[caption caption="jalanan ibukota, http://papasemar.com"][/caption]
Â
Dekil-dekil kaki menapaki, kelok-kelok ciut riuh jalan, terik, debu, gigil, seolah teman setia di setiap suka dan duka, tengadah tangan membuka, harapkan keping perak kepedulian, suara-suara serak, sumbang, kering, di alunkan, membentuk nada-nada sederhana, yang sering tak terhirau,
Rupiah demi rupiah, di kais dengan peluh, dengan caci, hanya tuk sebutir nasi, yang kan sambungkan tali nafas, tuk sekedar bertahan hidup, (pengamen jalanan)
Redup rembulan menyaksi, tubuh-tubuh layu mendayung, mengail, menjala, di tengah terjang ombak, di bawah temaram gemintang, melawan kantuk, berteman pasang, berkawan riak, demi jiwa-jiwa yang menanti, menanak serantang nasi, tuk tetap berdiri, menanti datang hari, berharap suatu nanti, kelayakan menghampiri, (nelayan)
Alir peluh mengembun, basahi lelah tubuh, di bawah terik, di antara gerimis, dalam ayunan cangkul-cangkul tua, tanamkan sebenih biji, harapan nyawa-nyawa letih, pengabdi tanah negeri,
Memupuk asa di tiap setumbuh kuncup, menyiangi ladang-ladang, sepetak sawah, dimana mereka gantungkan tali-tali tuk sambut esok, gusar, gamang, menunggu tuai hasil berbudi pada tanah pertiwi, yang kian tergerus para importir, tak terpeduli, kian hari kian tergelincir, dalam negeri sendiri, (petani)
Itu, hanya segelintir, dari jiwa-jiwa yang masih terpelintir, oleh mulut-mulut satir, sang punggawa negeri yang terus mungkir, mungkin, sampai terjungkir, berpikir-pikir,
Kapankah, berakhir...?
Â
__________-#-__________