Aku terus berlari kencang menghindari kejaran para polisi yang melemparkan tembakan padaku. Meski kaki kananku terus mengalirkan darah karena sebuah timah panas telah menembusnya beberapa menit lalu. Kakiku itu terasa ngilu dan perih sekali, tapi aku tak boleh menyerah. Jika aku tertangkap
aku tak akan bisa memenuhi janjiku pada Fitri.
Hari ini kami akan bertemu di aula Masjid di dekat rumahnya, setelah hampir sebulan aku bersembunyi dari incaran polisi. Tiga bulan lalu saat aku mengerjakan tugasku untuk menghabisi nyawa seorang anggota Dewan, tapi aku tak berhasil membunuhnya. Peluruku hanya menyerempet lengannya, bahkan aku yang hampir mati di tembaki oleh para bodyguardnya. Untungnya aku berhasil lolos. Saat aku mencari tempat untuk bersembunyi aku bertemu dengan seorang gadis berjilbab yang mampu menyihirku dengan tutur katanya yang indah. Aku sering bertemu orang seperti mereka, tapi tak ada yang mampu menggetarkan hatiku seperti dia.
Tiga bulan aku tinggal di kampungnya, mengenalnya lebih jauh membuatku malu pada diriku sendiri. Diam-diam aku berjanji bahwa aku akan meninggalkan pekerjaan kotorku demi Fitri. Aku tahu kami saling mencintai, tapi sekarang aku malah takut meminta cintanya yang suci. Ku putuskan untuk pergi dari kampungnya. Aku belum berani memberitahukan jati diriku, aku hanya pamit padanya dengan alasan mau kembali bekerja di Jakarta sebagai agn properti. Sekali lagi aku berbohong padanya, tapi aku masih belum punya nyali jika dia harus tahu siapa aku sebenarnya sekarang. Aku bilang bulan depan, tepat hari kamis aku akan kembali. Dan menemuinya di aula Masjid.
Aku memang kembali ke Jakarta, dan mencoba mencari pekerjaan baru yang halal. Hanya untuk bisa membeli sebuah cincin yang akan aku persembahkan untuknya. Ku harap ia mau menerimanya. Sebulan aku bekerja sebagai kuli bangunan dengan memakai kumis dan brewok palsu, awalnya lancar dan aman. Tapi pada akhirnya, kedokku terbongkar. Salah satu teman kerjaku yang merasa anh dengan gerak-gerikku jika ada polisi mengikutiku diam-diam. Di memergokiku melepas kumis dan brewok palsuku, ia mengenali wajahku sebagai buronan polisi. Seorang pembunuh bayaran kelas kakap yang tak mengenal ampun. Sebelum polisi datang aku menyambar kotak cincin di atas meja dan kabur dari mess. Sayangnya polisi behasil mengejarku, aku terus berlari hingga jauh. Berharap tidak ada timah panas yang menembus jantung atau kepalaku.
Hanya kakiku yang sekarang pincang oleh peluru, darah masih menetes. Aku berlari di semak-semak hutan, menyeberangi sungai untuk bisa mencapai kampung Fitri. Aku barharap aku masih bernapas ketika sampai di sana, dan semoga saja Fitri bersedia menungguku di aula meski dia sudah tahu siapa aku. Tentu, teman kerjaku sesama kuli salah satunya berasal dari kampung Fitri. Begitu dia tahu siapa aku sebenarnya dia pasti menghubungi keluarga Fitri.
Aku hampir sampai, bertahanlah Fajar! Desisku pada diri sendiri. Tak ku sangka beberapa polisi tak lelah mengejarku, dan sebuah tembakan meletus. Aku merasakan sebuah benda kecil panas menembus punggungku. Aku tersungkur, tapi aku tetap berusaha bangkit. Aku tak ingin mati di sini, aku harus menemui Fitri. Setidaknya aku harus menepati janjiku untuk datang ke aula sebelum aku meringkuk di jeruji besi atau bahkan sebelum aku mati kehabisan darah. Aku kembali berlari meski dengan tubuh yang terhuyung, pandanganku berkunang-kunang. Aku bisa melihat api neraka sedang mengejarku, siap melahabku mentah-mentah. Tapi aku tidak akan menyesal asalkan aku bisa bertemu dengan Fitri. Setidaknya aku menghabiskan empat bulan terakhir dalam persembunyian dengan sedikit melakukan kebaikan bagi para warga. Kata Fitri jika kita bersedia bertobat dengan sungguh-sungguh maka Allah akan membukakan pintu maafnya. Bulan-bulan terakhir ku gunakan dengan memperbanyak ibadah dan solat. Aku bahkan tak pernah menyentuh lagi semua uang yang aku dapat selama ini sebagai pembunuh bayaran. Semoga pintu taubat masih tersisa untukku.
Aku bisa melihat Masjid Jami' al Huda. Masjid yang ada di kampung Fitri, aku berlari ke sana. Tapi dadaku sesak sekali, nafasku tercekat. Ku lihat ada banyak orang di Masjid, sebuah timah panas kembali menembus kulitku, di punggungku kembali. Aku terhenti, diam mematung karena tak bisa merasakan tubuhku lagi. Aku jatuh berlutut dan ku lihat seorang gadis saleha keluar dari Masjid, menatapku dengan tatapan yang tak sanggup aku baca. Ku rasakan tubuhku meluncur roboh ke tanah, darah mengalir dari punggungku. Ku rasakan beberapa langkah kaki mendekat, seorang pria tua memungut kepalaku. Itu Abah Fitri, pak Haji Mansur.
Ku lihat Fitri duduk di sebelahku, airmatanya mengalir deras.
"Pak Haji...., saya minta maaf. Karena selama ini...saya telah berbohong atas jati diri-saya. Maafkan saya, saya telah membuat semua orang kecewa!"
"Nak Fajar, semua manusia itu tak ada yang tak lepas dari khilaf. Dan pintu tobat selalu terbuka bagi siapapun yang mau bertaubat!" seri Haji Mansur.