Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sayap - sayap Patah sang Bidadari ~ Inheritance #Part 25

6 November 2014   23:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:26 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Urusi saja hatimu sendiri!" desis Nicky lalu melangkah.

Nicky berlalu setelah mendengar ocehan Daren, tapi ia sendiri tak yakin dengan langkah kakinya kali ini. Ia berjalan pelan, tanpa meninggalkan suara. Jantungnya mulai bernyanyi lagi, berpacu kencang seperti derap kaki kuda yang berlari. Ia merasa lidahnya mulai kelu.


Nicky menghentikan langkahnya, memandang sosok yang tak jauh darinya. Apakah ia akan menyapanya, Atau pergi saja?

Daren sialan! Pintar sekali memancing orang.

Liana memutar tubuhnya, gerakan terhenti melihat Nicky tak jauh darinya.

Apa yang di lakukannya di sini?

Mata mereka bertemu, saling menyapa dalam diam. Ada sesuatu yang mendesir di hati keduanya, tatapan Nicky kali ini di rasakan Liana lebih lembut daripada lirikannya pagi tadi.

Apalagi yang akan di lakukannya? Apalagi yang akan di katakannya? Apa kau tak bisa berhenti bersikap kasar padaku sedikit saja?

Liana menurunkan pandangannya sampai ke kakinya sendiri. Di tangan kanannya masih ada gunting yang ia gunakan untuk menggunting dedaunan tadi. Ia sedikit mengangkat kepalanya lalu berjalan pelan ke arah Nicky, tapi agak menyamping. Saat gadis itu melewatinya persis di sampingnya, tangan Nicky meraih lengannya. Kali ini lebih lembut, tak seperti semalam.

Liana terhenti,

"Aku ingin bicara!" desis Nicky.

Liana tak menyahut. Daren melihat dari jauh, akhirnya...... Nicky melangkah juga ke arah gadis itu. Semoga ini akan menjadi awal yang baik. Daren pun masuk kembali ke dalam, tak ingin mengganggu meski dari jauh.

Keduanya duduk di kursi panjang yang tersedia di pinggir taman, masih diam. Hening, semilir angin berhembus sayu. Matahari tidak terlalu terik, sudah mulai condong ke barat. Rambut panjang Liana yang tergerai menari-nari terbawa sang bayu. Nicky melirik, wajah gadis itu yang tirus sekilas mirip sekali dengan boneka barbie, tapi kebanyakan barbie berkulit putih bukan coklat. Liana juga melirik, ia menyadari tatapan pria di sampingnya itu.

"Kau bilang ingin bicara, katakanlah. Jika hanya melirikku seperti itu mana aku tahu kau mau bilang apa?" dengus Liana.
"E......, aku.....aku....!"

Damn! Kenapa dengan lidahku?

Liana sedikit memutar tubuhnya, menatapnya.

"Kau kenapa?"

Nicky menoleh. Membalas tatapan itu, banyak yang ingin ia lontarkan. Tapi mulutnya malah terasa kaku sekali, banyak yang ingin ia bicarakan. Tapi entah kenapa sekarang ia malah merasa kehabisan kata-kata. Perasaan seperti itu....tak pernah ia kenal sebelumnya. Sekian banyak gadis yang bersamanya tak satupun yang mampu membuatnya terbungkam saat berdekatan.

Lama mereka berpandangan dan sepertinya tatapan itu sudah mewakili semua kata-kata yang tak mampu terucap. Tapi sesungguhnya, Liana ingin mendengar Nicky mengucap sesuatu. Sesuatu yang lebih lembut, sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman setiap kali mereka berdua.

Nicky mengalihkan pandangannya, menatap bunga-bunga yang bermekaran indah. Kupu-kupu yang melayang-layang di atasnya.

"Taman ini....!" desisnya mulai mengeluarkan suara. Liana bersiap mendengarkan.
"Taman ini dulu kakek buat untuk nenek, beliau sangat suka merawat bunga. Menghabiskan sore di antara mereka selagi kakek berada di kantor. Dulu....., saat aku masih kecil. Aku sering ikut bermain bersamanya, menangkapi kupu-kupu dan kumbang!" suara Nicky terdengar syahdu, ia bercerita dengan hati. Dari ekspresi wajahnya, Liana tahu pria itu sedang membayangkan neneknya yang bermain bersamanya bertahun yang lalu.

Seulas senyum kecil terpajang di wajahnya. Membuatnya terlihat sangat tampan.

"Tapi pada akhirnya.....aku pasti akan merusak pohon bunganya. Tapi dia tak pernah marah padaku, sejak nenek pergi.....taman ini hanya di urus oleh tukang kebun. Tapi kakek meminta agar taman ini jangan sampai mati, karena tempat ini.....adalah tempat favorit nenek untuk menghabiskan waktu luang!"

Liana masih diam mendengarkan, ia melihat mata pria itu mulai basah. Tapi dia tak menangis,

"Hari ini aku melihatmu....., di sini. Aku seperti sedang melihat nenek, aku tidak tahu.....kau muncul tiba-tiba dalam kehidupan kami. Semua yang kau lakukan......menyerupai perbuatan nenek. Ku rasa....itu sebabnya kakek tak mau kehilanganmu!"

"Aku tak pernah melihatnya tertawa seperti dulu, dan kau....membuatnya tertawa!"

Mereka kembali diam.

"Terkadang.....aku bertanya sendiri. Siapa kau sebenarnya?" Nicky mengatakan itu sambil monoleh gadis di sampingnya.

Liana tak mampu menjawab. Nicky bertanya siapa dirinya, ia sendiri tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

"Siapa kau?" desis Nicky kembali.
"Aku tidak tahu," jawab Liana.

Mereka masih saling memandang.

"Sampai detik ini, aku bahkan tak tahu siapa diriku. Dan rasanya......aku tidak mau tahu, semakin aku ingin tahu.....kepalaku rasanya mau pecah." Liana mengalihkan pandangannya. "aku sudah tak ingin tahu lagi, itu saja!"

Nicky menghela nafas.

"Jujur.....,aku senang melihat kakek tertawa lagi. Rumah ini tidak sepi lagi!" serunya dengan senyum yang mengeluarkan suara kecil seperti sebuah tawa.
"Aku tak pernah mendengarmu tertawa," sahut Liana.

Nicky menoleh,

"Seperti kakek, kau lebih sering menampakan wajah yang menyeramkan yang membuatku merinding melihatnya!" sambung Liana. Ia mencoba membuat suasana jadi lebih baik.
"Kau pikir aku hantu!"
"Lebih menyeramkan dirimu ketimbang hantu."

Liana mengeluarkan tawa kecil, Nicky ikut tertawa. Sederhana, tapi sangat merdu dan indah.

******

William duduk di ruang tamu bersama seorang wanita yang usianya sekitar awal 40-an.

"Saya sangat senang karena anda masih mau meluangkan waktu di sela kesibukan anda!" seru William.
"Kebetulan belakangan saya tidak terlalu sibuk, terus terang saya sangat terkejut saat anda menghubungi saya secara langsung. Tapi.....siapa yang akan menjadi murid saya? Apakah anda sudah punya cicit?" tanya Miss. Veronika.
"Cicit?"
"Ya....mungkin dari salah satu cucu anda. Tai....kok saya tidak tahu pernikahannya?"
"Bukan cicit, aku belum memilikinya satupun!"
"Lalu?"
"Aku punya seorang cucu yang pernah putus sekolah. Biasanya jam segini dia akan ngobrol denganku atau membaca buku tapi.....entah kenapa kok hari ini aku tak melihatnya di sekitar rumah. Biarkan Jaya mencarinya dulu, tidak apakan anda menunggu?"
"Oh....tidak apa-apa!"

Sementara Nicky dan Liana masih ngobrol di taman bunga, mereka berada di antara bunga-bunga. Liana mencium sebuah mawar jingga, baunya harum sekali. Nicky ikut meraba mahkota yang bertebaran indah di depannya, sesekali ia akan melirik gadis yang di sampingnya. Saat memperhatikan mawar jingga itu, Liana melihat seekor ulat daun tanpa bulu. Lucuu....sekali.

Nah.....tiba-tiba muncul ide usilnya, ia memungut ulat daun itu. Berjalan pelan dan langsung meletakkan ulat kecil itu di punggung telapak tangan Nicky. Nicky terkejut, ia menatap ulat kecil itu yang mulai bergerak, lalu dengan spontan ia mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir ulat itu daei tangannya sambil berteriak. Liana mulai tertawa melihat sikapnya.

Ulat itu terlempar daei tangannya, tapi bukan menjauh malah menempel di pundaknya. Nicky semakin panik dan menyapu pundaknya dengan tangan berkali-kali hingga ulat itu terjatuh ke tanah. Liana terlingkal-pingkal melihatnya. Nicky menyadari tawa yang keluar daei gadis itu, ia menatapnya tajam. Seketika Liana berhenti tertawa, tapi sebenarnya tawanya masih ingin pecah. Ia berusaha menahannya.

"Kau....kau sengaja mengerjaiku?" desis Nicky.
"Wajahnya tadi seperti anak kecil."
"Apa!"

Sepertinya Liana tahu Nicky akan menghampirinya lalu.....memukul kepalanya mungkin. Ia segera berbalik dan lari. Nicky mengejarnya,

"Tunggu, jangan lari. Awas kau....!" ancamnya.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan, Memukulku?" goda Liana tanpa menoleh.
"Lihat saja nanti!" balas Nicky yang terus mengejar semakin cepat di sela bunga-bunga. Ada tawa yang keluar dari mulut Liana, menambah keceriaan saat itu.

Mereka masih kejar-kejaran, seperti kupu-kupu yang juga bermain tak jauh dari mereka. Tiba-tiba kaki Liana terpeleset dai tanah basah bekas siraman air saat menyiram bunga tadi. Ia hampir jatuh kalau saja Nicky tak mempercepat langkahnya dan menangkap tubuhnya dari belakang. Pandangan mereka kembali bertemu, lebih lembut, lebih mesra.

Desiran angin bernyanyi, gesekan dedauan, bunga-bunga menjadi lagu yang indah dan romantis yang mengiringi debaran yang muncul di hati keduanya. Perlahan Nicky membantu Liana berdiri ke atas kakinya. Diam untuk beberapa saat, suasananya sangat menyenangkan. Akan lebih menyenangkan lagi jika di habiskan untuk melakukan sesuatu.

"Mau berdansa?" tawar Nicky.
"Ha!" seketika Liana memandangnya.

Aneh kenapa Nicky mengajaknya berdansa? Tidak ada musik dan mereka sedang di taman bukan di ruang dansa atau pun pesta.

Liana sedikit tertawa, "Jangan bercanda?" desisnya.
"Anginnya bernyanyi, begitupun bunga-bunga. Semua kupu-kupu.....juga sedang berdansa di atas mahkota yang indah. Apa yang kurang?" desis Nicky.

Liana menatapnya dalam, sore ini Nicky begitu berbeda. Dia jadi sangat hangat dan menyenangkan. Pelahan Nicky mendekat, menaruh tangan kanannya di pinggang Liana. Tangan kirinya meraih jemari Liana, menyatukannya dengan miliknya. Gadis itu hanya diam, mengikuti gerakan yang mulai Nicky ciptakan. Perlahan tangan kirinya naik dan jatuh di pundak kanan Nicky. Mereka bergerak seirama.

Nicky benar, dedaunan mengalun. Begitupun desiran angin, kupu-kupu menari. Bunga-bunga bernanyi, lalu apa yang kurang?

*****

Jaya mencari di sekitar rumah, bahkan sampai ke ruang kerja Nicky. Tapi tak jua menemukannya, ia juga tak melihat Nicky di sekitar rumah, padahal mobilnya ada di garasi. Jaya melihat Daren yang sepertinya baru selesai menelpon seseorang. Ia berjalan ke arah dapur,

"Maaf, tn. Harlys!" sapa Jaya.

Daren berhenti dan menoleh.
"Ya!"
"Apakah anda melihat Nona Liana atau....tn. Muda Nicky?"
"Oh....mereka. Ku rasa mereka sedang ngobrol serius di taman belakang!"
"Terima kasih!" seru Jaya lalu menyingkir.

Ia berjalan ke belakang, celingukan mencari keduanya. Ia berjalan ke taman, harus melewati kolam renang dulu, ada beberapa pohon palma sebelum sampai ke kebun bunga. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat apa yang ada di pemandangannya. Kedua orang yang di carinya sedang berdansa di antara bunga-bunga dan kupu-kupu. Mata mereka tak lepas satu sama lain, saling memandang dengan intim. Seperti ada sesuatu yang mulia mengikat mereka. Jaya tersenyum melihatnya.

Sebenarnya ia tak ingin mengganggu tapi hal ini juga penting. Ia pun melangkah mendekat, tepat saat Nicky mendekatkan wajahnya ke arah Liana.

"He'em!" serunya.

Keduanya yang sudah hampir sampai menyatu langsung melonjak dan saling melepaskan diri. Menoleh ke arah Jaya dengan sikap kikuk.

"Maaf, mengganggu. Tapi....tn. Besar menunggu anda Nona!" serunya.
"Kakek?" desis Liana.

**********

Trilogi Sayap - sayap Patah sang Bidadari ~ Inheritance ( first novel )

Tayang setiap dua kali seminggu, Senin dan Kamis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun