WIBK KHUSUS 59 TAHUN DEKRIT 5 JULI
Saya mewawancarai Bung Karno di tepi kolam renang Hotel Indonesia Kempinski di puncak lantai 11 menikmati pemandangan Jakarta dari hotel yang dibangun 56 tahun lalu menyambut Asian Games IV tahun 1962 tapi sekarang berada dalam pengelolaan grup Djarum selama 50 tahun BOT.
CW: Selamat pagi pak hari ini tepat 59 tahun lalu bapak  mendekritkan kembali ke UUD 1945 nah sekarang justru oposisi yang ribut mau minta kembali ke UUD 1945 asli, bagaimana tanggapan bapak terhadap situasi kemelut politik menjelang pilpres 2019 ini.
BK: Elite politik Indonesia ya sama dengan elite seluruh dunia semuanya pakai resep Brutus-Ken Arok-Machiavelli 3-in-1 . Jadi tidak usah heran atau berwishful thinking bahwa elite Indonesia itu malaikat dan ksatria, sportif dan gentlemen. Semua ada egonya dan saling salip di tikungan secara brutal, tidak etis dan menghalalkan segala cara. Â Dan memang manusia kan bukan dewa, nabi atau malaikat, kebanyakan tidak tahan godaan kekuasaan dan bisa berubah sifat karakter, sebelum dan setelah menggenggam kekuasaan, akhirnya hukum karma akan berlaku dan dijatuhkan secara tidak pilih kasih oleh Tuhan Yang Maha Kuasa seperti berakhirnya kekuasaan saya dan Soeharto dalam 53 tahun pertama RI 1945-1998. Â
Saya pakai ideologi kiri, Marhaenisme dan Sosialisme, cenderung etatisme dan mengandalkan Negara sebagai mobilisator utama bangsa Indonesia. Tapi mengelola negara tidak bisa Cuma dengan semangat menggebu gebu, ada hukum besi ekonomi yang tidak bisa dihindari.Â
Ekonomi adalah skala prioritas, Â kalau anda membangun angkatan udara dengan squadron MIG 21 yang termodern waktu itu dan kapal selam canggih untuk menandingi kapal induk Belanda Karel Doorman dalam perjuangan merebut Irian Barat , tentu saja anda harus mengorbankan budget ekonomi terserah, teralihkan ke pembangunan Angkatan Laut dan Udara terkuat di Belahan Bumi Selatan waktu itu. Semua itu butuh sekitar US$ 2,4 milyar waktt itu awal 1960an.Â
Meskipun perang Irian Barat batal terjadi berkat mediasi diplomasi Presiden Kennedy , telanjur saya lanjutkan konfrontasi dengan Malaysia yang juga menghambat rencana pembangunan ekonomi. Â
Tahun 1963 sebetulnya saya memakai tokoh PSI Sudjatmoko dan prof Sarbini untuk membuat blue printe Deklarasi Ekonomi, (DEKON) mengembalikan pola rasional untuk mensukseskan Pembangunan  Nasional Semesta Berencana (PNSB 1961-1969) yang tersendat karena misalokasi anggaran dan sistim ekonomi etatisme kurang merangsang investasi dari luar maupun domestik.Â
Anti klimaks dari semangat Manipol 1959 mencapai nadir dengan kudeta G30S dan sanering ketiga yang fatal bagi Orde Manipol. Nah kemudian Soeharto itu kan rezim kanan, junta militer yang membuka pintu untuk modal asing seluas luasnya. Â Tapi kenapa dalam tempo 32 tahun mereka seolah berjalanditempat tidak mampu meningkatkan kualitas industrialisasi dari substitusi impor menjadi industri yang berdasa saing global.Â
Kuncinya adalah birokrasi Indonesia sudah jadi pemburu rente, dan pengusaha yang dilindungi dengan sistim KKN Orde Baru, menjadi "manja" dan tidak berdaya saing global tidka mampu mengekspor dan memupuk surplus devisa. Karena itu rupiah ditangan Soeharto juga terpuruk meski sudah 5 kali devaluasi 1970, 1971, 1978 Â oleh Ali Wardhana dan 1983 , 1986 oleh Radius Prawiro. Ini sudah sering kita bicarakan Sekarang kembali ke masalah 2018 dst.
Kita harus back to basic Anda harus saber pungli, anda harus ubah birokrat dari pemburu tente, jadi pemberdaya (steward) Â Karena itu birokrasi harus digaji yang tepat agar menjadi pelayan masyarakat awam dan investor, agar ICOR kita turun dari 6,4 jadi 2,3. Pengusaha yang diberi kemudahan NIB Nomor Izin Berusaha Tunggal, tidak perlu menunggu ber bulan bulan dan beaya tidak jelas yang menambah nilai ICOR mengakibatkan kita tidak berdaya saing.Â