Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sayap-sayap Patah Sang Bidadari ~ Inheritance # Part 4

8 September 2014   15:56 Diperbarui: 9 Juli 2015   13:00 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Liana membuka matanya perlahan, ia mengerjapkannya beberapa kali untuk memperjelas pandangannya. Nampak langit-langit putih di atasnya, ia memutar bola matanya, seluruh ruangan itu terlihat putih bersih. Kepalanya masih sedikit pusing, ia merabanya. Terasa ada balutan perban di sekeliling dahinya. Jarum infus terasa menancap di punggung tanganya. Terasa sedikit ngilu. Ia memutar pandangannya ke sekeliling ruangan, tak jauh darinya nampak dua orang pria sedang berbicara. Ia mengenalinya, keduanya. Seorang pria tua yang hampir di tembak di parkiran, satunya lagi adalah yang berhasil mengejarnya dan hampir membawanya ke penjara. Tapi pria itu juga yang menyelamatkannya dari perbuatan biadab pria misterius itu. Liana mencoba bangkit. Nicky melihatnya, ia sedikit memiringkan kepalanya, membuat kakeknya menoleh ke arah Liana. William langsung menghampirinya. "Jangan banyak bergerak dulu, kau baru saja sadar" katanya melarang gadis itu. Liana kembali merebahkan dirinya. Nicky ikut menghampiri. Liana meliriknya. "Terima kasih, karena kalian sudah datang menyelamatkan kami!" serunya lemah. "Jangan berterima kasih. Kau mengalami semua kejadian itu karena menyelamtkan nyawaku. Jadi harusnya aku yang minta maaf!" seru William. "Anda tak perlu minta maaf. Saya sendiri yang berniat melakukan itu, jadi mungkin memang ini resikonya!" jawabnya. "o, iya...adik-adik saya...!" "Mereka baik-baik saja!" jawab Willy, ia melirik Nicky sejenak sebelum kembali menatap Liana dan melanjutkan kalimatnya, "kedua adikmu yang menjadi korban sudah di makamkan tadi pagi." "Tadi pagi?" desis Liana. "Ya, kau pingsan cukup lama. Hampir 24 jam!" sahut Nicky. Kesedihan kembali terpasang di wajah cantik yang masih pucat itu. Ada airmata yang menggelinding menuruni pipinya. "Maafkan kami karena datang terlambat, dan membuatmu kehilangan kedua adikmu!" seru William. Liana menggeleng pelan. "Mungkin memang takdirnya begitu! Aku tak menyalahkan siapapun!" jawabnya. "Kau sangat baik nak. Beruntung sekali yang menjadi orang tuamu!" "Sayangnya mereka tak berfikir begitu, aku bahkan tidak tahu siapa mereka!" katanya dengan nada yang sedih. "Akan ku panggilkan dokter!" kata William berdiri. "Biar aku saja kek!" "Tak apa, kakek mau ke toilet. Nanti kakek suruh seseorang, kau jaga saja Liana!" suruh kakeknya sambil berjalan keluar. Nicky memandang kakeknya hingga menghilang di balik pintu. Kini dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua. Nicky memandang gadis itu dalam. Liana menangkap tatapan itu, sorot matanya sulit untuk di baca. Nicky duduk di kursi di samping ranjang Liana. "Tempo hari kau menyelamatkan kakekku, kemarin kami juga menyelamatkanmu. Ku rasa itu sudah impas. Kau bahkan berhutang padaku karena aku tak membawamu ke kantor polisi kemarin!" katanya. "Aku tahu, tak perlu kau ingatkan!" "Bagus. Jadi jangan memasang wajah sedih di depan kakekku untuk menarik simpatinya!" Liana melebarkan matanya, "Kau jangan khawatir, aku tak punya niat seperti itu. Aku akan pergi setelah pulih!" Di awal mereka saling mengenalpun sepertinya pembicaraan mereka sudah mengarah ketidak cocokan karakter. Nicky memandangnya dengan senyum kecil yang mengintip di ujung bibirnya, membuatnya semakin terlihat tampan. Jujur, sebenarnya ia menikmati ekspresi Liana yang seperti itu. Ternyata terlihat lebih alami, gadis itu memiliki kulit coklat yang sedikit keemasan. Mungkin karena sering berjemur sinar matahari setiap saat. Tapi Nicky suka itu, dia terlihat eksotis. Dengan tubuhnya yang tinggi semampai, kaki yang panjang dan langsing meski Nicky belum melihatnya tanpa jeans. Tapi saat menggendongnya ke dalam mobil ia merasakan sesuatu yang aneh yang menyapu hatinya. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya pada wanita manapun, termasuk Ivana. Sikap Liana yang bisa menguasai diri dari tekanan yang sengaja ia ciptakan membuatnya jadi penasaran. Sepertinya gadis itu juga tidak akan mudah di rayu, nah.....itulah tantangannya. Ia tahu kakeknya akan membawa gadis jalanan ini ke rumah mereka karena dia belum aman tinggal kembali ke rumahnya yang kecil itu. Ia punya pikiran sedikit jahat, ia akan mencoba menekan gadis itu. Ia ingin tahu sampai dimana gadis itu punya kemampuan. Itu pasti menyenangkan. Sepertinya ia akan punya mainan baru di rumah. Tapi....di rumah mereka ada Rey. Sepupunya itu juga tak bisa melihat wanita mulus dikit. Liana menyadari tatapan Nicky padanya. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanyanya membuyarkan lamunan Nicky. "Tak apa!" sangkalnya. Liana memalingkan muka, di tatap seperti itu oleh pria di sampingnya membuat jantungnya berdegup kencang sekali. Apa yang ada dalam pikiran pria itu, sepertinya sesuatu yang tak baik. Liana menghela nafas panjang untuk menghilangkan kegugupannya. Semoga aja ada yang cepat masuk ke ruangan itu agar suasana tidak seaneh saat ini. Harapnya. Nikcy memajukan tubuhnya, masih duduk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Kedua telapaknya menyatu. "Hai!" panggilnya. Liana menoleh. "Kenapa kau harus mencopet, Bukankah banyak pekerjaan lain?" "Mana ada yang mau memberi pekerjaan pada seorang gadis jalanan, tidak perpendidikan, asal-usulnya tidak jelas. Kau pikir aku tak pernah mencoba!" jawabnya tegas. "Aku hanya bingung, kita tabrakan di pasar. Lalu kau tiba-tiba muncul menyelamatkan kakekku, setelah itu kau juga mencopetku. Itu....kebetulan sekali ya!" "Apa maksudmu?" Liana bangkit, mencoba duduk. Nicky tak menjawab, hanya memandangnya dengan tatapan selidik. "Kau pikir itu semua settingan, aku sengaja mencari mangsa atau bahkan kau akan menuduhku besekongkol dengan pembunuh itu?" "Siapa tahu!" "Kau.... Kau tidak punya perasaaan," airmata mengintip di matanya, " kau pikir kau sengaja membunuh anak-anak yang sudah seperti adikku sendiri. Teganya kau ....!" Liana tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia malah mencabut infus di tangannya dan meluncur turun dari ranjang. Sayangnya ia malah jatuh terjerembat ke lantai. Nicky langsung bangkit dan berlari memutari ranjang untuk membantunya. "Apa yang kau lakukan?" "Lepaskan. Aku tidak butuh bantuanmu!" teriaknya. "Kau masih lemah!" Nicky tetap menyentuh bahunya untuk membantunya berdiri, tapi Liana menyingkirkan tangan pria itu dari bahunya. "Jangan sentuh aku, kau sama bajingannya dengan pembunuh itu!" Pintu terbuka, dokter masuk bersama seorang perawat. "Ada apa?" tanyanya menghampiri mereka. Sang dokter menghampiri Liana dan membantunya berdiri, mendudukannya di ranjang kembali. Nicky hanya menonton. "Kau masih lemah nona, tak seharusnya kau lepas infusnya!" seru sang dokter. "Saya baik-baik saja dok, sepertinya saya harus pulang!" "Pulang!" seru seseorang di ambang pintu. Itu William. Semua menoleh, kakek Willy melangkah maju. "Kau mau pulang kemana? Kau tidak bisa tinggal lagi di sana, orang itu bisa datang kapan saja!" "Saya bisa tinggal di manapun!" "Dan membawa adik-adikmu juga, kau tidak kasihan dengan mereka?" O iya, mereka! Liana terdiam. William melihat mata Liana yang sembab, lalu ia melirik Nicky. Ia tahu pasti Nicky berbicara yang tidak-tidak. Nicky kakek mau bicara denganmu!" katanya melangkah keluar, Nicky mengikutinya. Sementara Liana kembali di urus oleh dokter. Mereka duduk di bangku di depan ruangan. "Nicky, apa yang kau katakan padanya?" "E... Tidak ada, hanya pembicaraan kecil!" "Nicky, kakek mengenalmu. Saat ini dia masih belum stabil, dia bahkan melihat adiknya terbunuh di depan matanya. Dan itu karena dia mnyelamatkan kakek. Kakek berhutang padanya seumur hidup. Dia menyelamatkan satu nyawa tapi dia harus menebusnya dengan dua nyawa. Apakah kau tidak mengerti itu?" Nicky hanya diam. Ia mengerti itu, ia hanya ingin menggodanya. Malah jadi seperti ini! Huh.... Tapi sedikit menyenangkan. Dia bukan tipe wanita yang pasang harga murah, justru ....sangat jual mahal. Atau memang semahal itu hatinya? "Kakek ingin kau bersikap baik padanya, hanya itu yang perlu kau lakukan!" kata kakeknya lalu berdiri dan berjalan kembali ke dalam ruangan. Liana duduk masih di ranjang. Menunduk. William menghampirinya dan dudum di sampingnya. "Cucuku!" sapanya. Liana mendongak. "Kakek harap kau tak mengambil hati semua yang Nicky katakan. Dia memang seperti itu, tapi sebenarnya dia baik!" kata Willy. "Mungkin yang dia katakan benar!" "Liana, kakek ingin kau tinggal di rumah kakek!" Sekarang Liana membulatkan mata. "Kau tidak lagi aman tinggal di rumahmu itu, soal adik-adikmu. Kau jangan khawatir, kakek akan mencarikan orang tua yang baik untuk mereka!" "Maksud kakek?" "Mereka butuh sosok orang dalam kehidupan mereka. Saat ini kau tak mungkn merawat merawat!" "Tapi kek....!" "Kau tak perlu khawatir, kakek akan jamin mereka mendapat kehidupan yang baik dan layak. Kau juga masih bisa bertemu mereka!" Liana menunduk. Apakah ini yang terbaik, tapi bukankah mereka adaalh tanggung jawabnya. Tapi mungkin dengan begitu mereka bisa mendapat masa depan yang baik. Kakek Willy orang yang baik, dia pasti tidak akan bohong. "Aku akan menyuruh polisi menjaga kamarmu, takutnya pembunuh itu akan datang lagi!" Liana hanya diam memandangnya, "kakek akan pulang, besok pagi kakek akan ke sini lagi!" ungkapnya. "Aku jadi tidak enak karena banyak merepotkan kakek!" "Jangan berkata begitu. Kakek sangat bersyukur Tuhan mengirimmu dalam kehidupan kakek!" jujur William. Pria tua itu menyentuh rambut Liana lembut, menguapnya dengan kasih. Tanpa terasa sebutir airmata jatuh dari pelupuk mata Liana. Itu pertama kalinya ia merasakan ada yang membelainya seperti itu. Belaian kasih sayang dari orang tua yang ia sudah tak ingat lagi bagaimana rasanya. "Tak perlu menangis. Semua akan baik-baik saja!" kata Willy dengan lembut. Tapi bukan itu yang membuat Liana menangis. Ia tak khawatir dengan apapun yang akan terjadi. Ia menangis karena belaian itu. Belaian yang bahkan ia tak berani untuk memimpikannya. Belaian keluarga. Liana menghapus airmatanya dan mencoba tersenyum. "Ya, semua akan baik-baik saja!" jawabnya.

********

Part 5

( Trilogi ) Sayap - sayap Patah sang Bidadari ~ Inheritance ( First novel ) Tayang ; Senin, Rabu, & Jum'at cast ; 1. Liana 2. Nicky 3. William 4. Reynald 5. Lisa 6. Jaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun