XILI'S DIARY
CHAPTER 43
SMILE
Aku yang tengah duduk di sofa menoleh ketika pintu depan apartemen kami terbuka. Ternyata aku melihat Aqian, setelah rasanya lama sekali tidak melihatnya, padahal dia menghilang tidak sampai dua bulan.
"Aqian!!!" seruku senang, berlarian untuk memeluknya.
"Xili! Aku kangen padamu!" teriaknya, balas memelukku.
Pintu kamar Yifang jie menjeblak terbuka, lalu aku merasakan ada yang berlari menubruk kami.
"Aqian! Syukurlah kau sudah pulang! Apartemen sepi sekali tanpa kau yang hobi ngomong!" seru Yifang jie, sudah mulai menangis.
Mendengar Yifang jie yang menangis, kami jadi ikutan menangis, semuanya terharu. Kami mengobrol di kamar Aqian, yang selalu dibereskan Yifang jie atau Ryeowook oppa saat mereka punya waktu luang. Aqian senang sekali melihat kamarnya bebas debu, seolah dia tidak pernah menelantarkan ruangan ini.
"Aih, selamat, Yifang. Akhirnya Yesung oppa memaafkanmu. Sekarang semua rasanya tenang kembali," ujar Aqian penuh rasa syukur.
"Tidak tenang sepenuhnya sih. Manshi masih suka ribut dengan Shindong oppa," celetukku.
"Mereka mah tidak usah kau beritaupun aku tau, Xili. Tapi selama mereka masih ribut, aku justru merasa tenang, karena itu artinya mereka masih saling mencintai."
"Iya juga sih, hahaha..."
"Oh ya, Geng oppa kekurangan tenaga pelayan semenjak kau kabur, jadi aku mengizinkan Xili menggantikan kau disana. Sekarang setelah kau kembali, apa kau juga mau kembali ke resto?" Tanya Yifang jie.
Aku terkesiap dan tidak rela. Aku sebenarnya ingin bertemu Hangeng oppa setiap hari, tapi sekaligus aku tidak boleh egois. Ini kan sebenarnya pekerjaan Aqian?
"Sepertinya aku tidak bisa kembali ke resto lagi. Semester ganjil ini aku berencana mengambil kuliah yang lain lagi, jadi aku mau kuliah sekaligus dua. Aku mau ambil jurusan bisnis," jawab Aqian.
"Apa? Kenapa tiba-tiba kau mau kuliah lagi, Aqian?" tanyaku heran.
"Soalnya hanya dengan kuliah bisnis, aku kelak bisa membantu Siwon oppa untuk mengurus Choi Company yang banyak usahanya itu. Besok kami akan sama-sama ke kampus dan menanyakan prosedur kuliahnya di kampus kita."
"Hebat sekali, Aqian. Tapi apa kau bisa bagi waktu antara kuliah sekaligus dua jurusan begitu? Jurusan pianomu baru akan masuk semester tiga nih."
"Makanya kami akan Tanya apakah aku bisa ikut kuliah online, hanya beberapa kali masuk kelas, itupun dibagi antara waktu kosong di jadwal kuliah pianoku, lalu beberapa di malam hari."
"Kurasa bisa deh. Kampus akan memberi segala kelebihan untuk Siwonnie oppa," ucap Yifang, "keputusan yang bagus untuk kuliah di jurusan itu."
"Benar. Tunjukkan pada Choi ahjussi kalau kau mampu, Aqian," dukungku sambil menepuk bahunya.
"Pasti dong. Besok malam juga aku mau bertemu dengannya lagi. Kali ini aku tidak akan membiarkan dia menginjak martabatku," tekad Aqian.
"Jangan khawatir, dia toh akhirnya, mau tidak mau harus menerimamu sebagai menantunya. Lagipula, Siwon oppa tidak akan meninggalkanmu."
"Xili benar. Ngomong-ngomong kau perlu cerita pada kami bagaimana bulan madumu di Macao," tuntut Yifang jie, "kau pasti senang, eh? Berduaan begitu dengan Siwonnie oppa... apa kalian sudah melakukan ini dan itu?"
"Ini dan itu apa sih? Oh ya Xili, jadi kau masih bisa terus bekerja di ZhongHan House," Aqian mengalihkan pembicaraan.
"Gomawo, Aqian. Tapi kembali lagi ke topic. Aku juga mau tau apa-apa saja yang kau dan Siwon oppa lakukan di Macao," tuntutku.
"Apa-apaan kalian ini? Aku kan sudah mengirimkan foto-foto."
Tapi aku menikmati memojokkan Aqian malam itu bersama Yifang jie, dan senangnya lagi, Aqian adalah tipe orang yang gampang dipancing, jadi kami bisa tau betapa bahagianya Aqian disana, dan bagaimana "bulan madu" (atau kawin lari?) mereka itu membuat hubungan mereka makin dekat. Aku juga yakin bahwa Aqian benar-benar sudah melupakan Hangeng oppa. Sedangkan aku? Sudah berhasilkah aku melupakan bayangan Donghae oppa? Siapkah aku menghadapi debaran hatiku yang lain?
"Jadi Meifen tidak akan kembali kesini?" Tanya Hangeng oppa heran begitu besoknya aku melaporkan keadaan Aqian.
"Iya. tapi apa oppa keberatan aku menggantikannya bekerja disini?" aku balik bertanya.
"Tidak... tidak masalah. Kau juga bekerja dengan sangat cekatan, Xili. Aku malah bersyukur aku menemukan pengganti Meifen yang tepat seperti dirimu."
"Ne. gomawo, oppa."
Benar, aku harus berusaha dengan baik supaya bisa menggantikan Aqian. Lihatlah Hangeng oppa, aku akan berusaha!
"Xili, kau tidak perlu membantuku membereskan dapur lagi. Ini sudah malam, pulanglah."
Aku melirik jam dinding yang saat itu sudah jam 12 lewat 5 menit tengah malam. Rekan sekerjaku yang terakhir bahkan sudah pulang jam 12 tepat. Tapi dapur berantakan sekali karena ledakan pelanggan hari ini, jadi aku kepingin membantu Hangeng oppa sebentar lagi.
"Sebentar lagi juga tidak apa-apa, oppa. Lagipula aku menunggu Leeteuk oppa yang akan sekalian menjemputku pulang."
"Oh, Leeteuk hyung akan sekalian mengantarmu pulang? Baguslah kalau begitu. Terima kasih untuk bantuannya, Xili."
Aku tersenyum. Entah kenapa aku sangat rela membantu Hangeng oppa. Jujur saja, dalam hatiku, aku masih menyimpan perasaan cinta terhadapnya. Dan ponselku berbunyi. Aku menariknya dari dalam saku jeans-ku. Leeteuk oppa.
"Yoboseyo, Leeteuk oppa... ng? tidak bisa? Apa? Zhoumi oppa? Ah, tidak perlu, oppa, aku bisa pulang sendiri. Benar kok, tidak enak merepotkan Zhoumi oppa... aku janji aku akan menelepon oppa kalau aku sudah pulang. Baik, aku naik taksi," ucapku pada ponselku, "iya, oppa. Terima kasih."
"Leeteuk hyung tidak bisa menjemputmu?"
"Ne, oppa. Tiba-tiba dia harus mengurus pasien gawat darurat. Tidak apalah, aku naik taksi saja."
"Tidak aman. Aku masih ingat kejadian Meifen dan aku tidak mau ambil resiko kejadian yang mirip menimpamu. Aku akan mengantarmu."
"Tapi oppa, aku akan menjaga diriku, aku..."
"Tidak. Aku tidak mau ambil resiko, dan bukan sekali saja kalian mengalami hal seperti ini. Yifang pernah diganggu di bar, Meifen pernah diculik, kau juga pernah terlibat masalah. Aku tidak berani bertanggungjawab pada Yifang kalau terjadi sesuatu padamu."
Nada bicara Hangeng oppa sangat protektif. Entah kenapa, mendengarnya hatiku jadi senang. Dia berdeham sekali dan tersenyum.
"Setuju kan? Tolong tutup pintunya dulu dan tunggu aku di depan ya. Aku mau ke atas dan bersiap sebentar."
"Ne, oppa," ucapku.
Aku melihat Hangeng oppa pergi ke lantai atas, sedangkan aku menutup pintu resto, setelah memastikan segalanya sudah rapi. Aku sedikit berharap, Hangeng oppa mau sekali lagi membuka pintu hatinya untukku. Lamunanku pecah tiba-tiba karena mendengar bunyi ledakan yang cukup keras dari belakangku. Aku kaget dan melihat ada sesuatu yang bercahaya di dalam resto, dari jendela di luar. Pikiranku macet sesaat, tapi kemudian aku baru sadar: di dalam sana itu ada api!
"Hangeng oppa!"
Aku mendengar bunyi gedubrakan, lalu panic. Api... api, bagaimana ini? Hangeng oppa di dalam! Aku mencari kunci pintu depan resto dari saku jeans-ku dengan sangat panic. Kenapa ketika kunci itu dicari dalam keadaan genting, aku malah tidak mendapatkannya? Apa Hangeng oppa tau ada api di dalam sana? Atau Hangeng oppa sekarang terjebak di api itu? Aku tidak berani membayangkan apa yang akan kulihat di dalam sana. Akhirnya aku berhasil membuka pintu resto dan menarik ke atas pintu besinya.
"Oppa!" teriakku sekali lagi.
"Xili, apa yang kau lakukan? Keluar sana! PULANG!"
"Tapi oppa dimana? Aku tidak bisa meninggalkan oppa!"
"Jangan pikirkan aku, apinya keluar dari dapur! CEPAT PERGI!"
"Oppa dimana? Aku tidak akan pergi kalau oppa tidak bersamaku!"
Aku mulai mengeluarkan peluh, panas sekali di dalam. Selain itu, aku melihat kobaran api yang kemerahan dari dapur, juga asap yang mulai mengaburkan pandanganku. Aku mulai sesak, tapi aku tidak akan menyerah. Aku berlari menuju pintu yang mengarah ke rumah Hangeng oppa.
"Xili, kuncinya hilang! Aku akan mendobrak pintu ini!"
"Aku akan membantu oppa!"
"Aku sudah bilang, pergilah! Jangan pedulikan aku!"
"AKU TIDAK BISA TIDAK PEDULI! BAGAIMANA AKU BISA HIDUP DENGAN TENANG, KALAU TIDAK BISA MELIHAT OPPA LAGI?" teriakku galau, mendobrak pintu.
"Xili... aku... bagaimana harus bertanggungjawab dengan Yifang..."
"ONNIE AKAN MENGERTI! DAN AKU TIDAK AKAN PERGI! SIAL! KENAPA PINTU INI TIDAK BISA TERBUKA? APINYA... uhuk..."
"Xili... aku saja yang dorong. Kau coba menyingkir dulu."
Tapi aku melihat api menjilat-jilat dari arah belakangku. Panas sekali... aku takut... melihat api, aku takut...
"Xili... Xi..."
Dan aku tidak mendengar apa-apa lagi setelah itu. Yang kutau hanyalah rasa panas itu membakar tubuhku... dan Hangeng oppa?
"...Li, Xili..."
Siapa? Suara siapa itu? Kemana rasa panas yang membakar itu? Kenapa sekarang tubuhku terasa sejuk? Siapa yang memanggilku?
"Xili... Leeteuk oppa, sampai kapan Xili akan seperti itu?"
Suaranya sangat kukenal, tapi dia siapa? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya? Otakku sakit... dan Leeteuk oppa? Kenapa rasanya aku pernah dengar nama itu?
"Manshi, kita masih tidak tau. Untung dia tidak mengalami luka bakar yang serius, hanya sedikit di punggung."
Suara yang ramah itu... rasanya aku juga kenal. Siapa mereka? Manshi dan Leeteuk oppa? Luka bakar? Apakah rasa panas itu... karena aku terbakar?
"Yifang akan kesini begitu syuting selesai. Bagaimana dengan Siwon oppa?"
"Ah, dia juga mengalami sedikit luka bakar di tangannya. Luka itu akan cepat sembuh, dia tidak perlu dikhawatirkan. Aku juga kaget mendengar ceritanya bahwa dia masuk begitu saja ke dalam resto karena mendengar teriakan Hangeng."
Hangeng... Hangeng oppa? Yang mereka maksud Hangeng oppa?
"Jadi apa yang terjadi dengan Hangeng oppa?"
"Dia... aku belum bisa memastikan keadaannya sekarang, harus tunggu hasil pemeriksaan. Memang sih dia tidak mengalami luka fisik, tapi aku takut pingsannya dia bisa berakibat sesuatu. Kita berdoa saja supaya tidak terjadi apapun."
Dan aku memaksa mataku yang tertutup untuk terbuka, meski rasanya berat. Cahaya ruangan yang terang menyakiti mataku, tapi aku harus bertahan. Aku ingin melihat Hangeng oppa... dan aku melihat Manshi duduk di samping ranjangku, wajahnya terlihat khawatir. Ada Leeteuk oppa, berpakaian serba putih, seperti malaikat tanpa sayap.
"Manshi... Leeteuk oppa..." desahku.
Aku kaget mendengar suaraku sendiri, terdengar sangat lemah. Yang lebih tidak enak, aku sulit sekali bersuara, kerongkonganku kering. Kedua orang yang kupanggil memandangiku sekarang.
"Xili! Xili untung kau sudah bangun!" ujar Manshi, mengguncang badanku.
Leeteuk oppa memegangi tangan Manshi, "Manshi, pelan-pelan... badannya pasti perih. Xili, apa yang kau rasakan sekarang?"
"Hangeng oppa..."
Manshi dan Leeteuk oppa saling berpandangan.
"Ah, Hangeng oppa disini. Dia belum sadar, tapi dia tidak mengalami luka serius. Jangan khawatir, Xili," kata Manshi.
Ketika Manshi menggeser kursinya, aku bisa melihat Hangeng oppa berbaring di ranjang sebelah. Dia sepertinya hanya tertidur. Oppa, kalau memang tidak terjadi sesuatu padamu, segeralah sadar.
"Xili, kalau ada yang sakit, beritau aku ya," pinta Leeteuk sambil tersenyum.
"Iya, oppa," janjiku.
"Sebenarnya apa sih yang terjadi? Kenapa bisa ada kebakaran di resto Hangeng?"
"Aku juga tidak tau, oppa. Aku sudah di depan dan menunggu Hangeng oppa ketika mendengar ledakan itu, sepertinya dari dapur..."
Manshi bergidik sesaat, "mungkin kalian tidak mengecek apa ada gas bocor atau kompor yang belum dimatikan."
"Jadi kenapa kami bisa disini? Padahal aku tidak ingat menelepon pemadam kebakaran... dan kupikir aku sudah... mati. Soalnya panas sekali."
"Xili, kau harus ingat. Lain kali menelepon pemadam kebakaran adalah langkah pertama yang perlu kau ambil sebelum mengambil resiko yang lain," wanti Leeteuk oppa.
Manshi melirikku, "kau memang nyaris mati waktu ditolong, Xili. Untunglah kau masih disini sekarang. Aku ngeri sekali mendengar kabarmu dari Yifang. Dia sampai menangis dan ngomong tidak jelas waktu meneleponku."
"Aku menelepon Siwonnie untuk minta dia menjemputmu, aku khawatir. Jadi Siwon datang di saat yang tepat, mungkin tidak lama setelah kau pingsan. Orang-orang di seputar resto sudah menelepon pemadam kebakaran. Siwonnie menelepon pemadam lagi, lalu mengambil resiko untuk masuk dalam karena mendengar Hangeng berteriak."
"Hangeng oppa meneriakkan namamu, jadi Siwon oppa merinding, dia pikir kau kenapa-kenapa."
"Maaf... Manshi, Leeteuk oppa, aku membuat kalian khawatir," kataku.
"Untuk apa minta maaf? Aku senang melihatmu disini. Nah, Xili, kau perlu istirahat. Kalau kau merasa tidak nyaman, tekan bel ini, dan aku akan datang. Aku tidak akan meninggalkan kalian," pinta Leeteuk oppa.
"Oppa... terima kasih..."
Manshi menepuk bahuku pelan, "aku juga akan menjagamu Xili, kami akan membuat giliran, hehehe. Istirahatlah, jangan khawatirkan apa-apa."
Aku merasa mataku begitu berat, dan rasa kantuk menyerangku dengan cepat. Aku memang perlu istirahat. Hangeng oppa... ketika aku membuka mataku, aku berharap kau bisa balas menatapku kembali...
"Aigo, kalah lagi!"
"Kau sih, Henry, kenapa bisa babo begitu sih!"
"Ya~ hyung, berhenti mencelaku dong."
Aku membuka mataku. Sudah pagi. Tirai di kamar kami sudah dibuka. Aku menggerakkan badanku untuk berbaring menyamping, dan merasa punggungku sedikit perih. Aku melihat Henry dan Kibum oppa, keduanya duduk di sofa menghadap dua laptop.
"Ayo bertanding lagi. Kali ini aku tidak akan kalah," tekad Henry, menyingsingkan lengan kemejanya yang bergaris vertical.
Aku mendengus. Entah kenapa, melihat Henry rasanya aku hidup kembali. Mungkin karena dia selalu membawa keceriaan dalam suasana apapun. Tapi aku sekarang tidak mau menggangu keduanya yang sedang sibuk main game sepertinya. Mataku kembali terpancang pada sosok Hangeng oppa yang tertidur di ranjang sebelah. Dan aku melihat jari jemarinya bergerak. Aku tidak yakin apa yang mataku lihat adalah kenyataan.
"Henry... Kibum oppa," panggilku.
Keduanya kaget, tapi melihatku, mereka tampak senang. Mereka cepat-cepat menghampiriku.
"Xili, ada yang kau perlukan? Lapar tidak?" Tanya Kibum oppa sambil tersenyum.
"Err... tidak, oppa. Aku melihat jari jemari Hangeng oppa bergerak tadi."
"Mworago?" Tanya keduanya kompak.
Kini mereka memusatkan perhatian pada Hangeng oppa. Dan aku yakin sekali, mata itu perlahan terbuka.
"Gyaaaaaah Hangeng hyung! Kau sudah sadar!" teriak Henry, heboh sekali.
"Hen... Henry? Ki... Bummie?"
Suara yang kurindukan itu akhirnya bisa kudengar lagi. Dan mata kami bertemu pandang. Tuhan terima kasih... terima kasih aku boleh melihat Hangeng oppa lagi... air mata haru menetes dari mataku, tapi Hangeng oppa tersenyum.
"Xili... Xili, aku bersyukur bisa bertemu denganmu lagi... kau tidak sakit kan, Xili?"
"Oppa bodoh... harusnya oppa mengkhawatirkan keadaan oppa sendiri, kenapa malah mengkhawatirkanku? Aku sudah sadar dari kemarin, tapi oppa belum," ucapku.
"Hen, panggil Leeteuk hyung cepat," perintah Kibum oppa.
"Siaaaaaap!" balas Henry ceria.
Henry menghilang dengan cepat dari dalam ruangan.
"Kalian ini ya... saling mengkhawatirkan... tau tidak kalau kami semua shock gara-gara berita kalian kena kebakaran ini. Jantungku benar-benar nyaris copot."
"Maaf, Kibum oppa..." desahku.
Tapi aku melihat Kibum oppa tersenyum. Lalu Henry kembali dengan Leeteuk oppa. Ada sedikit keringat di dahinya yang tertutup poni, dan dia memegang banyak amplop besar.
"Hangeng, apa yang kau rasakan sekarang?" Tanya Leeteuk oppa professional.
"Aku merasa baik, hyung," jawab Hangeng oppa.
"Kau bisa menggerakkan kaki dan tanganmu dengan bebas?"
Hangeng oppa menggerakkan jari-jarinya dan mengangkat lengannya.
"Kupikir cukup aman."
"Aku ingin kau coba bangkit dari ranjangmu, Hangeng. Aku perlu mengecekmu. Henry, Kibummie, berdirilah di dekatnya."
Aku heran mendengar nada bicara Leeteuk oppa yang tegang. Hangeng oppa bangkit dari ranjangnya dengan dibantu Kibum oppa. Ketika kakinya menginjak lantai dan tubuhnya meninggalkan ranjang sepenuhnya, dia ambruk. Syukurlah Henry menangkapnya dengan cepat, dan jantungku berdetak tak menentu.
"Aku... hyung... aku tidak bertenaga."
"Bantu dia duduk."
Henry dan Kibum oppa kembali membantu Hangeng oppa duduk. Aku memandang Leeteuk oppa dengan cemas. Apa yang terjadi sebenarnya ini? Kali ini Leeteuk oppa menyodorkan sebatang pena pada Hangeng oppa.
"Tulis sesuatu, apa saja, disini, Hangeng."
Leeteuk oppa juga menyodorkan amplop yang dipegangnya. Hangeng oppa mengambil pena itu, namun tangannya bergetar ketika mengarahkan pena itu ke amplop... dan pena itu meluncur jatuh. Aku kaget.
"Aku tidak bisa hyung," keluhnya, "apa yang terjadi denganku?"
Wajah Leeteuk oppa terlihat sedih dan cemas pada saat yang bersamaan.
"Hangeng... kau menderita shock yang membuat otot-otomu lemah, terutama tangan dan kakimu. Seperti... lumpuh."
Dan aku merasa duniaku berhenti saat itu. Suasana kamar menjadi hening. Lumpuh? Apa arti kata itu?
"Hyung, lumpuh... bagaimana mungkin Hangeng hyung bisa lumpuh?" teriak Henry, tak percaya.
"Aku... ZhongHan House... kemampuan menariku..." sebut Hangeng oppa lemah.
"Tapi kau bisa sembuh, Hangeng. Hanya perlu terapi. Aku akan menyerahkan kau pada rekanku yang paling baik di rumah sakit ini, kau akan sembuh," jelas Leeteuk oppa.
"BAGAIMANA KALAU AKU TIDAK BISA SEMBUH? UNTUK APA AKU HIDUP, KALAU AKU LUMPUH?"
Hatiku perih mendengar setiap kata-kata yang diteriakkannya. Dia berontak luar biasa kuatnya, tapi tubuhnya tidak menolongnya. Dia begitu gampang ditenangkan, kedua dongsaengnya memegangi tangan dan kakinya, dan Leeteuk oppa terpaksa menyuntiknya obat penenang setelah mereka tidak bisa mengatasinya selama sepuluh menit. Aku menangis. Bagaimana mungkin semua ini terjadi pada Hangeng oppa yang begitu baik, begitu berbakat? Kemampuan memasaknya... kungfunya... menarinya...
"Masuk," kataku ketika mendengar pintu kamar diketuk.
"Hai... kami datang," ucap Aqian yang membuka pintu.
"Anyeong Xili," sapa Eunhyuk oppa.
"Ah, ada Eunhyuk oppa..." ujarku sambil tersenyum.
"Xili maaf, belakangan ini aku sibuk sampai nyaris gila, jadi baru bisa mengunjungimu sekarang. Eh, mana Hangeng hyung?"
"Dia di ruang terapi."
"Ah, baiklah, kalau begitu aku akan kesana. Nanti aku balik lagi ya, Xili."
Aku melambai pada Eunhyuk oppa yang pergi.
Aqian duduk di sampingku dan menyodorkan salep, "sini, aku saja yang oleskan salepnya. Kau selalu protes agak malu kalau perawat yang melakukannya, kan?"
Aku mengangguk. Bolehlah juga kalau Aqian yang membantuku.
"Apa luka-luka Siwon oppa sudah sembuh? Pasti Choi ahjussi marah tau dia terluka," tebakku.
"Dia tidak berani marah-marah, soalnya Siwon oppa bilang dia menolong Hangeng oppa."
"Baguslah kalau begitu."
Aqian mengoleskan salep berbau aneh itu di punggungku. Aku agak sungkan ketika Leeteuk oppa biasanya memeriksa lukaku, tapi menurutnya lukaku sudah hampir sembuh. Aku mengkhawatirkan Hangeng oppa. Kapan dia bisa sembuh? Setelah lukaku diobati, aku dan Aqian mengobrol. Sebentar lagi ujian semester genap, aku harus berusaha keluar dari rumah sakit supaya tidak ketinggalan ujian. Dan pembicaraan kami terpotong ketika Eunhyuk oppa membawa Hangeng oppa kembali. Wajah Hangeng oppa terlihat tidak puas.
"Ehm... Meifen, ayo kita pulang. Hangeng hyung dan Xili butuh istirahat," ajak Eunhyuk oppa.
"Apa? Tapi aku masih mau mengobrol," protes Aqian.
Tapi Eunhyuk oppa yang ketika membantu Hangeng oppa bangkit dari kursi rodanya menuju ranjang, menggelengkan kepala pada Aqian. Aku menangkap isyaratnya, lalu mengguncang lengan Aqian. Aku menganggukkan kepalaku. Aqian akhirnya mengangguk.
"Nah, Xili, nanti kalau aku punya waktu luang, aku akan datang lagi. Ehm, Hangeng oppa... cepat sembuh ya."
Hangeng oppa mengangguk sejenak pada Aqian. Eunhyuk oppa kini memandangku dengan ekspresi memohon. Aku menaikkan alisku, bingung. Dia mengedikkan kepalanya ke arah Hangeng oppa. Ah... aku menangkap bahasa isyaratnya.
"Hyung, aku pulang dulu. Ingat panggil aku kalau hyung butuh apapun. Bye, Xili."
Akhirnya keduanya pergi. Aku tau apa yang diinginkan Eunhyuk oppa. Aku bangkit dari ranjangku dan pindah untuk duduk di tepi ranjang Hangeng oppa.
"Oppa... kenapa cepat sekali pulang dari terapinya?" tanyaku lembut.
"Lelah," jawabnya singkat.
"Tapi Leeteuk oppa bilang, terapi memang melelahkan pada awalnya. Cuma nanti kalau oppa sudah terbiasa, pasti rasanya lebih ringan."
"Tapi kau tidak tau apa rasanya, Xili. Yang sakit itu aku, bukan kau. Leeteuk hyung juga gampang ngomong itu, soalnya kan dia tidak mengalaminya?"
Aku kaget mendengar kata-kata Hangeng oppa yang begitu tajam. Tapi aku tidak boleh menyerah.
"Aku memang tidak tau rasanya, oppa, tapi melihat oppa yang sakit begini, hatiku juga sakit."
"Jangan menghiburku, Xili."
"Baiklah. Sekarang aku ingin oppa berusaha untuk ZhongHan House dan semua bakat oppa yang dulu, bisakah? Beranikah oppa? Hangeng oppa yang kukenal adalah orang yang tidak gampang menyerah! Dia begitu berani, bahkan terluka untuk menolongku dulu!"
"Tapi sebagaimanapun aku berusaha, aku tidak tau apakah aku bisa memasak lagi, kungfu lagi, menari lagi!" teriaknya, "aku mungkin sembuh, tapi aku belum tentu bisa melakukan itu semua lagi!"
"Tapi setidaknya oppa berusaha! Aku akan di samping oppa, mendukung oppa, dan akan terus cerewet seperti ini kalau oppa menyerah atau mengeluh!"
"Untuk apa kau menghabiskan waktumu mendukungku, Xili? Masa depanmu cerah di depan sana!"
"Aku tidak merasa aku menghabiskan waktu, karena aku memang rela melakukannya! Itu karena oppa selalu ada di hatiku, dari sejak kita bertemu hingga sekarang!"
Aku melepaskan emosiku, melepaskan bebanku. Aku terengah-engah. Apa dia tidak tau, aku mencintainya? Walaupun aku merasa aku bahagia bersama Donghae oppa dulu... tapi rasa cinta yang itu berbeda dengan rasa cinta yang kurasakan terhadapnya sekarang.
"Xili... jangan katakan itu. Aku akan jadi penghambat masa depanmu. Seorang yang lumpuh, tidak bisa jadi sandaranmu seumur hidup, malah akan membebanimu. Kau bisa memilih Donghae daripada memilihku, Xili."
"Tapi aku hanya mencintai oppa. Oppa tidak akan membebaniku. Aku yakin oppa akan sembuh. Aku akan menemani oppa di setiap terapi. Dan aku... bukan mencintai Donghae oppa seperti aku mencintai oppa," jelasku dengan suara bergetar, "aku dan Donghae oppa... hanya perasaan... ingin memiliki, karena dulu dia adalah idolaku. Sedangkan untuk oppa... perasaan itu berbeda."
Hangeng oppa kini memandang lurus ke mataku. Oppa... jangan katakan sesuatu yang bisa membuat hatiku sakit, kumohon?
"Xili... kalau aku tidak bisa sembuh..."
"Oppa, apakah oppa mencintaiku?"
"A... apa?"
"Aku ingin jawaban oppa."
"Xili, sekarang bukan waktu yang tepat..."
"Tapi aku ingin dengar jawaban itu sekarang!"
"Wo ye hen ai ni," ucap Hangeng oppa.
Duniaku berhenti berputar lagi. Jawaban ini... pernyataan ini... harusnya... bisa kudengar sejak dulu. Andaikan aku tidak mengikuti emosi sesaatku... andaikan aku bisa membedakan kedua jenis cinta itu... apakah saat ini kami masih sehat, tidak akan terluka seperti sekarang?
Â
No matter whom I'm with
I'm more comfortable when alone
Â
But today it'd be nice to be with someone
The precious love I hold in my heart
"Baiklah, kalau begitu. Oppa harus berusaha juga, demi aku. Karena oppa mencintaiku, oppa harus berjanji untuk sembuh dan membahagiakanku."
Dia menundukkan kepalanya, tapi sesaat kemudian kembali memandangku dan tersenyum.
"Xili, aku akan berusaha. Aku akan mencoba lagi. Tapi kali ini, kau tidak akan meninggalkan aku lagi kan? Seperti waktu itu?"
Hatiku perih. Ternyata aku memang melukainya dengan sangat dalam. Aku kejam sekali. Aku maju dan memeluknya. Tangannya bergerak sedikit, namun tidak mampu membalas pelukanku. Aku tidak boleh menangis dan membuatnya khawatir. Aku harus kuat.
"Aku janji. Aku tidak akan meninggalkan oppa," bisikku.
Apapun yang akan terjadi di masa depan, aku percaya, pastilah yang terbaik untukku. Kita akan saling mengobati luka hati kita... ayo kita berjanji, oppa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H