Mohon tunggu...
waliyulhamdi
waliyulhamdi Mohon Tunggu... web developer berbasis CMS Open Source -

pencerita, penikmat buku dan ... atau apalah

Selanjutnya

Tutup

Politik

“kehendak untuk berkuasa” dalam demokrasi perwakilan

12 Desember 2015   11:12 Diperbarui: 20 Desember 2015   03:37 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perubahan sistem politik yang secara umum kini berakhir dengan sistem demokrasi perwakilan merupakan representasi dari dinamika “kehendak untuk berkuasa” yang merupakan salah satu hasrat mendasar dalam diri manusia untuk tidak menjadi subjek atau objek dari subjek atau objek yang lain. Pemenuhan hasrat ini merupakan salah satu kebutuhan eksistensial manusia. “Kehendak untuk berkuasa” sebagai sebuah kebutuhan mensyaratkan adanya “partisipasi langsung” setiap individu dalam proses dinamika politik yang menyangkut hidupnya.

Partisipasi langsung ini menuntut adanya ruang-ruang untuk mengekspresikan sikap-sikap atau pandangan politik setiap individu, tuntutan ini yang dahulu menghancurkan sistem kerajaan dimana raja dituntut untuk mengakhiri kekuasaan absolutnya dan memecahnya serta membukanya untuk semua orang yang semula hanya diperuntukkan untuk kalangan tertentu. Setelah melalui berbagai proses kehancuran sistem kerajaan akhirnya melahirkan negara dengan ilusi demokrasi sebagai kanalisasi partisipasi individu-individu dalam politik. Kanalisasi partisipasi sebagai perwujudan dari “kehendak untuk berkuasa” inilah yang kemudian melahirkan demokrasi perwakilan.

Mengapa kanalisasi ini diperlukan ? Kanalisasi dilakukan untuk menjinakkan “kehendak untuk berkuasa” dimana pemenuhan ini harus dilakukan karena dalam pandangan negara dengan sistem demokrasi perwakilan “kehendak untuk berkuasa” seperti binatang buas yang bisa mengancam eksistensi negara dan sistem demokrasi perwakilan. Dalam proses penjinakannya negara dan sistem demokrasi perwakilan menangkap “kehendak untuk berkuasa” dan menciptakan aksioma-aksioma dari “kehendak untuk berkuasa” serta menciptakan imaji “partisipasi langsung”, muncullah berbagai produk-produk mereka seperti PEMILU. Aksioma-aksioma yang mereka ciptakan kemudian terus diperbaharui sebagai bentuk penyempurnaan dari produk mereka, penyempurnaan ini dilakukan untuk memberi batasan atas “kehendak untuk berkuasa”.

Pemberian batasan (yang terus diutak-atik) dilakukan untuk terus menjinakkan “kehendak untuk berkuasa” yang sebenarnya dinamis dan terus bergerak. Karena terus diperbaharui maka “kehendak untuk berkuasa” yang direpresentasikan dalam imaji “partisipasi langsung” terus mereka redefenisi hingga akhirnya terjadi kebingungan terkait “partisipasi langsung” dan pemenuhan “kehendak untuk berkuasa”. Kebingungan inilah yang kemudian mereka rayakan dan agung-agungkan sehingga imaji “partisipasi langsung dalam rangka pemenuhan kehendak untuk berkuasa” berakhir di kotak suara dalam sistem demokrasi perwakilan.

“kehendak untuk berkuasa” kerap pula diberi lebel negatif yang berkonotasi “ambisus” dan banyak pengkhotbah moralitas mendakwakan untuk menghindari hal ini namun anehnya hampir semua elit-elit politik di negeri ini sangat paham dengan hasrat mendasar manusia yang satu ini (sebagai salah satu kebutuhan eksistensial) dan mereka sangat bangga dan senang memenuhi hasrat ini. Maka terjadilah ketimpangan, para elit-elit politik berusaha memenuhi “kehendak untuk berkuasa” mereka dan mereka berusaha membuka selebar-lebarnya ruang untuk mereka berpartisipasi langsung sementara masyarakat digiring pada pemahaman negatif seputar “ kehendak untuk berkuasa” dan mengkanalisasi “partispasi langsung mereka” dalam kotak suara.

Kondisi ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam melahirkan masyarakat yang sakit secara politik (dua diantaranya : banalitas politik dan politik uang). Untuk mengobati masyarakat yang sakit ini, harus ada upaya membuka kembali ruang-ruang partispasi langsung individu-individu dalam politik yang menyangkut hidup mereka dan menjadikan keseharian mereka adalah perjuangan politik untuk hidup mereka sebagai upaya pemenuhan “kehendak untuk berkuasa”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun