetap saja ku paksakan kakiku untuk menapaki jalanan yang panas oleh terik matahari. Ku telusuri setapak demi setapak hingga aku berhenti di depan sebuah rumah bercat putih yang kini pun mulai mengusang.

Kulihat suara langkah kaki mendekatiku pelan. Aku menoleh, wajah seorang wanita dengan keranjang sayur di tangannya. Matanya menatapku pedih, menusuk hatiku hingga ke ulu. Aku masih ingat tatapannya saat di meja hijau. Begitu di penuhi kesabaran, aku juga masih ingat kalimat yang terlontar dari mulutnya yang teduh.

"Saya memaafkannya, hanya....saya ingin keadilan tetap di tegakkan!"

Hal itu membuatku hanya mendekam selama 15 tahun, bukan hukuman mati yang pernah di jeratkan padaku. Bagaimana bisa, dia memaafkanku sementara aku membunuh suaminya demi uang? Sedangkan saat itu dia sedang hamil tua, tatapannya yang teduh tanpa rasa benci membuatku semakin teriris.

Dia tak mengatakan apapun selain memberikan tatapan itu dan berlalu melewatiku memasuki rumah yang sedari tadi aku pandang. Ia memang tak melakukan apapun, tapi tatapannya seolah sebuah tamparan keras bagiku. Ku lihat dia hingga menghilang di balik pintu.

Apakah nanti jika aku bertemu dengan dua bocah yang pernah menggelayut pada kakiku saat merengek minta ku gendong, mereka juga akan menatapku seperti itu?

Aku tahu kata maaf tidak akan bisa menghapus semua dosa yang telah ku perbuat, hukuman di dalam penjara tidak akan mampu membangkitkan nyawa yang telah melayang. Dan tidak akan mengembalikan kepercayaan yang telah ternoda. Tapi aku ingin bersua, ingin tahu bagaimana mereka menjalani hidup selama aku harus terenggut ke dalam bui? Aku tak peduli jika mereka bahkan mungkin tak mengenaliku lagi. Apalagi sudi memanggilku ayah! Aku hanya ingin tahu bahwa mereka baik-baik saja, aku hanya ingin tahu bahwa mereka bisa hidup jauh lebih baik. Harapanku!

**********

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun