"Aku minta maaf, karena datang padamu dengan cara seperti ini. Kau yang memutuskan pergi dariku tanpa aku tahu alasannya. Tapi aku tahu, apa yang kau ucapkan 7 tahun lalu......semuanya bohong!" ungkap Randi.
Airin masih diam.
"Kau tidak suka aku bohong padamu kan, lalu kenapa kau bohong paraku? Tentang perasaanmu, tentang apa yang terjadi....., itu juga cukup menyakitkan. Kecelakaan itu....., adalah kecerobohanku. Keluargaku memutus kontak dari masalalu karena aku koma, mungkin....lebih dari setahun."
Airin mendongak, menatapnya.
"Aku sempat duduk di kursi roda tapi aku tak ingin seperti itu, pada akhirnya aku bertekad rutin menjalani terapi. Setelah aku mulai bisa menggunakan tongkat, aku mulai mencari informasi tentangmu. Sangat sulit, kau menghilang setelah wisuda. Aku...., aku tahu apa yang papaku lakukan terhadap keluargamu, aku ingin minta maaf tentang hal itu. Mereka sudah menyadarinya!"
"Dan kenapa kau yang harus minta maaf, aku hampir saja kehilangan ayahku di penjara karena perbuatan papamu. Aku lebih rela diriku yang di sakiti, asal jangan orangtuaku!" airmata menetes dari pelupuknya. "aku mencoba melupakannya, mungkin aku sudah memaafkan papamu tapi untuk melupakan hal itu...., itu sangat sulit!"
"Tapi kau masih mencintaiku kan?"
"Aku tidak tahu, yang aku tahu....., aku hanya ingin tahu kalau kau masih hidup dan baik-baik saja. Tidak lebih dari itu!"
"Begitukah?" desis Randi meragukan pernyataan Airin.
Airin mencoba menghapus airmatanya, tapi kembali mengalir.
"Apa kau tak ingin memberi kesempatan untuk kita berdua. Untuk cinta kita?"